Search
Close this search box.

Konvensi Istanbul Sebagai Pemusatan Rintangan Sosial

Oleh: Ustadzah Siham Arus

Sekalipun Barat telah merasa tenang dengan westernisasi, disintegrasi, dan kehancuran yang terjadi pada masyarakat di penjuru negeri-negeri Islam berkat feminisme dan liberalisme yang disebarkannya, namun mereka tetap mengawasi dan mempelajari setiap pergerakan yang mengingatkan kebenaran kepada kaum muslimin ataupun yang membangkitkan pemikiran mereka, meski dalam golongan yang sedikit.

Barat menyakini dengan pasti akan kembalinya kaum muslimin kepada kejayaan dan kemuliaannya yang dulu. Barat juga mengetahui bahwa ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi telah mengabarkan hal tersebut. Karena itulah mereka berusaha keras sebisa mungkin untuk memperlambat kebangkitan kaum muslimin. Maka dari itu, mereka memiliki banyak institusi untuk mempelajari pergerakan masyarakat muslim, supaya dapat menentukan cara menghadapinya dan mulai mengubah langkah serta cara mereka untuk mempengaruhi kaum muslimin.

Meskipun gerakan revolusi yang terjadi di negeri kita sejak tahun 2011 merupakan hal yang mengejutkan dan tak terduga, Barat cepat-cepat menahannya dan mengembalikannya kepada kondisi semula atau bahkan lebih parah. Akan tetapi hal ini tidak mencegah Barat untuk meningkatkan kewaspadaan. Barat mulai mengambil tindakan yang memperketat cengkramannya, menundukan mereka pada kekuasaaannya, dan mencegah kaum muslimin terbebas dari kendalinya.

Pembagian wilayah dalam perjanjian Sykes-Picot misalnya, tidak lagi cukup untuk memisahkan persatuan kaum muslimin. Oleh karena itu negara-negara besar bergegas untuk mendirikan blok dan barikade militer, sehingga akan menyulitkan kaum muslimin untuk bergabung dengan negara Islam ataupun mencegahnya bergabung dengan negara-negara tetangga. Di Tunisia misalnya, barikade penghalang dan parit dibangun di perbatasan Libya-Tunisia.

Padang Sahara menjadi zona militer terlarang bagi orang Tunisia. Di Tunisia juga para tentara dan keamanannya mengadakan kesepakatan bersama Amerika dan Britania Raya untuk menjaga perbatasannya, mempersenjatai para tentaranya, serta mengontrol keamanan dan tentara mereka. Inilah yang nampak di depan mata, Tetapi apa yang tak kasat mata, tentu lebih besar dan lebih berbahaya dari barikade-barikade militer yang Barat rancang. Hal itu tidak lain karena mereka mengetahui, bahwasanya berdirinya Daulah Islam tidak dapat dipungkiri. Mereka hanya berusaha untuk menundanya dan melumpuhkannya ketika Daulah berdiri.

Barat tidak sebatas memasang barikade militer, mereka juga sangat memperhatikan aspek sosial dan menganggapnya tidak kalah penting atau bahkan lebih penting dari aspek militer. Terutama karena Barat telah berhasil menciptakan perubahan besar pada gaya, serta jalan pikiran dan cara pandang mereka. Ide kebebasan dan kesetaraan yang diserukan oleh gerakan feminise malah mencetak muslim kita dengan tabiat Barat yang jauh dari fitrahnya.

Akan tetapi dengan akidah yang masih tertanam dalam diri umat Islam, mereka nampak kembali pada fitrahnya. Di mana para wanita di Tunisia berlomba dalam jumlah besar untuk bergabung dengan asosiasi menghafal Al-Quran setelah diizinkan untuk beroperasi. Para wanita bersedia untuk menggunakan hijab setelah penghapusan UU No. 108 yang melarang dan menghukum orang yang memakainya.

Ini menegaskan kepada Barat bahwa akidah Islam hidup dalam jiwa kaum muslimin. Menegaskan bahwa wanita yang dibuat sibuk untuk memperjuangkan dirinya dan kesetaraan; yang kemudian meninggalkan keluarganya dan keluar untuk bekerja sembari bertabarruj serta menyatakan peperangannya terhadap laki-laki; pada akhirnya mereka akan meninggalkan ini semua dan kembali kepada hukum-hukum Islam. Mereka kembali secara tunduk dan sadar bahwa keterpurukan yang dideritanya akibat ia patuh kepada pemikiran-pemikiran Barat yang asing baginya dan bertentangan dengan akidah juga fitrahnya.

Semua hal tadi dan lain semisalnya telah Barat jadikan metode baru untuk mengendalikan terjadinya berbagai macam peristiwa. Disahkannya kebebasan nurani (freedom of conscience) dan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan yang mutlak di mata hukum merupakan sebuah jalan tambahan bagi tindakan-tindakan pencegahan di waktu mendatang.

Tak perlu menghabiskan banyak usaha dan waktu bagi Barat, dengan begitu cepatnya Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) muncul di permukaan. Konvensi ini mulai diperbincangkan, baik itu soal seberapa butuhnya ia diberlakuan, maupun seberapa pentingnya ia membanjiri berbagai forum organisasi dan dewan parlemen.

Beji Caid Essebsi, Mantan Presiden Tunisia bahkan menghapus semua penentangan Tunisia terhadap CEDAW. Berbagai perdebatan dan diskusi soal CEDAW di dalam parlemen Tunisia akhirnya tuntas, dewan parlemen menyetujui CEDAW, lantas hal ini dimasukkan ke dalam simbol resmi milik negara yang dinamakan UU No. 58. Dengan ini, Barat telah menancapkan pasak penting pada pagar sosial yang dimaksudkan untuk mengokohkan posisi Barat dengan kekuatan yang besar.

Hari ini kita akan membicarakan konvensi baru yang begitu krusial, di mana ia mengandung kekuatan dari sisi operasional. Yakni perjanjian pencegahan dan perlawanan kekerasan terhadap wanita serta kekerasan rumah tangga yang dikenal dengan “Konvensi Istanbul” (Istanbul Convention), berbeda dengan konvensi CEDAW. Konvensi Istanbul amat begitu memusatkan aspek pemantauan sisi operasional yang memungkinkan organisasi-organisasi masyarakat sipil berperan sebagai pengawas sekaligus penindak yang turun tangan ketika terdapat penyelewengan terhadap poin-poin perjanjian tersebut. Organisasi tadi juga mungkin mengadukan berbagai macam kasus kepada pengadilan Barat setiap kali hal itu diperlukan. Sebagaimana halnya pengusung konvensi ini memberikan perlindungan total, kebebasan bertindak dan campur tangan di dalam semua negara yang menandatanginya; konvensi ini juga menjadikan masyarakat kita bergantung pada keputusan dan pendapat mereka.

Maka sudah seharusnya kita sebagai manusia yang berakal bertanya-tanya: Kenapa negara kita berusaha untuk menandatangani konvensi milik Uni Eropa padahal negara kita bukanlah bagian darinya? Apa sebab dibuatnya perjanjian ini, padahal ia sangatlah menyerupai perjanjian CEDAW?

Jawabannya, sebab negara-negara kita dianggap remeh, serta tidak memiliki kehendak dan kebijakan politik. Hari ini, Barat telah merancang strategi jangka panjang, di mana banyak di antara kita yang memandang hal tersebut sesuatu yang masih jauh. Padahal mereka yang melek fakta paham bahwa hal itu adalah sesuatu yang dekat, sebagaimana Barat yang peka memandangnya sebagai hal yang dekat dan berusaha untuk menghambat terealisasinya hal tersebut.

Adapun Khilafah –yang telah Allah SWT janjikan kepada kita serta telah dikabarkan oleh Nabi kita SAW yang mulia– sungguh telah dekat. Kafir penjajah pun merasakan kedekatannya, dan menyiapkan sejumlah strategi untuk melumpuhkannya dengan membangun berbagai penghalang ini.

Jika penghalang militer dapat menghambat pelebaran negara setelah didirikan, maka rintangan sosial mampu mengacaukan dan menyibukkan Daulah Islamiyyah dalam hal konflik internal dengan kelompok-kelompok yang terbius berbagai gagasan ini. Kelompok tersebut bisa saja meminta bantuan Barat untuk mewujudkan berbagai gagasannya sehingga pantang menyerah.

Penghalang-penghalang tersebut meskipun dipasak dengan kuat, tidak akan mampu menghalangi terwujudnya pertolongan Allah SWT jika telah tiba waktunya. Maka Barat akan tumbang dalam waktu yang dekat. Pun, kelemahannya akan tampak di hadapan kekuatan serta keadilan Islam dengan izin Allah SWT.

#Konvensi_Istanbul_itu_kriminalitas #Hentikan_penandatangan

Diterjemahkan dari Surat Kabar Ar-Rayah edisi 315, terbit pada Rabu, 17 Rabi’ul Akhir 1442 H/2 Desember 2020 M

Klik di sini untuk mengakses sumber

Visits: 0

Tags

Bagikan tulisan ini

Tulisan menarik lainnya...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Category

Gabung Channel Telegram