Oleh: Ustadz Sa’id Fadhl
Beberapa hari yang lalu, kapal yang kandas dan menutup Terusan Suez selama enam hari penuh berhasil berlayar kembali. Selama itu, kapitalisme dan ekonomi global terguncang.
Warga Mesir tidak merasakan dampak dari tersangkutnya kapal atau penutupan Terusan Suez, karena keuntungan Terusan Suez sesungguhnya sejak awal telah dijarah dan tidak ada hasil yang didapat darinya yang membuat mereka merasakan dampak jika Terusan Suez terhenti atau berkurang nilainya. Maka pihak yang dirugikanlah yang diuntungkan. Satu-satunya pihak yang diuntungkan dari Terusan Suez ini hanyalah Barat yang kapal-kapalnya melintasi terusan untuk memperpendek jarak dan risiko, sedang para anteknya adalah para penguasa Mesir yang mengambil imbalan dari lalu lintas kapal-kapal tersebut untuk mereka nikmati sendiri.
Sedangkan para penduduk Mesir, mereka memiliki infrastruktur yang berada di bawah rata-rata, kereta-kereta yang rusak dan rumah-rumah sempit, bahkan yang runtuh bersama penghuninya, hingga membunuh puluhan atau ratusan dari mereka. Tercatat selama enam hari saat kapal kandas, kecelakaan kereta api Mesir di daerah El-Sha’id di mana puluhan orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka, serta mereka yang terjebak berhari-hari di bawah gerbong kereta, tidak ada seorang pun yang membantu mereka dan tidak pula menyelamatkan mereka dari genangan darah. Siapa sesungguhnya yang sibuk menggerakkan kapal –atau mari kita katakan– menggerakkan ekonomi kapitalisme? Jadi pada hakikatnya, jiwa manusia tidak diperhatikan oleh para penguasa ini. Mungkin inilah yang membuat warga terus meminta bantuan pada relawan yang bisa mengeluarkan jenazah agar tidak bersemayam di alam terbuka.
Ya, kapal kargo raksasa milik kapitalis Barat telah mengapung membawa kekayaan yang dirampas dari bangsa-bangsa terjajah agar berlayar setelah berhari-hari menetap di negara-negara Barat yang menikmati keuntungan dari negeri-negeri kita (kaum muslimin). Kapal itu bergerak dan pergi sementara Mesir tenggelam dalam lumpur ketergantungan, abai dalam pengurusan rakyatnya, lalai atas hak-hak mereka dan justru membantu penjajah merampas kekayaan mereka. Kapal itu pergi mempublikasikan setelahnya bahwa rezim ini adalah milik para ‘pahlawan fiktif’ baru, dan mengklaim kemampuan superior untuk menantang kesulitan, dan ancaman bagi mereka yang memusuhi Mesir atau melanggar hak atas perairannya sementara Ethiopia mulai mengisi bendungannya yang kedua.
Tidak diragukan lagi bahwa rezim, kepala dan tentaranya akan membalasnya. Mungkin dengan pengeboman di Sinai hingga menghancurkan rumah-rumah warga dan membawa mereka ke tempat terbuka lalu membunuh siapa pun yang diinginkannya, mungkin dengan mengebom Libya untuk membantu sekutunya, Haftar, rekan keagenannya di Gedung Putih, atau mungkin dia akan menangkap mereka yang berani dan sengaja merekam adegan penderitaan orang-orang selama dan setelah setiap tragedi yang menimpa mereka sebagai akibat dari kesengajaan rezim melalaikan urusan rakyat, termasuk yang terbaru adalah tragedi kecelakaan kereta api Mesir di daerah El-Sha’id.
Di sebuah negara yang memiliki peralatan yang mampu menyerang sebuah wilayah tepat di atas kepala warganya, namun tidak memiliki satu pun alat yang dapat menarik atau mengapungkan kapal dan hanya berpaku pada alat pengeruk (bulldozer) yang sudah dikenal mendunia, yang digunakan untuk mengeruk (tanah) di bawah kapal raksasa.
Begitu pula alat-alat rezim (pemerintahan) tidak digunakan untuk menyelamatkan para korban insiden kereta api yang mengancam para penguasa rezim dengan persebarannya selama enam jam ke penjuru negeri. (Alat-alat tersebut) alih-alih digunakan dalam rangka menyelamatkan orang-orang tersebut, namun malah digunakan untuk melawan setiap potensi pergerakan dari kalangan mereka. Bahkan bisa jadi penguasa tersebut membunuh dan menggilas mereka dengan senjata sebagaimana yang terjadi dahulu di Rab’ah dan Nahdhah, juga di tempat lainnya. Namun, merupakan sebuah kepastian bahwa alat-alat militer mereka –yang dapat menimbulkan ketakutan dan ancaman– digunakan dalam rangka menyelamatkan hidup mereka (penguasa rezim), bukan untuk melindungi hak-hak (rakyat) mereka.
Pimpinan Otoritas Pengelola Terusan Suez, Osama Rabie menjelaskan bahwa berbagai kerugian dan kompensasi yang disebabkan oleh penutupan terusan ini mencapai satu miliar dolar. Ia menyatakan dalam sebuah saluran televisi pada penghujung sore hari Rabu, “Nilai kerugian, mesin keruk yang telah dihabiskan, dan semua keperluan yang akan diperhitungkan, perkiraan akan mencapai satu miliar sekian dolar. Inilah yang sebenarnya menimpa negara”, sebagaimana yang disampaikan saluran Al-Arabiyyah dalam portalnya pada Ahad (4/4). Adapun dalam sebuah konferensi pers pada Sabtu (27/3) ia menyebutkan bahwasanya kerugian Terusan Suez pada pendapatan dan tarif bea cukai saja mencapai antara 12-14 juta USD per hari, berdasarkan gerak pelayaran laut melalui Terusan Suez. Hal ini berarti bahwasanya kerugian Otoritas Pengelola Terusan Suez dalam hal tarif hingga hari ketujuh, sejak dari hari Selasa sampai Senin (29/3) mencapai kisaran 84-98 juta USD, tanpa perhitungan tarif yang seharusnya didapatkan dari kapal-kapal yang mengubah jalur pelayarannya melewati Tanjung Harapan, sebagaimana yang telah disebarkan oleh Al-Ain (media pemberitaan Uni Emirat Arab).
Bisa disimpulkan, pemasukan Terusan Suez dalam satu pekan mencapai kurang lebih 100 juta USD, kemana perginya? Pemasukan sebanyak itu tidak dihabiskan untuk Terusan Suez sendiri, juga tidak untuk mengembangkan teknologinya dan persiapan menghadapi berbagai krisis semisal krisis itu (kecelakaan kereta api), bahkan tidak juga dipergunakan untuk merealisasikan resolusi semu yang diserukan oleh rezim. Tidak pula untuk jembatan layang dan jalan-jalan baru yang dibuat hanya untuk melayani Fir’aun baru, atau ibukota baru yang dikelilingi dengan pagar-pagar yang dipersiapkan untuk menjadi tempat pelarian para penguasa rezim dari rakyatnya ketika terjadi insiden baru yang suatu saat mungkin terjadi dan tidak mungkin dihindari, yang akan mengambil jalanan subur dan keringnya.
Penutupan yang berlangsung berhari-hari ini tidak terasa bagi penduduk Mesir dan tidak mempengaruhi kehidupan sehari-hari mereka, membuktikan bahwasanya mereka tidak membutuhkan terusan itu dan bahwa mereka adalah pihak yang mengalami kerugian pertama atas keberadaannya, karena ia memisahkan tanah-tanah mereka dan melarang perdagangan menguntungkan yang laris di Mesir, jika terusan ditutup secara permanen.
Wilayah yang memisahkan Laut Merah dan Putih tersebut telah berubah menjadi wilayah perdagangan dan industri internasional yang di sana terjadi jual-beli seluruh dunia. Lalu diubahnya ia menjadi wilayah yang mengontrol perdagangan seluruh dunia, wilayah ini dan seluruh Mesir akan menjadi salah satu negara terkaya di dunia, inilah fakta wilayah itu. Maka menjadi keharusan jika suatu negara memiliki pengelola yang menginginkan kebaikan untuk Mesir dan rakyatnya.
Penutupan (Terusan Suez) ini dan pengaruhnya terhadap perekonomian dunia menunjukkan kekuatan Mesir sebagai bagian dari bangsa Islam, dan kemampuannya dalam memberikan pengaruh politis di seluruh dunia dengan batas-batas nasionalnya saja. Maka bagaimana jika Islam memiliki negara yang memposisikannya sebagai pandangan hidup, dunia pasti akan berubah dan akan berakhir pula berbagai tragedi rakyat yang diciptakan oleh kapitalisme dan penerusnya disebabkan oleh keserakahan dan kebiadabannya.
Sesungguhnya Mesir tidak harus melakukan sesuatu untuk terusan itu, (sehingga) tidak akan terpengaruh efek negatif dengan ada atau tidaknya, melainkan akan berubah menjadi pusat utama perdagangan dunia seperti sebelumnya dan sebagaimana mestinya; dengan sumber daya, kekayaan, dan energi manusia yang sangat besar yang dengan semua ini memungkinkannya, namun ia hanya membutuhkan pengelola yang sadar dan ikhlas yang menjalankan syariat kenegaraan secara hakiki agar ia menggunakan sumber daya manusianya di tempat yang benar dan menginvestasikan sumber dayanya secara optimal yang bermanfaat bagi seluruh manusia. Pada hakikatnya semua ini tidak akan bisa dicapai kecuali hanya Islam dengan syari’atnya, yakni Khilafah Rasyidah yang sesuai dengan metode kenabian.
Para pemuda Hizbut Tahrir adalah orang-orang sadar dan mampu melaksanakannya dengan baik, tidak ada kekurangan kecuali pertolongan tulus yang kita harapkan datang dari Mesir dan tentaranya, yang selalu menolong Islam dan pemeluknya.
Kami memohon kepada Allah untuk mengembalikan sejarah kemuliaan Islam dan sepak terjang generasi pertama ansar, sehingga Mesir akan menjadi permata di mahkota Negara Islam dan kota barunya. Ya Allah, percepatlah segera tanpa penundaan.
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اسْتَجِيبُواْ لِلّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُم لِمَا يُحْيِيكُمْ ﴾
“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu.”
Diterjemahkan dari Surat Kabar Ar-Rayah edisi 333, terbit pada Rabu, 25 Sya’ban 1442 H/7 April 2021 M
Klik di sini untuk mengakses sumber
Visits: 0