Oleh: Ustadz Muhammad Jami’ (Abu Ayman)
Pemerintah telah mengambil banyak langkah dalam menghadapi virus corona, yang paling terkenal adalah larangan untuk bepergian. Seluruh tempat ditutup dari pukul 16.00 dengan adanya pengecualian di beberapa tempat. Larangan bepergian untuk semua (penduduk) berlaku mulai pukul 6 sore hingga 6 pagi.
Akan tetapi negara ini tetap lemah dalam melakukan langkah-langkah medis dan ekonomi dalam rangka menjamin keamanan dan ketentraman masyarakat. Akibatnya, harga barang dan makanan meningkat secara drastis, barang-barang lainnya menjadi langka, orang-orang masih mengantre dengan antrean yang panjang di depan toko roti hingga pada jam-jam terakhir di malam hari tanpa menghiraukan larangan berpergian tersebut. Ketiadaan polisi yang berpatroli menjadikan mereka tetap mengantre demi sepotong roti. Hal ini menambah rasa kesal dan amarah masyarakat. Ditambah lagi antrian panjang untuk mendapatkan gas, juga terjadinya krisis dalam transportasi.
Jelaslah, bahwasanya negara beserta langkah-langkah yang diambilnya menambah penderitaan masyarakat dan tidak menjamin keamanan mereka, hingga seorang ibu berkata,
“Seandainya kami diberikan pilihan antara terinfeksi corona atau mati dalam kondisi kelaparan di dalam rumah kami, maka kami akan mendaki demi sesuap kehidupan dan menyambut corona, karena corona berasal dari Allah dan Allah Maha Kuasa untuk menyembuhkan kami”.
Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan berikut ini membuktikan bahwa prioritas utama dari keputusan negara bukanlah masyarakat, yang mana tekanan terhadap mereka terus meningkat secara tidak normal.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut ialah: Apa langkah-langkah kesehatan dan ekonomi yang diambil oleh pemerintah di Sudan untuk memerangi pandemi ini? Apakah terbukti adanya efek terhadap negara di tempat-tempat umum seperti pasar, terminal, dan jalan raya? Apakah ini menunjukkan keseriusan negara dalam melindungi dan mengedukasi masyarakat serta dalam mengambil tindakan pencegahan, yang meyakinkan anda bahwa negara benar-benar memperhatikan persoalan ini?
Bukankah kasus-kasus korban terinfeksi virus corona berasal dari luar Sudan? Siapa yang bertanggung jawab atas keluar-masuknya orang-orang dari negara ini? Bukankah sebagian dari kasus-kasus ini ditemukan secara kebetulan meskipun negara mengizinkannya? Apakah masyarakat akan meninggalkan pekerjaan dan pengasuhan anak-anak mereka untuk menjaga bandara dan pelabuhan hingga mereka yakin bahwa negara tidak akan memasukkan korban lain? Apakah pandemi ini diobati dengan pembatasan (karantina), pemantauan, perawatan, mobilisasi tenaga medis, dan potensi terapeutik di lingkungan masyarakat, kota-kota, dan desa-desa? Atau dengan menghentikan produksi dan roda kehidupan dari segi pertanian, industri, perdagangan, dan lainnya?
Bukankah penyakit merupakan sunnah kauniyah yang sejalan dengan hukum-hukum alam beserta ketentuan-ketentuannya sehingga ia tidak mengganggu kehidupan, juga agar negara tidak membuat orang-orang kelaparan atau mengisolasi mereka karena dugaan bahwa beberapa orang sudah terinfeksi dan menjadi korban?
Bukankah larangan bepergian tanpa adanya pemenuhan kebutuhan pokok untuk masyarakat merupakan perlawanan terhadap mereka dan bukan terhadap virus corona? Bukankah larangan bepergian dapat menghancurkan ekonomi dengan cepat, juga melonjakkan harga barang dan meninggikan nilai dolar, serta mengurangi produksi barang kebutuhan pokok? Bukankah larangan bepergian membantu para kapitalis dalam menimbun barang-barang dan memanipulasi harga yang mengakibatkan tekanan terhadap warga negara?
Setelah menjawab persoalan tadi, seyogyanya negara yang bermartabat memerlukan sebuah pemahaman, pemikiran dan metode untuk mengatur urusan negara sekaligus masyarakatnya. Metode ini harus sesuai dengan sunnatullah dan terikat dengan Sang Pencipta, Allah SWT, karena Allah telah menafsirkan, menerangkan dan menjelaskan segala sesuatu
Hal tersebut mustahil terjadi dalam sistem demokrasi. Karena ia adalah sebab penderitaan dunia dengan undang-undangnya yang busuk. Bahkan telah menghalalkan penyimpangan seksual, pernikahan sanak kerabat, mengonsumsi minuman keras dan makanan menjijikkan. Semua ini dilakukan untuk menciptakan malapetaka yang merata di seluruh penjuru dunia.
Inilah potret negara-negara sekuler demokratis yang kini lemah di hadapan bencana ini (pandemi Covid-19). Sampai-sampai Presiden AS, Donald Trump, berkata mengenai pandemi Covid-19, “Kami tidak mampu mengatasi musuh ini”.
Ini menegaskan bahwa negara-negara tersebut didasarkan pada permusuhan dan pembunuhan orang-orang yang lemah. Sebagaimana mereka telah membunuh kaum muslimin di Irak dengan senjata nuklir dan bakteri, serta membantai orang-orang lemah, merampas, dan menindas, sebagaimana yang dialami kaum muslimin Rohingya di Burma, Uyghur di Cina, India, Chechnya, Afrika Tengah, serta negara-negara lainnya di dunia.
Bahkan, diantara mereka ada yang memanfaatkan konflik untuk mewujudkan tujuan-tujuan egois mereka yang hina. Mereka memeras ekonomi untuk menciptakan krisis, sehingga mereka dapat menerbitkan syarat-syarat dan kurikulum penjajahan: IMF dan Bank Dunia.
Solusinya tak lain adalah dengan didirikannya daulah yang tegak di atas asas petunjuk Allah, hukum-hukum dan undang-undang-Nya yang meletakkan setiap perkara pada porsinya yang sahih, menegakkan keadilan, menjaga keamanan, serta mengurus berbagai urusan manusia dengan hukum-hukum Allah Tuhan semesta alam. Sehingga dapat mengganti posisi Nabi Saw dalam memimpin manusia dan pengurusan negara, itulah Khilafah ala minhajin nubuwwah.
Sumber: Surat Kabar Ar-Rayah, Edisi 281, terbit tanggal 15 Sya’ban 1441 H/8 April 2020 M
Tautan artikel asli: https://bit.ly/2RmCzCJ
Visits: 2