Oleh: Ustadz Sa’id Fadl
Rabu malam, 11/11, Jubir Kabinet Mesir, Nader Saad mengumumkan bahwa tanggal resmi perpindahan ibu kota administratif baru belum ditetapkan. Namun paruh pertama tahun depan akan menjadi saksi dimulainya proses uji coba. Saad menegaskan dalam pernyataan yang disiarkan di televisi bahwa Mesir hampir setahun terlambat pindah ke ibu kota administratif yang baru disebabkan adanya virus Corona baru, Covid-19.
Revolusi Mesir pada bulan Januari dan seterusnya merupakan suatu gerakan kebangkitan bangsa Mesir yang luar biasa, yang dapat mencabut rezim dari akarnya. Pada peristiwa revolusi tersebut, rakyat Mesir bersatu memaksa Amerika mencabut posisinya sebagai sponsor utama Mesir seraya menunggu pertimbangan dari mempelajari fakta dan mencari solusi atas tuntutan massa yang menampakkan ruh keislamannya, dan tampak mendekap tokoh-tokoh muslim.
Hal ini menarik perhatian sekaligus membuat cemas Amerika, sang penguasa dan sang pemimpin dunia. Meski pada akhirnya, Amerika bisa memanfaatkan ruh keislaman tadi sebab dangkalnya kesadaran massa, lantas Amerika kendalikan revolusi serta ambisi massa, dan ia buat Mesir kembali ke sistem yang sama, dengan orang-orangnya yang sama, malah dengan bentuk yang lebih mengerikan. Di bawah kendali Amerika, rezim dibuat fokus memikirkan bagaimana melindungi sistem ini dari segala macam revolusi, padahal kapitalisme sendiri terbukti gagal mewujudkan berbagai solusi untuk setiap problematik mereka. Bahkan, kapitalisme-lah dalang utama dirampoknya SDA mereka sekaligus akar dari semua problematika.
Atas dasar ini, bukan suatu hal yang mustahil bila revolusi terjadi lagi. Boleh jadi terlambat, tetapi yang jelas revolusi tetap akan datang. Setiap tekanan yang datang tanpa henti pasti akan menghasilkan ledakan.
Demikian pula halnya, gagasan tentang ibu kota baru berbenteng yang ingin diwujudkan oleh rezim dengan pinjaman yang mana akan membebani rakyat dan memperparah buruknya krisis yang ada. Ibu kota untuk kalangan elit, politisi, kapitalis, serta para pemilik kepentingan, yakni kaki-tangan rezim. Rangkaian jembatan serta jalan untuk kemudahan transportasi ke dan dari ibu kota baru telah selesai dikerjakan, dalam rangka persiapan pemindahan semua lembaga-lembaga vital negara ke lokasi tersebut, sebagaimana yang diumumkan oleh rezim itu sendiri.
Hal tersebut menjadikan lembaga-lembaga negara jauh dari jangkauan orang-orang. Pun, benteng kota yang tinggi melindunginya dari revolusi yang bisa saja mengancam rezim ini baik secara riil maupun praktis.
Pemimpin rezim ini mengikuti langkah para pendahulunya. Ia perluas rawa pinjaman yang penuh lumpur dan becek itu, lantas ia ceburkan Mesir ke dalamnya. Padahal kenyataannya, pinjaman-pinjaman tersebut tidak dibutuhkan dan tidak diperoleh oleh rakyat Mesir sedikit pun. Bahkan sebenarnya semua pinjaman itu digunakan untuk melayani rezim dan para elit yang berkuasa.
Maksud saya di sini adalah nominal pinjaman yang tertera dalam rekening di bank-bank Barat, sedangkan rakyat tidak memperoleh apapun kecuali banyaknya beban. Entah itu beban keharusan melunaskan berbagai pinjaman ini, bunga dari hutang mereka, maupun malapetaka keputusan ekonomi yang kelak ditetapkan oleh para pemberi pinjaman ini. Pada gilirannya, semua hal ini akan memperparah krisis rakyat Mesir dan membuat mereka lebih-lebih miskin lagi.
Di sisi lain, Barat malah menjarah kekayaan mereka lebih dan lebih banyak lagi. Hal ini meyakinkan Barat bahwa negara tersebut akan digadaikan selama beberapa dekade ke depan sebab jeratan beban di segala sisi.
Sistem ini sadar betul betapa besar kekejamannya terhadap Mesir dan penduduknya, sehingga kehancuran sistem ini hanya masalah waktu saja. Jika bukan terjadi melalui tangan rakyat, maka bisa jadi Amerika akan menumbangkan rezim yang ada agar mendapatkan jangka waktu yang lebih dengan menempatkan kaki-tangan baru yang mengenakan jubah kepahlawanan dengan menumbangkan rezim sebelumnya. Kemudian menipu masyarakat selama puluhan tahun kedepan. Oleh karenanya ia membangun ibu kota baru sebagai benteng baginya. Bukan hanya melindungi ia dari rakyat saja tapi juga dari para pesaingnya. Sehingga keberadaan orang-orang sekelilingnya yang berada di dalam “benteng” bergantung pada eksistensinya di puncak pemerintahan. Hal ini mengingatkan orang-orang mukmin pada firman-Nya:
“…dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka…” (Q.S. Al-Hasyr: 2)
Perbaikan atau solusi keamanan apapun yang diterapkan pada sistem yang kacau ini tidak akan bermanfaat ketika berhadapan dengan manusia saat mengalami krisis. Karena pada dasarnya kapitalisme yang kini diterapkan mempunyai kebobrokan dari dalam, dan sejauh ini hanya anggapan tidak adanya alternatif nyata-lah yang tersisa dari pandangan masyarakat. Walaupun bukan hilang secara nyata karena sebenarnya ia tidak hilang dan orang-orang mengetahui keberadaannya. Hal itu tampak pada semangat Islam yang ditafsirkan oleh jutaan rakyat Mesir di lapangan Tahrir pasca Revolusi Januari dengan seruan “Islamiyyah Islamiyyah“, lalu disusul dengan kemenangan orang-orang Islam pada pemilihan umum.
Kemenangan itu bukan karena berbagai resolusi kampanye, akan tetapi hal ini berasal dari perasaan dan kepercayaan terhadap Islam beserta pemeluknya serta keyakinan akan sistem yang hakiki hanyalah Islam. Islamlah satu-satunya yang dapat memuaskan dan merealisasikan cita-cita mereka. Kalau saja masyarakat menyadari sistem yang hakiki yang ia miliki dan Hizbut Tahrir telah menunjukkannya, maka akan merubah keseimbangan yang ada dan hilangnya Kapitalisme semakin dekat. Andai manusia menemukan undang-undang yang selaras dengan perasaan Islam serta mengembalikan kemuliaan mereka yang terenggut lalu menegakan kembali keadilan yang semula menghilang. Maka tidak diragukan lagi bahwa bangkitnya mereka untuk menerapkan hal tersebut adalah suatu keniscayaan dan merupakan urgensi yang harus dipertaruhkan meski harus berhadapan dengan kematian.
Mereka tak akan berhenti meski dihadang rintangan, benteng tak akan bisa menghalangi, dan peluru takkan mampu menakuti mereka. Sehingga muncul kekuatan kaum muslimin yang menghantarkan pada revolusi hakiki yang akan menumbangkan sistem ini dari akarnya serta melemparkan segala perangkatnya ke lembah yang dalam. Lalu ia akan menegakkan Daulah Islam yang diterapkan di tengah-tengah manusia seperti pertama kali diterapkan dahulu. Negara keadilan, kebaikan, dan kejujuran, dialah Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah.
Maka segala bentuk mempertahankan sistem ini beserta penguasanya tak akan menjaga dan menunda hari yang telah dijanjikan. Sungguh mereka akan berjumpa dengan pendahulunya yaitu para Firaun dan para diktator yang telah Allah tenggelamkan atau Allah jadikan jasad mereka digerogoti ulat tanah. Dan di sisi Allah-lah mereka dipersilakan untuk berbantah-bantah.
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan.” (Q.S. Al-Anfal 24)
Diterjemahkan dari Surat Kabar Ar-Rayah edisi 316, terbit pada Rabu, 24 Rabi’ul Akhir 1442 H/9 Desember 2020 M
Klik di sini untuk mengakses sumber
Hits: 0