Setiap tahun, kaum muslimin selalu memperingati kelahiran makhluk yang mulia, junjungan kita Nabi Muhammad saw. dengan meratapinya, tanpa berupaya untuk menghidupkan risalah yang datang bersama beliau, yang telah ditinggalkan sebagai amanah bagi umat Islam, sehingga terabaikan.
Seakan-akan Rasulullah saw. bertanya kepada seluruh umat Islam, “Apa yang kalian lakukan untuk mengembalikan risalah tersebut dan mengembannya kepada umat manusia? Sebagaimana firman Allah Swt., “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan kepada seluruh umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS Saba : 28).
Seakan-akan Rasulullah saw. bertanya kepada para ulama, para penguasa, para pemuka dan kaum muslimin seluruhnya, “Bukankah aku telah datang kepada kalian dengan risalah yang terang benderang? Bukankah aku telah menempuh jalan dakwah yang jelas bagi kalian? Di mana ulama kalian yang telah mewarisi ilmu para nabi? Apakah mereka telah melalaikan warisannya? Bagaimana mungkin kalian dapat bertahan seratus tahun tanpa seorang khalifah, sedangkan hukum syarak tidak memperkenankan kekosongan khalifah lebih dari tiga hari? Apakah kalian tidak membaca bahwa para sahabat–dengan pemahaman mereka yang benar–telah menunda penguburan Rasulullah saw. selama tiga hari dikarenakan satu sebab yaitu pemilihan khalifah?
Apa yang kalian lakukan hari ini untuk menghidupkan kembali agama Islam dan menerapkannya dalam kehidupan kalian, sebagaimana yang Allah Swt. perintahkan? Kalian saling berdebat atas keutamaan memperingati maulid Nabi saw. tanpa menghidupkan kembali agama dalam hidup kalian. Beberapa di antara kalian mengatakan bahwa peringatan tersebut adalah peringatan yang sangat mulia bagi jiwa manusia, tidak mungkin berlalu begitu saja tanpa penghormatan yang pantas dan berpegang pada makna sucinya. Di antara kalian juga ada yang menuduh bahwa peringatan maulid ini adalah bid’ah. Maka kami sampaikan kepada dua kelompok ini sebuah pernyataan, “Kedua kelompok kalian berada dalam dosa meninggalkan kewajiban mendirikan Daulah Khilafah, yang tidak terampuni bagi seorang muslim untuk tidak mengetahui wajibnya keberadaan Khilafah dan amal-amal wajib (yang wajib diupayakan, peny.) untuk mendirikannya”.
Inilah yang seharusnya kalian cela! Jika tidak, maka celaan Allah (azab Allah) pasti akan menimpa kalian semua, dan celaan Allah itu amatlah berat. Kalimat kebenaran yang patut diserukan dalam hal ini adalah bahwa di sana terdapat satu kelompok, yaitu mereka yang merayakan peringatan ini bukan setiap tahun, namun setiap saat dalam hidupnya, yaitu suatu kelompok yang berupaya untuk mendirikan apa yang telah didirikan oleh Rasulullah selama hidupnya untuk kita (umat Islam), dan telah mewasiatkan kepada kita untuk menggigitnya dengan gigi-gigi yang tajam.
Telah diriwayatkan oleh Turmudzi dengan sanad yang sahih, dari ‘Irbadh bin Sariah ia berkata, “Suatu hari, Rasulullah saw. memberikan kami nasihat, beliau bersabda, ‘Sesungguhnya orang yang hidup setelahku akan menyaksikan perselisihan, dan hendaklah kalian menghindari perkara baru (yang diada-adakan) karena itu adalah sebuah kesesatan. Barang siapa yang mendapati hal tersebut, hendaklah ia berpegang pada sunahku dan sunah Khulafaur Rasyidin setelahku, gigitlah ia dengan gigi gerahammu.’” Perkataan ini dikatakan sendiri oleh sosok yang diperingati, Nabi saw. pada pendahulu kita maupun yang akan datang sebagai sebuah hukum syarak yang wajib mengatur kehidupan kita dari awal hingga akhir. Sehingga tidak ada peraturan yang diridai Allah yang dapat mengatur hidup kita, selain sistem yang wajib ini (Khilafah). Dengannya tegaklah seluruh perintah agama, dan tanpanya terabaikanlah seluruh perintah-perintahnya.
Penegakan agama melalui pendirian Khilafah termasuk dalam sesuatu yang telah diketahui dari agama. Sehingga, tidak ada seorang muslim pun yang dimaafkan karena ketaktahuannya, baik ia seorang ulama maupun orang biasa. Pemerintahan adalah bagian utama dari Islam, tanpanya Islam dianggap kurang. Tidak diperbolehkan untuk berdiam diri atau menerima ketiadaannya, jika tidak, maka itu adalah bentuk penerimaan dan diam atas Islam yang tidak lengkap. Padahal Quran dipenuhi dengan ayat-ayat yang memerintahkan umat Islam untuk berhukum dengan apa yang diturunkan Allah. Apakah umat Islam tidak membaca ayat-ayat Allah yang jelas, terang, muhkamat yang tidak sulit dipahami, dan tidak memerlukan interpretasi dari para penafsir untuk dipahami?
Di antara ayat-ayat tersebut–sebagai contoh bukan pembatas–, Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul berhukum di antara mereka ialah ucapan, ‘Kami mendengar, dan kami patuh.’ Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS An-Nur: 51).
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al-Maidah 49-50).
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS An-Nisa 65).
Juga firman-Nya, “Barang siapa yang tidak memutuskan suatu perkara dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.” (QS Al-Maidah: 44).
“Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS Al-Maidah: 45).
“Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS Al-Maidah: 47).
“Tidaklah engkau (Muhammad) memperhatikan orang-orang yang mengaku bahwa mereka telah beriman pada apa yang telah diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelummu? Namun, mereka masih menginginkan ketetapan hukum pada tagut, padahal mereka sudah diperintahkan untuk memerangi tagut. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka dengan kesesatan yang sejauh-jauhnya.” (QS An-Nisa: 60). Serta berbagai ayat lainnya. Maka apakah masih ada alasan bagi orang-orang yang berdalih itu setelah dipaparkannya ayat-ayat ini?!
Begitu pula Rasulullah saw. memaparkan kepada kita hadits-hadits yang disebutkan dalam berbagai kitab induk hadits sahih, khususnya Kitab Bukhari dan Muslim, agar orang munafik tidak bertindak munafik, dan orang-orang yang di dalam hatinya terdapat penyakit tidak tergerak untuk mentakwilkannya. Beberapa di antara hadits-hadits tersebut pun kami sebutkan sebagai contoh belaka, bukan untuk membatasi.
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah ra. ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Kaum Bani Israil dahulu selalu dipimpin oleh para nabi, setiap kali seorang nabi binasa maka akan digantikan dengan nabi yang lain. Tidak ada nabi setelahku, namun setelahku akan ada para khalifah yang begitu banyak.’ Mereka pun bertanya, ‘Ya Rasulullah, lantas apa yang kau perintahkan pada kami?’ Rasulullah saw. berkata, ‘Tunaikanlah baiat pertama dan yang paling pertama , kemudian berikan hak-hak mereka (para khalifah), dan mintalah kepada Allah hak-hak kalian, karena sesungguhnya Allah akan menanyai mereka atas apa yang mereka pimpin.’”
Rasulullah saw. bersabda, “Seorang imam (khalifah) adalah perisai di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya.” (HR Muslim).
Rasulullah saw. juga bersabda, “Barang siapa yang berlepas diri dari ketaatan, akan bertemu dengan Allah pada hari kiamat tanpa memiliki pembela. Barang siapa yang mati tanpa baiat di lehernya, maka dia mati dalam kebodohan.” (HR Muslim).
Pun sabda Rasulullah saw., “Barang siapa yang keluar dari ketaatan dan memisahkan diri dari jemaah lalu mati, maka ia mati jahiliah” (HR Muslim).
Demikian juga hadits, “Hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin yang mendapat hidayah, gigitlah mereka dengan gigi geraham kalian,” yang secara eksplisit menyebutkan para Khulafaur Rasyidin.
Terdapat pula hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, yang menggambarkan keadaan umat dari zaman Nabi saw. sampai akhir zaman dari aspek pemerintahan. Rasulullah saw. bersabda, “Di tengah-tengah kalian terdapat zaman kenabian, atas izin Allah ia tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti metode kenabian. Ia ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan yang zalim, ia juga ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan diktator yang menyengsarakan, ia juga ada dan atas izin Alah akan tetap ada. Selanjutnya akan kembali Khilafah yang mengikuti metode kenabian, lalu beliau terdiam “.
Sedangkan ijmak sahabat, telah diindikasikan oleh perbuatan para sahabat saat membiarkan jasad Nabi saw. terkafani tidak segera dikuburkan selama tiga hari, hingga selesai proses pembaiatan Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai Khalifah kaum muslimin. Hal ini dikarenakan pengesahan kekhilafahan merupakan kewajiban yang harus didahulukan dari kewajiban menguburkan Nabi Muhammad saw.
Bersambung.
Diterjemahkan dari Majalah Al-Waie edisi 422-423, terbit pada bulan Rabiulawal-Rabiulakhir 1443 H/Oktober-November 2021 M
Klik di sini untuk mengakses sumber
Visits: 0