Search
Close this search box.

Kepemimpinan Amerika dan Revolusi Suriah: Beragam Sikap, Satu Tujuan

Oleh: Ustadz Abdu Ad-Dalliy (Abu Al-Mundzir)

Revolusi penduduk Syam spontan meletus pada Maret 2011 guna menuntut hak-hak mendasar rakyat, yang selama bertahun-tahun hidup dalam penindasan dan kediktatoran. Percikan revolusi itu terjadi di kota Daraa dan menyebar dengan cepat hingga melingkupi seluruh wilayah Suriah.

Masa Revolusi Syam berlangsung lebih lama dibandingkan dengan revolusi semisalnya yang menjadi pemicu revolusi tersebut. Lantas permasalahan semakin pelik, dan timbullah konflik antara kubu para pelaku revolusi yang melakukan penuntutan terhadap hak-haknya dan kubu yang berusaha untuk mencegah revolusi tersebut.

Berbagai negara di dunia mempunyai sikap yang berbeda-beda dalam memandang revolusi tersebut. Di antaranya ada yang menjadi pendukung, dan ada juga yang menjadi propagandis melalui solusi-solusi politik. Gerakan propaganda yang dilakukan juga beragam. Seperti mengalihkan berbagai tuntutan militer kepada tuntutan politis, dengan menyelenggarakan pertemuan dan konferensi internasional. Dengan begitu, kita menyaksikan berbagai gerakan diplomatis yang berujung pada satu tujuan, yaitu untuk menggagalkan revolusi.

Revolusi Suriah dan peran Amerika di dalamnya:

Revolusi Syam telah melewati tiga periode kepemimpinan di Amerika. Berbeda pemimpin, berbeda pula pernyataan sikapnya. Pada Mei 2011, terdapat seruan perdamaian dengan menyambut tuntutan para demonstran guna terjadi perubahan di bulan Agustus pada tahun yang sama. Hal itu dilakukan agar tuntutan yang diinginkan oleh para demonstran bisa terpaling dari tujuannya. Kejadian ini terjadi pada masa kepemimpinan Barack Obama. Hasilnya, terjadilah perjanjian di Jenewa yang dilaksanakan pada Juni 2012.

Berbeda dengan kepemimpinan Donald Trump. Ia menganggap Bashar Assad bukanlah musuh bagi Amerika. Musuh baginya adalah berbagai organisasi jihadis. Hal itu merupakan sikap yang diambil berdasarkan hasil pernyataan Konvensi Jenewa.

Pada periode saat ini, Joe Biden mengatakan akan bersiap mengambil langkah terhadap Suriah setelah mengevaluasi langkah yang diambil pada periode kepemimpinan sebelumnya.

Oleh karena itu, sikap Amerika terhadap Revolusi Suriah tidak keluar dari keputusan di bulan Juni 2012 (Konvensi Jenewa), meskipun seruan dan bentuknya berbeda-beda. Lantas, tidakkah hal itu mendorong kita untuk bertanya, sebenarnya bagaimana sikap Amerika terhadap Revolusi Suriah?

Amerika memandang Suriah terjajah secara politik sejak tahun 1960-an yang lalu, setelah konflik yang terjadi dengan Inggris. Amerika terus berusaha menghalangi segala bentuk gerakan yang dapat menghalangi kendalinya, baik itu berupa revolusi di ranah masyarakat atau tingkat negara. Oleh sebab itu, sepanjang masa revolusi, ia berusaha mencegah berbagai bentuk kedaulatan di Suriah.

Amerika menekan gerakan revolusioner dengan menyiapkan gerakan politik dan oposisi sebagai bentuk antisipasi. Di sisi lain, ia menutup perbatasan negara-negara yang mungkin saja bisa menghancurkan strategi tersebut. Ia juga menyita uang dan persenjataan dalam negeri melalui berbagai operasi.

Selain itu, ia menginstruksikan agennya yang berada di Turki, Arab Saudi dan yang lainnya untuk ikut turun tangan secara efektif guna menjaga prospek dan mengendalikannya dengan seluruh sektor yang ada. Inilah yang terjadi, semua itu dilakukan guna mencegah segala bentuk gerakan yang dapat menentang tindak-tanduk politiknya.

Pertanyaannya, apakah Amerika mampu mengendalikan revolusi yang terjadi?

Pengamat politik yang tidak cermat dan tidak mendalam akan mengklaim bahwa Amerika mampu menahan dan mengendalikan revolusi Suriah. Tapi, apa yang terjadi ketika peringatan revolusi yang ke-10 menegaskan hal sebaliknya. Di peringatan tersebut Amerika berusaha untuk menetapkan beberapa poin, di antaranya seruan-seruan untuk mengimplementasikan resolusi nomor 2254 yang diputuskan di Jenewa tahun 2012, yang mana memaparkan solusi politis melalui versinya Amerika.

Tetapi tidak ada yang terjadi, tidak ada tuntutan atas penerapan keputusan Jenewa dan tidak ada legitimasi yang diberikan kepada Turki. Peringatan itu malah mengembalikan slogan revolusi yang dulu pernah ada, ‘Rakyat ingin menggulingkan rezim.”

Para demonstran memiliki keistimewaan berupa jumlah dan wilayah. Selain Idlib, ada wilayah Daraa dan beberapa wilayah Ghouta yang bergabung. Daerah-daerah itulah yang menunjukkan bahwa semangat revolusi masih seperti sediakala, tidak berubah atau tidak bisa dikendalikan arahnya. Revolusi lahir dan tumbuh setiap hari. Fenomena demonstrasi di tahun kesepuluh tidak lain adalah menjadi bukti akan hal tersebut.

Apakah solusi Amerika tampak di permukaan?

Saat ini, pemerintahan Amerika menjalani posisi yang tidak menyenangkan. Hal ini diungkapkan oleh para pejabat seniornya di tingkat presiden dan luar negeri serta juru bicara resmi. Terkadang kami ingin mengganti rezim Assad. Terkadang kami tidak ingin menggantinya, hanya saja kami ingin dia mengubah perilakunya. Terkadang tampaknya dia kehilangan legitimasi, kemudian dikatakan bahwasanya dia akan berada di fase transisi.

Oleh karena itu, dan sampai sekarang, tidak ada tanda-tanda solusi yang muncul di permukaan. Bahkan, meski mereka telah menyiapkan sosok pengganti dengan kepribadian yang menarik perhatian, agar sejak awal kemunculannya rakyat segera melupakan rezim lama, ibarat komoditas komersial yang tidak laku. Jadi begitulah, tidak ada penghalang yang dapat memenangkan popularitas yang dicari atau selainnya.

Lantas, Revolusi Syam sudah sampai di mana?

Sesungguhnya Allah telah menjaga Syam dan rakyatnya. Maka kami rakyat Syam memiliki keyakinan bahwa apa yang terjadi adalah ketetapan dari Allah SWT. Sebab, revolusi selama sepuluh tahun terakhir telah berlumuran darah, kehormatan, migrasi paksa dan ketakutan. Semua hal itu boleh jadi dilihat oleh beberapa kalangan sebagai kejahatan. Namun Allah menjelaskan bahwa ada kebaikan di dalamnya, “Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu.” (Q.S. Al-Baqarah: 216)

Pengorbanan yang cukup untuk menjaga revolusi tetap hidup sampai ia mencapai tujuan. Tujuan (revolusi) tersebut adalah menurunkan rezim dengan segala pilar dan simbolnya, dan menegakkan hukum Islam.

Hari ini revolusi telah mencapai ujung jalannya –jika Allah menghendaki. Ini adalah keyakinan kita kepada Rabb kita. Hari-hari menjadi saksi bahwa berbagai indikasi perubahan yang benar telah membayangi. Ketidakadilan telah menghantui berbagai lini. Topeng sandiwara jatuh berturut-turut. Genosida terjadi berlarut-larut. Sebagai gantinya rezim terus berlanjut sedangkan kesadaran akan hal tersebut menjadi ciri umum revolusi.

Namun agar yang terjadi pada tahun 2011 tidak terulang kembali dengan ditunggangi dan diubahnya arah gelombang revolusi, perlu adanya ketetapan-ketetapan yang menentukan sifat konflik. Bagaimana, antara siapa dengan siapa, dan bagaimana jalan menuju penyelesaian. Semua ini menjadi fondasi yang mendasari proses perubahan. Semoga Allah dapat menjadikannya salah dari berbagai pintu kemenangan-Nya.

Diterjemahkan dari Surat Kabar Ar-Rayah edisi 335, terbit pada Rabu, 9 Ramadhan 1442 H/21 April 2021 M

Klik di sini untuk mengakses sumber

Visits: 1

Tags

Bagikan tulisan ini

Tulisan menarik lainnya...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Category

Gabung Channel Telegram