Oleh: Ibrahim Mohamed
Gubernur Darfur Barat, Muhammad Abdullah Al-Duma, mengumumkan bahwa jumlah korban tewas akibat bentrokan antar suku di wilayahnya meningkat menjadi 132 orang tewas dan 208 luka-luka. Dalam konfrensi pers El-Youm, ia mengatakan, “Hingga hari kelima bentrokan di Kota El-Geneina, korban tewas telah mencapai 132 jiwa dan korban luka-luka 208 jiwa”. Ia menambahkan, “Bagi Kota El-Geneina, serangan itu begitu besar, terjadi pembunuhan, warga dilukai kemudian diseret, namun tidak ada pasukan yang datang dari luar wilayah tersebut.” (Sputnik News)
Surat Kabar Al-Mawakeb yang terbit pada Senin (5/4) juga menyebutkan terjadinya bentrokan baru antar suku Masalit dan Arab. Puluhan korban tewas dan luka-luka di daerah Hay Al-Jabal dan Al-Jamarik, yang dalam kejadian ini senjata berat dan ringan digunakan. Sementara itu, kelompok penyerbu merampok toko-toko dan menyerang pejalan kaki atas dasar kesukuan.
Disebutkan dalam laporan Darfur 24, bahwa pada Ahad (4/4) masyarakat El-Geneina hidup dalam masa-masa sulit. Mereka berada dalam keadaan takut dan panik di tengah suara bom, meriam dan granat, disebabkan terjadinya perang antar suku Masalit dan Arab terbaru. Jelas bahwa kedua belah pihak kali ini mempersiapkannya dengan cara dan taktik yang berbeda, menggunakan senjata dan kemampuan yang besar yang mungkin tidak dimiliki oleh pasukan pemerintah Sudan itu sendiri.
Seperti yang telah diketahui bahwa susunan kependudukan di penjuru Kota El-Geneina merupakan pemicu utama munculnya fenomena rasisme dan sukuisme. Dilansir dari pernyataan Darfur 24, wilayah Hay Al-Jabal yang menjadi sentral pertempuran itu, telah dirancang berdasarkan kesukuan. Di setiap blok ada suku tertentu yang tinggal, suku Masalit berpusat di blok nomor 2, 5, 7, dan 15, adapun suku-suku Arab maka banyak ditemukan di blok 1, 3, 4, 6 dan 8. Dengan sistem pembagian wilayah penduduk ini, maka masuk dan keluar wilayah tersebut diatur oleh hukum militer kesukuan.
Permasalahan bermula dengan terbunuhnya dua orang dari suku Masalit pada Sabtu malam (3/4) di jalan yang memisahkan antara daerah penduduk suku Arab dengan suku Masalit. Kecelakaan itu merupakan tindak kriminal. Dengan bantuan pihak berwenang yang kompeten, prosedur yang diperlukan untuk menangkap para pelaku dapat dimulai dan berakhirlah masalah tersebut. Namun tak lama kemudian, mobilisasi dan tembakan senjata berat dimulai kembali, dan kehidupan (masyarakat) terganggu sebagai akibat dari teror dan ketakutan akan api perang.
Hal yang mengalihkan perhatian adalah hilangnya peran pemerintah untuk menghentikan pertumpahan darah ini meskipun tidak kurang dari 300 unit mobil dinas keamanan telah disiapkan menurut pernyataan Gubernur Darfur Barat. Ia juga menegaskan dalam konferensi persnya bahwa Menteri Dalam Negeri tidak mengetahui apa yang terjadi di El-Geneina selama kejadian baru-baru ini yang dimulai pada (5/4), lalu dia berkata, “Kami meminta pasukan tambahan kepada pemerintah, akan tetapi pemerintah tidak memberi kami seorang prajurit pun.”
Setelah itu, perang semakin bergolak. Banyak orang yang tewas dan terluka. Menurut laporan yang dikeluarkan oleh Ketua Asosiasi Pengacara Darfur, ia menyatakan bahwa mereka akan memimpin gerakan internasional dan regional untuk ikut campur dalam peristiwa El-Geneina. Ia menilai peristiwa tersebut menjadi indikasi runtuhnya negara beserta aparaturnya (Nawras News, 8/4). Siapakah dalang di balik peristiwa ini? Siapakah yang mempersenjatai suku-suku ini dengan senjata berat? Mengapa negara tidak ikut campur sejak awal kejadian?
Gubernur Darfur Barat menyatakan dalam konferensi persnya bahwa peristiwa ini dilakukan oleh milisi yang datang dari Chad ke Darfur untuk mengacaukan keamanan pada saat Komite Jaksa Agung mundur dan para hakim mengosongkan seluruh kantor kejaksaan. Pada saat yang sama, utusan Inggris bertemu dengan Kepala Gerakan Pembebasan Sudan, Minni Arko Minawi di Khartoum pada Kamis (8/4). Kedua belah pihak membahas peristiwa El-Geneina dan penundaan pembentukan pasukan gabungan nasional untuk menjaga keamanan (Al-Manshah, 8/4). Sementara menurut pernyataan Menteri Pertahanan Letnan Jenderal Yassin Ibrahim bahwa Dewan Keamanan dan Pertahanan memutuskan untuk membentuk kekuatan gabungan dari pasukan reguler dan semua pihak proses perdamaian (Surat Kabar Al-Tayyar, 11/4).
Pertanyaannya, mengapa negara tidak melaksanakan tugasnya sejak awal mula kejadian tersebut? Apakah perkara itu membutuhkan kekuatan gabungan? Apakah negara tidak mampu menghentikan pertempuran antara dua individu dan menjaga keselamatan masyarakat? Akan tetapi, sistem pemerintahan federal yang diterapkan dan didasarkan pada kesukuan memang akan menghasilkan perang seperti ini. Inilah yang dikemukakan oleh anggota Dewan Kedaulatan, Ketua Front Revolusioner, Al-Hadi Idris dalam Surat Kabar Khartoum yang terbit pada Ahad (11/4). Selain kesukuan yang dipelihara oleh negara-negara besar untuk mencapai tujuan mereka di wilayah tersebut, kesukuan dan rasisme juga telah difokuskan dan dipelihara oleh kafir penjajah secara terus-menerus demi melanggengkan rencana jahat untuk melemahkan umat dan merampok kekayaan negerinya.
Seorang Profesor Amerika, Max, peneliti di Institut Keamanan Nasional untuk entitas Yahudi, Israel dalam pemaparannya terkait peperangan generasi keempat, berkata bahwa perang tersebut adalah upaya yang dilakukan untuk menggagalkan negara dan menggoyahkan stabilitasnya, kemudian memaksakan realitas baru, yang tujuannya bukanlah untuk menghancurkan institusi militer, tetapi untuk mengurasnya dan perlahan-lahan mengikisnya, lalu pada akhirnya kami memaksa musuh untuk melakukan apa yang kami inginkan. Dia menambahkan, bahwa perang ini bergantung pada kelompok-kelompok tempur kecil untuk melawan negara atas nama minoritas, etnis, kesukuan atau sentimen keagamaan.
Peristiwa El-Geneina bukanlah yang pertama, sama seperti peristiwa sebelumnya di Sudan Selatan pada tahun 1953 yang diakhiri dengan pemisahan Sudan Selatan. Kemudian peristiwa di Sudan Timur yang masih berkobar. Oleh karena itu, jika masyarakat Sudan yang ikhlas tidak menyadari rencana orang-orang kafir, maka Sudan Barat dan Timur akan terpisah atas nama regionalisme dan kesukuan, sebagaimana terpisahnya Sudan Selatan.
Sesungguhnya Islam yang agung telah mengatasi masalah kesukuan dan menjadikan ikatan pemersatu diantara umat Islam adalah persaudaraan Islam. Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat” (Q.S. Al-Hujurat : 10). Bahkan Islam telah menyatukan manusia dalam satu kesatuan dengan sistem, perintah-perintah serta penerapan aturannya. Maka kita dapati bahwa negara yang didirikan oleh Nabi SAW dihuni oleh orang-orang Yahudi, Kristen dan Arab, yang mana mereka berbeda-beda suku dan agama, sehingga Nabi SAW menghapus segala bentuk diskriminasi dengan aturan Islam. Maka Islam sendiri sejatinya mampu menyatukan bangsa-bangsa ini dan menjadikan mereka satu bangsa dalam naungan negara Khilafah Rasyidah kedua sesuai dengan metode kenabian, negara yang mampu memotong urat nadi fanatisme kesukuan dan konspirasi kafir penjajah di negeri-negeri kaum muslimin.
Diterjemahkan dari Surat Kabar Ar-Rayah edisi 334, terbit pada Rabu, 2 Ramadhan 1442 H/14 April 2021 M
Klik di sini untuk mengakses sumber
Visits: 1