Search
Close this search box.

Kudeta Militer dan Nasib Sudan

Oleh: Ustaz Hasballah An-Nur

Mantan Perdana Menteri Inggris, Winston Churchill mengatakan, “Kepemimpinan dunia harus diserahkan kepada bangsa-bangsa yang hidup dengan kepuasan dan berkecukupan, karena mereka tidak memiliki hasrat untuk menambah kekayaan yang mereka punya. Tetapi jika urusan menguasai dunia dibiarkan di tangan orang-orang yang lapar, akan kita dapati bahaya selalu ada di depan mata. Tak satu pun dari kita memiliki alasan untuk berusaha lebih. Kedamaian tidak akan terpelihara kecuali oleh orang-orang yang hidup dengan cara khusus yang jauh dari ketamakan dan keserakahan. Maka, kekuatan yang ada pada kami telah menempatkan kami pada peringkat yang lebih tinggi dari peringkat bangsa lain, dan menjadikan kami seperti orang kaya yang menikmati kedamaian di rumah-rumah dan negara-negara mereka.”

Begitu pula Nixon, Mantan Presiden Amerika, memandang bahwasanya “Menjadi sebuah keharusan untuk segera membasmi virus yang mendorong semua orang asing—yang bersiap-siap melawan dan melukai kita—dengan mencoba mengambil alih kekayaan dan sumber daya alam milik mereka.”

Jika pandangan Churchill mengungkapkan kolonialisme lama, maka pernyataan Nixon jelas mengungkapkan kolonialisme modern yang mendominasi politik internasional hingga saat ini.

Pendekatan dua perspektif kolonial terhadap apa yang terjadi di Sudan, memberikan kepada kita gambaran tiga dimensi yang mendiagnosis secara akurat tentang situasi yang kita jalani di Sudan. Jika peran lokal memiliki andil dalam membentuk politik di Sudan, dan lingkungan regional memiliki peran yang tidak dapat dibantah lagi, maka sesungguhnya pengaruh internasionallah yang membuat strategi, sedangkan pihak lain harus mengimplementasikannya di lapangan.

Upaya untuk melepaskan diri dari hegemoni global terjadi di beberapa negara di dunia—khususnya di negeri-negeri Islam akhir-akhir ini yang telah dikuasai dan dimonopoli seperti Sudan—. Meskipun upaya-upaya sebelumnya gagal, upaya terakhir tidaklah berjalan jauh dari pendahulunya sesuai dengan rencana yang disusun untuk mencapai akhir yang tak terhindarkan.

Oleh karena itu, aspirasi para pemuda revolusioner yang haus akan kebebasan dari ketergantungan harus dibendung dan dikendalikan oleh para pemain lokal, regional, dan internasional.

Sesungguhnya struktur Pasukan Kebebasan dan Perubahan (FFC)—representasi inkubator politik Pemerintahan Transisi di Sudan, yang terdiri dari puluhan komponen politik, regional, suku, dan wilayah—, merupakan komponen rapuh yang menumbuhsuburkan kekosongan politik.

Di sisi lain, kami mendapati adanya komponen militer dan sekutunya dengan komponen sipil, serta perbedaan antara keduanya yang muncul secara terang-terangan setelah upaya kudeta terakhir merupakan bagian lain dari kekosongan politik. Inilah yang melemahkan pemerintah dan membuatnya tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya, sehingga harus bertaruh pada komunitas internasional dan jatuh ke tangan IMF juga Bank Dunia yang hanya membuatnya semakin rusak. Dengan demikian, pilar-pilar kekosongan politik telah membuat Pemerintahan Transisi kehilangan dukungan rakyatnya, yang tampak dari sikap negatif melalui upaya kudeta baru-baru ini.

Kekosongan politik ini yang mengakibatkan adanya pemerintahan yang rapuh, lemah, lelah, serta kehilangan wibawa—yang berperan menghasilkan kekosongan keamanan dan tekanan tirani—, sehingga menjadikan situasi semakin memburuk.

Baru-baru ini, muncul seruan dan peristiwa yang sangat berbahaya, seperti seruan untuk hak menentukan nasib sendiri di Sudan Timur, yang disertai dengan penutupan bandara, pelabuhan, dan jalan umum. Juga seruan yang muncul di Sudan Utara menuntut otonomi, serta pernyataan gubernur wilayah Darfur bahwa ia siap untuk mendahului pusat. Begitu juga dengan apa yang disebut Zaghawa, yang berbatasan dengan wilayah Dongola.

Berbagai seruan ini memperingatkan ancaman yang serius pada institusi negara, itulah yang disebut oleh para perencana strategi politik dengan istilah strategi politik vakum, yang juga dianggap sebagai tahapan akhir dari beberapa tahapan keterpaduan eksistensi negara.

Dengan lebih menonjolkan “kevakuman” (kekosongan jabatan), kemudian memperbesar, dan menyebabkan peniupan api konflik di dalamnya, dapat mengakibatkan berbagai benturan yang menyeluruh—yang dapat merusak negara—dan dapat menghancurkan apa yang sudah ada di Sudan, dan tentu saja Allah tidak menghendaki hal ini.

Ketika itu orang-orang berusaha melupakan seluruh problematika mereka. Satu-satunya perhatian dan obsesi mereka adalah menjaga institusi negara, apapun harganya. Mereka akan melakukannya untuk menjaga entitas tersebut, maka opsi militer akan diterima jika tidak menjadi tuntutan.

Sesungguhnya demokrasi yang diserukan oleh banyak orang—dan diklaim oleh Barat bahwa ia mendukung dan menyebarkannya—, adalah sebuah kebohongan yang besar. Barat bekerja keras dan sungguh-sungguh untuk mengubur segala upaya untuk menerapkan sistem demokrasi di negeri ini—meskipun itu perkara yang sia-sia—. Untuk membuktikannya, saya akan menyebutkan beberapa pernyataan politisi, intelektual, dan penguasa Barat:

– Dewan Nasional Amerika menjelaskan bahwa, “Terdapat konsep utama di dunia Arab yang mengakibatkan AS mendukung kediktatoran dan mencegah demokrasi untuk menjamin dominasinya terhadap sumber daya kawasan tersebut. Bisa dikatakan, konsepnya akurat secara politis.” Pernyataan ini kemudian diperkuat dengan pemaparan Badan Keamanan Nasional (NSC), “Seperti ini lah yang seharusnya kita lakukan.”

– Seorang kolumnis liberal terkemuka, James Reston menulis dalam majalah TIME, “Kudeta telah mengakhiri bahaya yang ditimbulkan oleh demokrasi dengan melenyapkan partai politik miskin yang memiliki basis populer luas—yang mengacu pada negara Chili—. Membangun kediktatoran yang mengumpulkan dan menyusun salah satu catatan hak asasi manusia terburuk di dunia, dan menyajikan kekayaan negara di atas piring-piring emas untuk para investor asing.”

– Editor Eksekutif New York Times menulis, “Bagi mereka yang bercita-cita untuk demokrasi di Timur Tengah dan Afrika Utara, hasil jajak pendapat Arab telah menunjukkan—dengan kejelasan yang tak terbantahkan—bahwa itu akan menjadi bencana tersendiri bagi Washington. Keberadaan gerakan dan jaringan menuju pembentukan demokrasi yang nyata dan aktif, di mana opini publik memiliki pengaruh pada politik. Seperti yang telah kita lihat, orang-orang Arab memandang Amerika Serikat sebagai ancaman besar, mereka akan mengusirnya dan para sekutunya dari kawasan itu jika memungkinkan.”

– Lalu kita cukupi untuk merujuk pada pernyataan George Bush Jr., “Selama 60 tahun, kami telah menaungi dan mendukung kediktatoran di Timur Tengah.” Inilah yang ia katakan dan lebih banyak lagi.

Negara Barat telah mengusahakan untuk menggugurkan apa yang disebut dengan Musim Semi Arab. Telah dilakukan di Sudan sebelumnya, di mana semua upaya untuk menjadikan demokrasi sebagai hakim digulingkan. Hal tersebut karena rezim internasional tidak akan membiarkan sedikit pun terjadinya semacam kehendak sendiri pada masyarakat tersebut, meski demokrasi yang ingin dibangun di negara-negara Timur Tengah dan Afrika adalah demokrasi sekuler yang eksplisit mengikuti pola Barat. Begitu pula dengan para penguasa wilayah regional, mereka tidak akan mengijinkan hal tersebut karena akan mengancam singgasana mereka.

Agar kita memiliki kehendak sendiri, kita harus berhadapan dengan ketiga sisi dari segitiga. Maka tidak ada jalan keluar selain pemikiran politik yang menyatukan internal (negara) dan mengisi kekosongan—sebagai inti dalam memobilisasi wilayah regional bahkan seluruh negeri-negeri kaum muslimin—dalam menghadapi rezim internasional. Maka dengan itu kemudian orang-orang beriman akan bersukacita dalam kemenangan Tuhan.

Diterjemahkan dari Surat Kabar Ar-Rayah edisi 359, terbit pada Rabu, 29 Safar 1443 H/6 Oktober 2021 M

Klik di sini untuk mengakses sumber 

Visits: 0

Tags

Bagikan tulisan ini

Tulisan menarik lainnya...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Category

Gabung Channel Telegram