Search
Close this search box.

Amanah dan Kepengurusan Palestina di Masa Utsmani (Bagian 1)

Oleh: M. Musa Abdel Shakour al-Khalil

Tidaklah seorang pun yang mempelajari sejarah manusia, kecuali ia dapat mengapresiasi sejarah mulia yang diukir oleh Khilafah Islam selama hampir 13 abad, yang mulia di puncak kekuatannya, bahkan (tetap) hebat dalam kelemahannya.

Jika kita melihat sejarah Daulah Utsmaniyah yang berlangsung selama hampir 600 tahun, pada saat itu terjadi urbanisme secara besar-besaran, pemerintah yang penuh kasih sayang terhadap rakyatnya, serta adanya orang-orang yang melebur dengan Islam.

Saat itu juga, tidak ada perbedaan hukum antara orang Arab dan non-Arab, keadilan mendominasi, dan orang-orang tunduk kepada Daulah. Hal ini tetap berlangsung hingga negara-negara lain menghantam Daulah pada masa keruntuhannya akibat kegagalan dalam penerapan Islam pada akhir kepemerintahannya.

Namun, akankah sejarah terulang kembali? Ya, negara ini akan terulang lagi oleh kaum muslimin karena agama mereka adalah agama Ilahi yang turun langsung dari Sang Pencipta. Mereka dijanjikan akan kembali ke masa kekhilafahan seperti sebelumnya, yakni kekhilafahan yang mulia sesuai dengan metode kenabian. Sebagaimana Rasulullah saw. mengabarkan bahwa Daulah tidak akan kembali dengan sendirinya, akan tetapi kaum musliminlah yang akan menerapkan kepemerintahan dengan mengikuti agamanya, dan berjalan sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad saw.

Bahwasanya, di sepanjang sejarah, Daulah Khilafah menanti untuk menaklukkan Negeri Syam dan perbatasan Baitulmaqdis. Semua itu dimulai dari masa kenabian, semenjak adanya pergerakan pasukan Islam pada masa itu.

Adapun Perang Mu’tah kemudian Perang Tabuk pada zaman Rasulullah saw., menjadi awal dari penaklukan Negeri Syam, yang kemudian penaklukan tersebut berlanjut pada masa Kekhalifahan Abu Bakar RA oleh Umar bin Khaththab RA, maka tercapailah wasiat Nabi saw. untuk Tamim ad-Dariy beserta keluarga dan generasinya.

Ikrimah berkata, “Ketika Tamim masuk Islam, ia (Tamim) berkata, ‘Sesungguhnya Allah telah memperlihatkan seluruh bumi kepadamu, maka berilah kampung untukku di Betlehem.’ Rasulullah menjawab, ‘Ia untukmu,’ dan telah dituliskannya untuknya, kemudian ia berkata, ‘Telah datang Tamim membawa surat kepada Umar,’ dan dia berkata, ‘Aku menyaksikannya, lalu ia menandatanganinya.’ Dari Zaid bin Amr ia berkata, ‘Saya datang kepada Nabi saw. dan saya memeluk Islam.’ Kemudian Nabi saw. berkata kepada Tamim ad-Dariy, ‘Tanyakan kepadaku,’ kemudian ia bertanya tentang Rumah Ainun dan Masjid Ibrahim, kemudian dia memberikannya kepada mereka.”

Al-Quds dan sekitarnya adalah tanah yang diberkahi dan termasuk yang utama bagi para khalifah kaum muslimin secara keseluruhan. Shalahuddin al-Ayyubi rahimahullah berhasil mengembalikan Al-Quds ke pangkuan Daulah Islamiyah ketika Perang Hittin, setelah (Al-Quds) diserang dan dirampas di Perang Salib. Kemudian, masuklah Palestina di bawah kekuasaan Utsmani pada tahun 1516.

Pada masa kekuasaan Sultan Salim I dan anaknya yaitu Sultan Sulaiman al-Qanun, Al-Quds mendapat perhatian khusus dalam segala hal agar terjaga kesuciannya, hingga runtuhnya Khilafah Islamiyah pada masa Utsmani.

Demikianlah, negara sama halnya individu, ia akan mencapai masa kejayaannya dan akan melemah ketika pemahamannya terhadap mabda dan sistem kehidupannya menurun, juga buruknya penerapan Islam.

Maka, Daulah Utsmaniyah bukanlah hal yang baru, ia seperti negara-negara lain—yang mengalami kemajuan dan kemerosotan. Dengan catatan, sampainya pada kehancuran bukan dikarenakan buruknya mabda, akan tetapi karena buruknya penerapan (ideologi Islam) oleh kaum muslimin.

Kondisi politik yang sulit dan peperangan yang Daulah lakukan, berdampak pada Palestina, yakni adanya pelalaian dalam bidang ekonomi, pendidikan, dan politik, seperti halnya wilayah Utsmaniyah lainnya pada masa itu.

Adanya wajib pajak yang membebani pundak masyarakat karena banyaknya perang yang memerangi Daulah, terbatasnya pendidikan pada beberapa sekolah yang ada di seluruh Palestina, dan menurunnya kualitas pembelajaran di dalamnya; memperluas kesempatan bagi misionaris Barat untuk meningkatkan aktivitas sekolah-sekolah mereka pada akhir abad ke-19 M.

Kemudian, memburuknya penyakit dan kemiskinan mencerminkan dampak negatif yang terjadi kala itu, yang memaksa banyak masyarakat menjual tanah-tanahnya.

Di samping itu, Daulah dihadapkan dengan banyaknya peperangan melawan negara-negara tamak yang membuat Daulah merekrut para pemuda untuk bergabung dengan prajurit perang untuk ditempatkan di luar wilayah Daulah, yang dikenal dengan “seferberlik” atau mobilisasi umum.

Hal ini menciptakan ketakpuasan dari sisi masyarakat terhadap perilaku penguasa, terutama dari peningkatan operasi Turkifikasi pada zaman itu, yang mana orang-orang Arab kehilangan pekerjaannya akibat posisi senior dibatasi untuk orang Turki, walaupun tidak semua orang Turki, melainkan untuk mereka yang tergabung dalam Asosiasi Persatuan dan Kemajuan yang merupakan sayap militer bagi Asosiasi Turki Muda yang memiliki pengaruh besar pada pemukiman Yahudi di Palestina selama masa kepemerintahan Utsmani.

Sejak kemunculannya, negara-negara Kristen Eropa tidak pernah menghentikan konspirasinya melawan Kekaisaran Utsmaniyah. Itu merupakan upaya mereka untuk mewujudkan impian orang-orang Kristen untuk memulihkan Al-Quds dan Konstantinopel.

Dalam rangka menerapkan kebijakan ekspansionisnya, mereka memanfaatkan orang-orang Yahudi untuk membantu rencana mereka, mengeksploitasi harta mereka, dan membersihkan diri dari kejahatan mereka.

Konspirasi Eropa makin intensif di akhir masa itu setelah terjadi banyak kekacauan di wilayah Daulah Utsmaniyah, serta separatisme yang menyebar dengan dukungan negara-negara Eropa.

Agen Prancis—Muhammad Ali Pasha, penguasa Mesir—menjadi aktif setelah kampanye Napoleon melawan Mesir untuk merebut kembali Yerusalem. Muhammad Ali Pasha meminta kepada orang-orang Yahudi untuk membiayai kampanye di Timur Tengah dengan imbalan janji untuk mendirikan eksistensi bagi mereka, mengingat bahwa keluarga Rothschild Yahudi merupakan salah satu orang yang paling utama sumbangsihnya. Akan tetapi, kampanye itu gagal di Tembok Acre pada 1799.

Dalam hal ini, diberitakan bahwa Napoleon berpidato dari tembok itu dan menyerukan kembali pembangunan kerajaan kuno Yerusalem. Dia berkata, “Sesungguhnya dorongan Ilahi telah mengutus saya untuk memimpin tentara ini membawa warisan Israel, dan meminta orang-orang Yahudi untuk datang ke tanah (Israel).” Napoleon berkata, “Israel, bangkitlah! Ini adalah saat yang tepat. Saat ini Prancis menawarkan tangannya kepada kalian untuk membawa warisan Israel. Bergegaslah untuk menuntut pemulihan eksistensi kalian di tengah-tengah bangsa dunia.” Sedangkan terkait kegagalan kampanye Ali Pasha, Napoleon menawarkan pengganti kepada mereka sebagai tanah air di Afrika, akan tetapi mereka menolak.

Dengan kampanye Napoleon itu, terungkaplah kelemahan tentara Utsmani yang menjadi rambu peringatan bagi dunia tentang persaingan atas Al-Quds. Kemudian, mulailah kerja sama serta bahu-membahu antara orang Eropa dan Yahudi melalui pendanaan, rasa ketergantungan, pemanfaatan Taurat, serta ramalan-ramalan kaum Yahudi untuk memuluskan rencana mereka.

Mereka juga mengaitkannya dengan tempat suci, serta menghubungkan aspek spiritual, politik, dan sosial dalam pengadaan tempat tinggal.

Sementara, pada masa-masa ini, Perang Krimea antara Rusia dan Daulah Utsmaniyah yang meletus tahun 1856—1858 M menghasilkan perjanjian yang tidak adil, di antaranya pendudukan Rusia atas wilayah luas di Balkan dan daerah Timur Daulah Utsmaniyah yang mengakibatkan pemisahan dari Daulah. Hal ini disertai dengan meningkatnya campur tangan Eropa dalam urusan negara-negara yang menunjukkan kejahatan, niat buruk terhadap Daulah, keinginan berbagi kekuasaan, dan bersiap untuk menghapuskan Daulah.

Maka, lewat kerja sama Gerakan Turki Muda, diberlakukanlah penerapan beberapa undang-undang yang bertentangan dengan Islam, ide-ide beracun disebarkan oleh para utusan Eropa, dan sekolah misionaris mengarahkan siswa mereka untuk meningkatkan perselisihan antarpejabat Daulah—yang menyebabkan munculnya masalah minoritas, menyulut berbagai perselisihan internal, serta meluncurkan peperangan eksternal. Beberapa antek Eropa yang merupakan para intelektual dan pejabat besar Daulah Utsmaniyah pun turut membantu dalam semua ini.

Akibat perencanaan yang kejam itu, Kesultanan Utsmaniyah menjadi sangat menderita karena utangnya yang besar. Negara ini terpaksa memberikan beberapa hak ekonomi kepada beberapa negara Eropa. Dari sinilah, sempurna sudah dimulainya implementasi praktis pembentukan entitas Yahudi di bawah naungan Eropa, mulai dari kerja sama dengan orang-orang Yahudi pada umumnya dan orang-orang Yahudi Dunma pada khususnya. Mereka menanggapi seruan konspirasi melawan Kesultanan Utsmaniyah dan mengkhianatinya, sedangkan yang namanya pengkhianatan itu termasuk sifat orang Yahudi.

Dapat diketahui bahwa dialah (Utsmani) yang melindungi mereka setelah semua negara Eropa menolak mereka, juga setelah Spanyol mengusir mereka ketika menguasai Andalusia pada 1492. Mereka pun menyadari bahwa negara-negara Eropa—terutama Inggris—akan membuat mereka tunduk pada rencana mereka, maka berkumpullah segala kebencian, kelicikan, dan konspirasi orang-orang Yahudi dan Inggris. Inggris mengadopsi ide Zionis dan tidak ragu-ragu menggunakan segala cara dan metode yang kejam untuk mencapai tujuannya.

Seiring berjalannya waktu, negara-negara Eropa bersama dengan orang-orang Yahudi, mendirikan Asosiasi Turki yang cenderung fanatik, serta membujuk sejumlah pejabat senior dan pejabat negara—terutama yang belajar di luar negeri—untuk bergabung dengan asosiasi ini, berkonspirasi melawan negara dan bekerja sama untuk melayani orang-orang Yahudi, serta mendirikan sebuah entitas untuk mereka. Orang-orang Yahudi Dunma mendirikan Masonik dan asosiasi lainnya, yang bertujuan untuk menghancurkan Kesultanan Utsmaniyah.

Oleh karenanya, respons apakah yang dilakukan Daulah Utsmani dalam bayang-bayang permusuhan, konspirasi Zionis, dan usaha pelemahan padanya untuk menjaga Palestina? Kemudian, apa yang dilakukannya untuk mencegah munculnya proyek Barat ini?

Zionis telah memulai aktivitasnya sekitar tahun 1840, ditinjau dari terealisasinya aliran revolusi dan pemakaian istilah-istilah yang bersumber dari kepercayaan mereka untuk membantu mewujudkan rencana pendirian entitas Yahudi. Contohnya seperti istilah “Tanah yang Dijanjikan”, “Tanah Bapak dan Anak”, “Tanah Daud dan Sulaiman”, dan “Bekerja untuk menyatukan orang-orang Yahudi”.

Mereka juga telah menyiapkan berbagai konten budaya dan lagu untuk kepulangannya ke Yerusalem, Tanah Zion. Gerakan zionisme telah berhasil menjadikan Pembela Hak-Hak Kristen berada di sisinya, yang sangat berkontribusi dalam menciptakan hiruk pikuk politik untuk menafsirkan situasi Yahudi tentang pemberlakuan UU mereka di Palestina.

Maka, terlaksanalah sebuah konvensi yang disebut dengan “Al-‘Aqd Ash-Shaamit” (perjanjian rahasia) antara negara-negara Eropa dan gerakan zionisme. Juga mulai digunakan istilah-istilah khusus antarmereka untuk menyembunyikan apa yang mereka rencanakan, seperti istilah “membersihkan rawa-rawa untuk para imigran” dan “perjalanan berburu secara berjemaah untuk menangkap hewan dan serangga di satu tempat adalah suatu keharusan.”

Ketika Napoleon meninggalkan Mesir, terungkaplah tujuan kampanye Napoleon untuk mendirikan kerajaan Tentara Salib dan memberikan Palestina kepada orang-orang Yahudi sebagai imbalan untuk membiayai kampanye militernya. Prancis pun mengalami masalah internal dan keuangan yang buruk, serta mengalami kerugian di Tembok Acre. Mereka memperdaya Napoleon yang menawarkan Uganda dan memberikannya kepada orang-orang Yahudi—alih-alih Palestina—dengan imbalan pendanaan.

Dengan kepergiannya dari Mesir, Muhammad Ali Pasha (perwira Albania di Militer Utsmani), diangkat menjadi Gubernur Mesir dan direkrut oleh Prancis sebagai antek. Ia ditugaskan untuk menyelesaikan tugas penting dan mempersiapkan keadaan untuk menduduki (mengambil alih) Palestina, membantu kekuatan kolonial, didukung oleh Prancis.

Dia pun mengalahkan tentara Utsmani dan menguasai Levant juga Yerusalem. Ia mengizinkan minoritas serta sekte kebebasan untuk bergerak, yang dibatasi oleh Kesultanan Utsmani, dan menghapuskan biaya pada mereka yang memasuki Palestina dan Yerusalem dan untuk bertempat tinggal di sana.

Pintu-pintu masuk bagi para misionaris pun dibuka, bahkan fasilitas bagi orang asing untuk memasuki Palestina juga disediakan. Dapat dikatakan hal ini adalah sebagai gerakan pemberontakan dan pengkhianatan terbesar yang didapati Utsmani pada 1839.

Namun, Inggris tidak memfasilitasi gerakan Muhammad Ali Pasha ini sebagai masalah konflik internasional atas kawasan Prancis. Inggris ingin konspirasi itu menjadi pekerjaan tangannya sendiri demi mengamankan kepentingannya sendiri, yang tidak mengenal agama atau nilai-nilai apa pun.

Yahudi sendiri telah meyakinkan negara-negara Barat—seperti Inggris dan Prancis yang amat menginginkan tanah Daulah Utsmani—untuk menekan Daulah Utsmani. Mereka juga berkoordinasi dengan Rusia untuk menyelesaikan permasalahan Yahudi dengan memindahkan mereka ke tempat yang dinamakan “Tanah yang Dijanjikan”.

Ketertarikan Inggris terhadap Palestina makin bertambah setelah diberitakannya kegagalan Prancis yang menginginkan kekuasaan atas Palestina di bawah kampanye Napoleon. Aktivitas diplomasi Yahudi dengan Inggris juga makin bertambah setelah berakhirnya kekuasaan Ibrahim Pasha (putra dari Muhammad Ali Pasha) atas Tanah Syam, yang ditandai dengan lemahnya pasukan militer Utsmani setelah sebelumnya memiliki kekuatan pada masa kekuasaan Muhammad Ali Pasha atas Tanah Syam.

Keinginan mereka makin menjadi untuk menguasai Tanah Al-Quds (Palestina), maka mereka mengirim banyak misionaris, pendeta, dan para konsulatnya ke Palestina.

Tak sampai di situ, mereka juga mulai melakukan jual beli tanah dan memperdagangkan hak kepemilikan—yang merupakan permulaan penyusupan tanah-tanah untuk keperluan pengiriman dan pengutusan. Mereka menerapkan politik adu domba untuk mengosongkan kekuasaan dengan segala cara yang mudah.

Seperti halnya Inggris yang memanfaatkan kondisi perekonomian Daulah Utsmani sebagai hasil dari peperangan yang masih berlangsung, mereka juga memanfaatkan kondisi kebarat-baratan yang disebarkan oleh Muhammad Ali Pasha, antek Prancis di antara rakyat Mesir dan negeri-negeri Syam.

Pada saat itu, Inggris melakukan perubahan terkait peraturan kepemilikan tanah untuk keperluan pengutusan, minoritas, dan orang-orang asing. Mereka telah mengambil alih tanah-tanah negara untuk kemudian menjualkannya.

Mereka juga menetapkan politik penyetaraan antaragama, serta memberi peluang kepada Yahudi untuk membeli seratus kampung dan tanah-tanah di bagian utara Palestina dan menjadikan Kota Al-Quds  (Yerusalem) sebagai ibu kotanya.

Di antara anggotanya adalah orang Yahudi dan Kristen, yang bersepakat membuat program untuk mencapai persetujuan Negara-negara Eropa dalam perjuangan yang sangat tinggi. Mereka mengambil keuntungan dari kekalahan yang dialami oleh Utsmaniyah, kompetisi Eropa untuk menguasai Palestina dan pembagian wilayah kekuasaan negara Utsmaniyah, dengan banyak syarat perdamaian dalam kekalahan Daulah Utsmaniyah.

Kesultanan Utsmaniyah memandang curiga kepada apa yang dilakukan Eropa (khususnya Inggris) dengan menuju Yerusalem, bahwa ada skema jahat untuk mengumpulkan orang-orang Yahudi.

Sejak masa Sultan Abdul Majid I (1839—1861), telah ada tindakan terhadap upaya pemukiman Yahudi di Palestina yang didirikan untuk Yerusalem (pemerintah independen yang melapor langsung kepada Sultan) dan untuk memantau hukum kepemilikan dan imigrasi. Sultan Abdul Majid memerintahkan untuk mengembalikan sebidang tanah di Yerusalem di luar tembok lama—karena mereka tidak dapat membeli sebidang tanah pun.

Tanah di dalam tembok Yerusalem itu dibeli oleh seorang dokter Yahudi-Inggris bernama Moses Montefiore—dengan dalih mendirikan sebuah rumah sakit untuk orang-orang Yerusalem dan untuk para peziarah. Namun, rumah sakit itu tidak terbangun, melainkan menjadi apa yang sekarang dikenal sebagai Perempat Yahudi di Yerusalem, atau Perempat Montefiore saat ini.

Sultan Abdul Majid pun—semoga Allah merahmatinya—memberlakukan banyak undang-undang untuk mencegah aktivitas negara kolonial Barat dan Yahudi selama beberapa dekade.

Posisi Daulah Utsmaniyah terhadap Palestina dapat diringkas sebagai berikut:

  • Daulah menolak permintaan Gubernur Mesir, Muhammad Ali Pasha, untuk mengendalikan Negeri Syam, dan menolak tawarannya untuk mendisiplinkan Wahabi dan ikut serta dalam Perang Yunani dengan imbalan mengizinkannya merebut Palestina.
  • Rakyat Palestina mendukung dengan sejumlah uang yang banyak untuk menolak proyek Muhammad Ali Pasha untuk menguasai Syam. Mengubah Provinsi Yerusalem menjadi terpisah tanpa menghubungkannya dengan negara bagian mana pun, dan terdiri dari Jaffa, Hebron, Gaza, dan Beersheba.
  • Menghubungkan pemisahan Yerusalem langsung dengan Sultan pada tahun 1878 dan memisahkannya dari Beirut, karena penggunaan pelabuhan Beirut untuk imigrasi Yahudi dan kawanan rahasia mereka ke Palestina.
  • Sultan mengintervensi hal-hal terkecil dengan memilih pejabat yang saleh, bahkan mengangkat Imam Masjidilaqsa dan Masjid Ibrahim di Hebron.
  • Menghubungkan Kantor Distrik Yerusalem dengan jalur komunikasi langsung dan membentuk seluruh badan administratif yang terkait dengan Khalifah.
  • Memukul peran asing, terutama Inggris dan Prancis, membatasi dan memantau aktivitas mereka.
  • Menolak berbagai tuntutan serta tekanan yang diberikan oleh beberapa orang berpengaruh di Kesultanan Utsmani, menolak tekanan Kaisar Jerman Wilhelm II, dan tekanan dari Inggris serta Prancis.
  • Juga menunda pelaksanaan banyak proyek, yang mana proyek-proyek tersebut dicurigai sebagai keinginan negara-negara Barat. Palestina pun memberikan proyek kereta api yang menghubungkan Istanbul, Yerusalem, Madinah, Makkah, dan Yaman kepada perusahaan Jerman, bukan kepada Inggris atau Prancis.
  • Pada 1882, Sultan menerbitkan keputusan untuk mencegah orang Yahudi (selain para peziarah) memasuki Palestina dengan visa masuk dari konsulat Utsmani di luar negeri.
  • Kekaisaran Utsmani mengeluarkan aturan yang melarang warga Rusia untuk menetap dan tinggal di Palestina.
  • Juga pada 1900, dikeluarkan peraturan (indeks) untuk memperketat pengawasan imigrasi, termasuk menempatkan pergerakan orang Yahudi serta orang asing masuk dan keluar Palestina, langsung di bawah kendali Istana Kerajaan.
  • Sultan Abdul Hamid ll mengeluarkan keputusan untuk memberikan tugas kepada tentara yang berhubungan dengannya secara pribadi.
  • Sultan Abdul Hamid ll pun membangun jalur kereta api untuk memudahkan perjalanan menuju Yerusalem, dan memindahkan sebagian orang muslim yang di Kaukasus dan Balkan, serta menempatkannya di Palestina.
  • Selain itu, Sultan Abdul Hamid II tidak menjumpai Theodor Herzl setelah mengetahui rencana busuk Herzl dan upaya yang dia lakukan untuk merealisasikan rencananya. Herzl akhirnya meninggalkan aturan-aturan yang sesuai dengan ketetapan Sultan.

Tujuan Herzl adalah memisahkan Palestina dari pemerintahan Utsmani serta memberikan wilayah Palestina kepada bangsa Yahudi. Semua rencananya ditolak oleh Sultan Abdul Hamid ll.

Sultan Abdul Hamid ll mengatakan, “Aku akan memberitahukan kepadamu, Herzl, bahwa aku tidak akan pergi sejengkal pun dari tempat ini. Karena aku tidak akan mampu menjual tanah yang suci ini kepadamu. Sesungguhnya tanah Palestina ini bukanlah milikku, melainkan milik kaum muslimin yang terbayar oleh peperangan dan darah-darah mereka. Kamu tidak akan mendapatkan tanah Palestina ini secara gratis, kecuali kamu harus memulainya dengan mencabik-cabik jasadku. Akan tetapi, aku tidak akan membiarkanmu mencabik-cabik tubuhku selama aku masih hidup.” (Bersambung)

Diterjemahkan dari Majalah Al-Waie edisi 418, terbit pada bulan Zulkaidah 1442 H/Juni 2021 M

Klik di sini untuk mengakses sumber

Visits: 0

Tags

Bagikan tulisan ini

Tulisan menarik lainnya...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Category

Gabung Channel Telegram