Search
Close this search box.

Kapitalisme Menindas Manusia dengan Sistemnya yang Tidak Adil, Sistem Islamlah Solusi Satu-satunya (Bagian 2)

Oleh: M. Muhammad Mustafa, Yaman

Namun, Islam tidak hanya menyerahkan penanganan kemiskinan pada arahan-arahan yang bersifat umum, karena Islam menciptakan sistem peraturan dalam bidang ekonomi dan dalam berbagai aspek kehidupan lainnya. Sistem peraturan tersebut akan menyelesaikan masalah ekonomi yang diderita oleh manusia, yaitu soal “distribusi sumber daya” agar sampai kepada seluruh lapisan masyarakat. Kami akan menyebutkan sebagian peraturan tersebut agar kaum muslimin khususnya dapat mengetahui dengan jelas bahwasanya Islam adalah agama yang benar, berikut hukum dan peraturannya. Bagaimana tidak? Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah Yang Maha Mengetahui.

Bentuk kepemilikan dalam Islam ada 3 macam: kepemilikan individu, kepemilikan negara, dan kepemilikan umum. Dalam kepemilikan umum, Allah mengizinkan kepada seluruh masyarakat untuk memanfaatkannya.

Contoh kepemilikan umum di antaranya adalah sumber daya yang tidak akan habis seperti air dan sumber daya lainnya, yang berarti kapasitasnya tidak terhitung sedikit. Maka pendapatan dari mineral ini—dengan jumlah keuntungan yang biasanya didapat sangat besar—akan menjadi milik umum, menjadi milik rakyat. Pendapatan ini saja sudah mampu membuat rakyat hidup berkecukupan tanpa pandang bulu.

Di sisi lain, syariat Islam melarang negara untuk memiliki tambang mineral, tetapi memperbolehkan untuk mengontrol pengelolaannya. Selain itu, syariat juga melarang orang-orang kaya dan perusahaan besar untuk memilikinya, tetapi memperbolehkan mereka untuk memperoleh upah dari menambang material mineral itu. Sedangkan masyarakat diperbolehkan untuk menggunakan minyak, gas, listrik, dan yang lainnya secara gratis. Dengan begitu, negara harus mengembalikan surplus harga penambangan mineral kepada rakyat.

Dalam kitab “Al-Hawi al-Kabir fi Fiqhi Mazhabi al-Imam asy-Syafi’i”, Imam Al-Mawardi  mendefinisikan kepemilikan umum sebagai “Harta kepemilikan kaum muslimin yang tidak boleh digunakan semaunya baik oleh individu maupun negara, pun tidak boleh dimonopoli keuntungannya. Pemilik harta ini adalah masyarakat secara keseluruhan, di mana semua orang berserikat (setara dan dibolehkan, penj.) dalam memanfaatkannya. Harta ini tidak boleh dijual, digadaikan atau dihibahkan. Dalam hal ini, negara hanya boleh mengatur dalam penggunaannya.”

Disebutkan pula dalam buku “Sistem Ekonomi” karya Syekh Taqiyyuddin An-Nabhani, bahwasanya “Kepemilikan umum adalah izin dari Allah kepada masyarakat umum untuk sama-sama memanfaatkan benda. Sedangkan benda-benda yang termasuk dalam kategori kepemilikan umum adalah benda-benda yang Allah nyatakan bahwa masyarakat berserikat untuk menggunakannya. Allah melarang benda tersebut hanya dikuasai oleh satu pihak saja.”

Bentuk pengelolaan negara atas kepemilikan umum di antaranya adalah membantu distribusi SDA di tengah lapisan masyarakat, mencegah tertimbunnya SDA di sebagian orang dalam jumlah tertentu, membantu tersebarnya SDA untuk sebanyak mungkin orang, serta membantu berbagai komoditas—yang bergantung pada minyak bumi dan semisalnya—agar menjadi murah.

Islam melarang praktik riba.

Allah Swt. berfirman, “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” Allah juga berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakannya (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu. Kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”

Salah satu efek buruk riba adalah membuat uang tertumpuk di kalangan kreditur parasit yang memperkaya diri—dengan bergantung pada orang-orang yang membutuhkan uang—tanpa bekerja. Riba juga menciptakan jurang besar antara kalangan kreditur dan kalangan debitur. Sedangkan bagi kehidupan masyarakat, riba mengakibatkan naiknya harga-harga secara umum, yang semakin mempersulit kehidupan sosial masyarakat.

Islam memandang riba sebagai suatu kejahatan, yang pelakunya dianggap memerangi Allah Swt. dan Rasul-Nya saw. Kejahatan riba bahkan dinilai lebih berat daripada zina.

Di masa jahiliah dulu, riba dapat mengakibatkan perbudakan. Hal itu terjadi ketika debitur tidak sanggup untuk membayar hutangnya. Maka solusinya, ia menjual dirinya sendiri kepada kreditur untuk melunasi hutangnya. Sedangkan saat ini, terdapat institusi global efektif yang melangsungkan praktik riba, juga negara yang memaksakan praktik riba pada masyarakat yang miskin bak memperbudak mereka dalam situasi tak berdaya. Institusi riba tadi mengisap kekayaan negara, menghentikan perkembangan suatu bangsa, dan membuat mereka berada di bawah kutukan dan perjanjian kejam negara-negara kaya. Artinya, riba hari ini bahkan mampu memperbudak suatu bangsa.

Islam mengharamkan monopoli, yang mengakibatkan terpusatnya SDA di pelaku monopoli.

Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa yang menimbun makanan selama 40 hari, maka sesungguhnya ia telah berlepas diri dari Allah dan Allah pun telah berlepas diri darinya. Apabila di antara penduduk desa terdapat seseorang yang lapar, maka perlindungan Allah terlepas dari mereka.” (Musnad Ahmad)

Rasulullah saw. juga bersabda, “Barang siapa yang menimbun harta atas kaum muslimin selama 40 hari, Allah akan menimpakan (padanya) penyakit kusta dan kebangkrutan.”

Monopoli adalah menahan apa-apa yang dibutuhkan oleh masyarakat, baik itu makanan atau yang lainnya, di mana penimbunannya akan mengakibatkan bahaya bagi masyarakat dan menyempitkan kehidupan mereka. Monopoli secara mutlak meliputi segala sesuatu, baik itu kebutuhan logistik, pakaian, obat-obatan, alat pertanian, dan industri seperti alat bajak dan pupuk.

Monopoli juga mencakup berbagai keuntungan dan pengalaman kerja, seperti para pekerja profesi, pengrajin, industrialis, teknisi, dan orang-orang yang memiliki kompetensi ilmiah. Monopoli dianggap terjadi apabila masyarakat membutuhkan barang, keuntungan, dan jasa tersebut. Sebab, manath dari monopoli adalah realitas kerugian yang timbul sebab terputusnya akses pada objek yang dimonopoli, sehingga mengharuskan  mereka untuk mencurahkan apa yang mereka miliki—sebagai bentuk pengurusan terhadap hak rakyat, juga untuk melindungi umat dari marabahaya dalam kondisi seperti ini—dengan harga atau imbalan yang sepadan dan adil karena terhalaunya akses untuk mendapatkan kebutuhan tersebut.

Hikmah dalam larangan monopoli adalah untuk menghindari kekacauan di masyarakat umum, membuka kesempatan bagi masyarakat untuk memperoleh SDA tanpa monopoli atau halangan, sekaligus pada saat yang bersamaan membantu mereka untuk memanfaatkannya. Hal ini menjadikan kekayaan berada dalam jangkauan individu masyarakat, sehingga masing-masing bisa mendapat bagian tertentu dari kekayaan tersebut.

Sistem waris dalam Islam membagi-bagi harta dan mendistribusikan kekayaan yang besar kepada para ahli waris.

Warisan dalam Islam adalah salah satu perantara untuk mendistribusikan kekayaan. Namun, distribusi kekayaan di sini bukanlah ilat bagi hukum warisan, melainkan penjelas bagi fakta warisan. Kekayaan (yang berasal dari harta waris) itu boleh dimiliki, yang mana kekayaan itu adalah kekayaan yang dimiliki oleh individu-individu selama mereka hidup, sehingga saat mereka meninggal, harta warisan mereka akan dibagikan kepada para ahli waris. Hukum waris yang telah ditetapkan oleh fikih Islam ini memainkan peran penting dalam distribusi kekayaan di antara para individu di semua kalangan (baik laki-laki maupun perempuan) yang memang berhak untuk mendapatkan harta warisan.

Dalam penerapan fikih Islam terkait harta waris, individu mendapatkan bagiannya secara adil. Harta kekayaan akan didistribusikan ke individu-individu yang membutuhkan dan fakir secara otomatis, tanpa campur tangan penguasa. Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi di Barat, yang mana memiliki kelas borjuis. Distribusi harta sangat bergantung pada status kelas, di mana harta hanya dipegang oleh sebagian pihak kecil pemilik modal. Sedangkan pembagian harta warisan—melalui distribusinya—, meniadakan terfokusnya harta pada kalangan pemilik modal saja. Itulah sebabnya dalam sejarah Islam kita belum pernah menyaksikan satu pun pergolakan sosial yang muncul dari sengketa kelas atau perbedaan yang ekstrem dalam perilaku konsumen.

Diterjemahkan dari Majalah Al-Waie edisi 420, terbit pada bulan Mujaram 1443 H/September 2021 M

Klik di sini untuk mengakses sumber

Visits: 1

Tags

Bagikan tulisan ini

Tulisan menarik lainnya...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Category

Gabung Channel Telegram