Oleh: Faraj Abu Malik
Sebagian orang bersukacita atas pembunuhan ilmuwan Iran, Mohsen Fakhrizadeh, karena afiliasinya pada kriminalitas rezim Iran yang telah menimpakan kesengsaraan pada umat Islam di Irak, Suriah dan lainnya. Sementara yang lainnya bersedih karena ilmuwan ini juga tergabung dalam front perlawanan terhadap entitas Yahudi, dengan dalih yang membunuhnya adalah entitas Yahudi. Dengan demikian, platform media sosial dipenuhi dengan orang-orang yang bertepuk tangan atas pembunuhan Zadeh dan orang-orang yang murka atas pembunuhannya. Kedua belah pihak tersebut memiliki alasan dan motifnya masing-masing.
Padahal kenyataannya, peristiwa tersebut merupakan krisis politik yang sedang diderita oleh umat. Di antara hal-hal paling sederhana dan paling mudah yang telah dijelaskan oleh Islam, terutama yang berkaitan dengan pemikiran politik, adalah: Siapakah kawan dan musuh (korban)? Konsep loyalitas dan permusuhan, kesucian darah seorang muslim, tidak kenal menyerah bagi seorang muslim dan saudaranya dalam peperangan serta kesetaraan hak darah bagi kaum muslimin.
Tentu saja, semua ide dasar dan penting ini telah terpatri selama berabad-abad lamanya dengan satu kepemimpinan politik yang menyatukan umat dalam akidah dan peraturan, walaupun terjadi perbedaan mazhab di antara masyarakat, yang ini Hanafi dan itu Ja’fari (misalnya), ataupun mereka shalat dan menikah menurut berbagai mazhab sekalipun, mereka semua tetap mengetahui musuh dan kawan mereka serta kesucian darah seorang muslim. Mereka bersatu layaknya satu kelompok dalam hal ini, kecuali mereka yang menyimpang dan keluar dari kelompok ini dan bergabung bersama musuh umat, maka akan diperlakukan sebagai musuh karena telah menyelisihi jamaah.
Krisis politik dimulai sejak tercerai-berai dan pecahnya umat menjadi entitas-entitas yang diperintah oleh rezim pengkhianat, agen yang dibentuk oleh penjajah Inggris dan Prancis setelah mereka menghancurkan kekhalifahan yang telah menyatukan umat. Setelah itu, Amerika datang untuk mencabut hegemoni Inggris dan Prancis agar dapat menguasai negara kita setelah keluar dari isolasi selama Perang Dunia II.
Di antara rezim-rezim ini, ada yang bersembunyi di balik Islam, namun Islam berlepas diri darinya, seperti rezim Iran dan rezim Raja Saud. Yang sebenarnya terjadi adalah rezim-rezim ini mengubah konsep musuh dan kawan di antara rakyatnya sesuai dengan kepentingan mereka dan penguasa kolonialis yang berdiri di belakang mereka. Dengan demikian, rezim berhasil mengubah seluruh konsep Islam yang berhubungan dengan persaudaraan, persatuan, kesucian darah umat Islam, dan persatuan kepemimpinan politik, sehingga bercampur baur menjadi kacau, dan mengakibatkan musuh menjadi kawan dan kawan menjadi musuh, darah beberapa orang boleh ditumpahkan, sedangkan darah yang lainnya dilarang. Seperti inilah umat terpecah belah menjadi kelompok-kelompok, tercerai-berai, dihancurkan, dan saling memerangi. Kemudian, semua orang melupakan entitas Yahudi yang telah membunuh dan berkuasa, dan penjaga mereka yang berasal dari negara adidaya. Begitu pula kita melupakan musuh kita yang sebenarnya, Amerika, Inggris, Prancis, sedangkan penguasa kita bersama mereka.
Tentu saja, para penjajah adalah pihak yang paling diuntungkan, paling berperan menggerakkan dan menggagas penghasutan, perselisihan, pencampuran konsep, dan memoles kebenaran dengan kepalsuan untuk memudahkan mereka merobek-robek wilayah tersebut.
Inilah potensi dari sebagian ulama seperti Mohsen Fakhrizadeh, atau pemikir, politisi ulung dan pemimpin militer terkemuka di negara-negara muslim. Mereka adalah potensi yang harus diarahkan untuk kemaslahatan dan persatuan umat, bukan justru memperkuat perpecahan. Akan tetapi permasalahannya terletak pada perpecahan politik yang dihadapi umat Islam karena perpecahan dan beragamnya sistem mereka.
Telah cukup bagi kita perpisahan, perpecahan dan pertumpahan darah satu sama lain. Mari kita satukan potensi, usaha, dan pilihan kita untuk melawan musuh-musuh kita, bukan melawan satu sama lain. Langkah pertama yang dilakukan adalah dengan meninggalkan keloyalan terhadap rezim boneka ini dan berusaha dengan gigih untuk melanjutkan kehidupan Islam, dengan mendirikan Khilafah Rasyidah sesuai dengan metode kenabian yang kedua. Yang mana kemuliaan, kekuatan persatuan, kesucian darah setiap muslim, serta ridha Allah di dunia dan akhirat ada di dalamnya.
Diterjemahkan dari Surat Kabar Ar-Rayah edisi 315, terbit pada Rabu, 17 Rabi’ul Akhir 1442 H/2 Desember 2020 M
Klik di sini untuk mengakses sumber
Visits: 0