Oleh: Ustadz Abu Hamzah Al-Khathwani
Jika kita meneliti faktor-faktor kehancuran perekonomian negara-negara berkembang saat ini, kita akan menemukan bahwa riba dan privatisasi adalah salah satu faktor yang paling mematikan. Keduanya menghabisi pertumbuhan ekonomi negara tersebut, seberapa pun tinggi pertumbuhan ekonomi yang dulu dimilikinya.
Ambil saja contoh negara Turki, ia memiliki vitalitas dan aktifitas ekonomi yang tinggi. Turki juga memiliki kemampuan, ketangkasan serta kapabilitas yang tinggi dalam industri, profesi dan produksi. Namun riba dan privatisasi membunuh semua hal tersebut. Bahkan keduanya hanya menyisakan kemiskinan, pengangguran, inflasi dan stagnasi bagi mereka.
Mata uang Turki terus menerus turun. Nilainya telah merosot sampai 30% sejak awal tahun ini. Negara Turki sendiri belum dapat menghentikan pendarahan hebat saldo mata uang kuatnya. Dengan begitu, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan terpaksa memecat Gubernur Bank Sentral Turki, dan menerima pengunduran diri saudara iparnya, Berat Albayrak, Menteri Keuangan dan Perbendaharaan. Pun, ia menyalahkan keduanya perihal memburuknya situasi ekonomi dan ketidakstabilan mata uang, meski keduanya telah sangat mematuhi arahannya untuk mengurangi kenaikan suku bunga. Kemudian ia malah menunjuk dua orang yang mengadopsi kenaikan suku bunga yang melanggar kebijakan sebelumnya.
Sejak tahun 2018, pemerintah Turki telah menghabiskan cadangan besar mata uang kuatnya untuk mendukung stabilitas lira. Namun hal itu tidak berhasil. Lantas para ahli (dari Goldman Sachs) memperkirakan kerugian Turki tahun ini sekitar 100 miliar dolar, yang menyebabkan terkikisnya saldo mata uang kuat negara tersebut.
Bank Sentral terpaksa meminjam puluhan miliar dolar dari pemberi pinjaman komersial untuk meningkatkan nilai lira. Namun upaya ini tidak memberi hasil yang signifikan.
Pada tahun 2002, utang luar negeri Negara Turki sebesar 112 miliar dolar. Kemudian naik pada tahun 2016 menjadi 421,4 miliar dolar. Sementara nilai inflasi mencapai lebih dari 25%. Adapun angka pengangguran mendekati 12%. Sedangkan satu-satunya solusi dari kapitalisme hanya permainan mengurangi atau meningkatkan suku bunga, tidak lebih.
Hal ini dari sisi malapetaka riba yang menusuk dari belakang. Sedangkan malapetaka kedua yang lebih mematikan bagi perekonomian seluruh negeri, yaitu adalah privatisasi yang kerusakannya lebih dari sekadar jatuhnya mata uang, tapi hingga hilangnya semua sektor produksi dari tangan negara ke tangan segelintir kapitalis lokal dan asing yang serakah, yang telah membeli fasilitas negara dari pemerintah.
Peluncuran proyek privatisasi di Turki dimulai pada enam tahun pertama pemerintahan Erdogan antara tahun 2003-2009. Gula, makanan ternak, karpet, dan tambang dijual ke sektor swasta seharga 30 miliar dolar. Dengan uang ini, terowongan, komplek hunian dan gedung-gedung dibangun. Dengan begitu, diadakanlah gerakan pembangunan.
Era itu menyaksikan ledakan ekonomi sementara. Setelah itu, investasi asing masuk dan memompa 469 miliar dolar ke pasar Turki, sedangkan utang pada periode yang sama berjumlah 460 miliar dolar.
Kemudian proses privatisasi meluas untuk mempengaruhi segala sesuatu di negara itu. Sehingga pemerintah menjual sahamnya di gas, telekomunikasi, rokok, maskapai Turkish Airlines, dan perusahaan industri lainnya. Hal ini melahirkan jenis pemulihan ekonomi baru, tapi juga bersifat sementara.
Kemudian perusahaan asing membanjiri Turki setelah gelombang kedua privatisasi, terutama Amerika dan Eropa, hingga mencapai 20.000 perusahaan. Akibatnya, negara itu terbuka untuk investor asing. Lantas perusahaan-perusahaan itu mulai keluar, bermain-main, dan merusak ekonomi Turki dari semua sisi.
Demikianlah Turki memprivatisasi fasilitasnya pada tahap kedua dengan nilai 70 miliar dolar. Ini menghasilkan euforia ekonomi yang fana pada awalnya, diikuti oleh resesi yang fatal. Sebagian besar keuntungan mulai bocor ke investor asing, bersamaan dengan mata uang kuat. Hasilnya adalah merosotnya standar hidup masyarakat dengan cepat, hancurnya mata uang Turki, dan kembalinya kebijakan meminjam dengan suku bunga tinggi.
Singkatnya, inilah efek kehancuran akibat privatisasi dan keuntungan riba.
Diterjemahkan dari Surat Kabar Ar-Rayah edisi 317, terbit pada Rabu, 1 Jumadil Ula 1442 H/16 Desember 2020 M
Klik di sini untuk mengakses sumber
Visits: 0