Search
Close this search box.

Tajdid Agama (Bagian 6)

Oleh: Prof. Yusuf Al-Sarisi (Palestina)

Adapun dalam bidang usul fikih, para mujadid membuat tinjauan sistematis terhadap ilmu usul fikih. Agar ilmu ini dipelajari sesuai disiplin kaidah yang sesuai syariat dengan dalil-dalil qath’i. Maka dipelajari perkara-perkara mendasar seperti dalil-dalil syar’i yang sah, kemudian dijelaskan bagaimana mengambil dalil dari dalil-dalil yang ada, kias (analogi), ilat syar’iyyah (nalar hukum), taraajiih (pembobotan), ta’aadul (persamaan/ekuivalensi), dan lainnya.

Kemudian persoalan-persoalan usul fikih dan segala hal yang berkaitan dengannya itu dipelajari dan dievaluasi, selama berabad-abad, seperti dalil-dalil syar’iyyah yang berdiri atas dalil-dalil zhanniy, seperti halnya istihsan, mazhab shahabi, amal masyarakat Madinah, urf, dan akibat-akibat perbuatan.

Demikian pula, studi kemaslahatan, fikih darurat, fikih aqolliyaat (minoritas), maqasid syariah, dan hal-hal lain yang para muhdatsin (modernis) berupaya menjadikannya sebagai celah untuk memasukkan aturan-aturan Barat ke dalam agama Islam, dengan kedok bahwa hal tersebut merupakan “dalil syar’i“, padahal sebenarnya perkara-perkara tersebut tidak lain hanyalah sesuatu yang mirip dengan dalil (syibhu dalil), yang dibangun berdasarkan pemahaman yang buruk terkait prinsip dasar.

Motifnya adalah untuk mengikuti Barat dan mengambil manfaat dari berbagai ide dan sistemnya di bawah pembenaran fundamentalis, yang sebenarnya adalah dalih untuk mengubah Islam agar sesuai dengan peradaban Barat modern. Perkara ini sangat berbahaya bagi Islam. Sebab hal tersebut menciptakan dalil-dalil dan kaidah yang bukan berasal dari Islam dalam ilmu usul fikih. Sehingga orang-orang yang terpengaruh akan berpikir bahwa itu berasal dari agama Islam dan didasarkan pada dalil-dalil muktabar dalam usul fikih. Padahal, hal tersebut sengaja ditafsirkan di bawah arahan pemikiran mereka yang terpengaruh dan terhipnotis dengan peradaban para penakluk—sistem “beradab” dan “berkembang” yang mendominasi dunia saat ini—.

Adapun dalam bidang ilmu hadis, umat Islam sejak abad pertama telah menyadari akan bahayanya penyusupan pada hadis Rasul saw.. Mereka pun memberi berbagai ketentuan untuk bidang ini berupa kaidah-kaidah serta standar aqliyah dan syar’iyah, dengan menghilangkan setiap hal yang melekat padanya berupa kebohongan, pemalsuan, dan penyusupan.

Prinsip ilmu hadis ini pun sempurna dilakukan di abad pertama. Hal itu memunginkan kita sekarang untuk mengandalkan apa yang dicapai para perintis bidang ini dengan memberi perhatian lebih kepada hadis-hadis daif dan bagaimana cara men-tarjih serta menggabungkan berbagai dalil yang terkesan bertentangan. Yang demikian mengharuskan adanya standarisasi dengan ilmu usul fikih. Juga menjadi suatu keharusan untuk seorang mujadid membantah (menanggapi) berbagai rekayasa dari para pendistorsi, orientalis, dan penebar keraguan terkait hadis-hadis Rasulullah saw. dan dalam ilmu hadis secara umum.

Hal tersebut juga bisa dikatakan serupa dalam permasalahan ilmu bahasa (Arab), yang mana umat Islam terdahulu telah berusaha keras untuk mengumpulkan dan mendokumentasikan serta mengendalikan bahasa sehingga lisan (bahasa) orang-orang Arab dapat terjaga.

Adapun dalam ranah ijtihad hukum, para mujadid melakukan ijtihad berdasarkan prinsip-prinsip disiplin usul fikih untuk semua perkara yang dihadapi oleh umat Islam.

Hal ini mengharuskan mereka untuk senantiasa mengkaji ulang pemahaman Islam sebaik mungkin, dan senantiasa memperbaharui masalah agama sehingga mujadid dapat memberikan hukum-hukum syariat yang terkait dengannya; sehingga hukum syara dapat menjadi solusi dari segala macam problematika serta seluruh perkara kehidupan. Seperti tata cara mengembalikan Kekhilafahan Islam, dan segala sesuatu yang diperlukan bagi Daulah berupa hukum-hukum yang berkaitan dengan sistem ekonomi, sosial, hukum, politik, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.

Ada perbedaan antara pembaruan dan ijtihad syar’i, sehingga tidak harus setiap mujtahid menjadi pembaru dalam masalah agama. Hanya saja, seorang mujadid pasti harus menjadi seorang mujtahid, sehingga ia dapat berijtihad dalam berbagai aspek masalah syariat; agar mampu mengambil hukum-hukum yang benar atas fakta-faktanya guna menyelesaikan semua permasalahan dan persoalan yang menyangkut umat Islam.

Di antara hal terpenting yang diinginkan dari seorang mujadid—selain pembaruan dalam pemikiran dan pemahaman seperti tafsir, hadis, bahasa, dan sebagainya—adalah melakukan riset terhadap realitas kehidupan, persoalan, masalah-masalah besar, dan berbagai musibah yang diderita umat pada masanya. Juga menentukan tata cara mengubah realitas umatnya agar kembali lurus dan benar.

Dengan demikian, ia akan mengalihkan upaya pembaruannya menjadi upaya mengubah realitas yang bertentangan dengan syariat dan menyengsarakan umat Islam, kemudian bangkit bersama umat dan mengembalikan mereka sebagaimana sebelumnya—menjadi umat terbaik—hingga berubahlah realitas yang buruk menjadi lurus kembali.

Pokok Terpenting dari Tajdid Agama

Pokok terpenting dari perkara tajdid agama nampak dalam pemecahan masalah kaum muslimin di era modern, di mana perkara ini (pemecahan masalah umat Islam) dianggap sebagai aktivitas pembaharuan terpenting yang diinginkan. Jika para mujadid banyak melakukan aktivitas yang bersifat pemikiran dan pemahaman tanpa mempelajari hukum Allah dalam fakta yang ada dan tata cara mengubahnya—untuk kembali sebagaimana pada zaman Nabi saw. dan khulafaurasyidin—, maka pengetahuannya, usahanya, dan manfaatnya hanya bersifat teoretis dalam berbagai karangan dan buku-buku. Fakta menyedihkan umat Islam tidak berubah dengan karya-karya pembaruannya.

Maka, para mujadid harus mempelajari dengan sangat mendalam berbagai permasalahan umat Islam masa kini; mempelajarinya sesuai dengan metodologi yang rasional dan syar’i; serta disiplin dalam menyelesaikan masalah sesuai dengan kaidah kausalitas dan dalil-dalil syara’, yang menjadi solusi bagi realitas problematika saat ini. Maka, mujadid harus mempelajari berbagai permasalahan umat Islam saat ini, dan mengaitkan akibat yang ditimbulkan dengan sebab-sebabnya sesuai dengan konsep kaidah kausalitas.

Pertama-tama, mujadid perlu mengidentifikasi masalah pokok permasalahan umat Islam yang harus mereka selesaikan, dengan mengkaji sejarah umat Islam—dari yang paling lama hingga yang paling baru—, serta berbagai masalah dalam memahami Islam. Di mana masalah-masalah tersebut dianggap sebagai penyebab dari samar dan buruknya pemahaman terhadap pemikiran Islam. Seperti masuknya filsafat, mantik Yunani, dan kemunculan ilmu kalam yang menciptakan kekacauan pemikiran dalam masalah seperti penciptaan Al-Qur’an, sifat-sifat Allah, qada dan kadar, dan yang lainnya.

Kemudian masalah penyusupan atas hadis-hadis Nabi saw., ditutupnya pintu ijtihad syar’i, masuknya filsafat India, munculnya tasawwuf, qadariyah ghaibiyah (fatalisme metafisika), serta permasalahan pemisahan potensi bahasa Arab dari Islam.

Semua itu menyebabkan buruknya pemahaman terhadap Islam, yang akhirnya menghasilkan buruknya penerapan syariat dalam Daulah. Kemudian bencana masuknya pemikiran Barat sekuler kapitalis, yang mayoritas kaum muslimin terpengaruh dengannya pada abad ke-19. Bencana ini menghantarkan pada runtuhnya Khilafah Islamiyah setelah Perang Dunia I, dan negeri-negeri Islam dipecah menjadi institusi yang lemah dan ringkih, yang menghilangkan persatuan dari mereka.

Seorang mujadid harus mempelajari solusi dari permasalahan inti umat Islam dan apa yang diakibatkannya, dengan mengubah penyebab masalah menjadi alasan untuk menyelesaikannya, lalu mengubah akibat menjadi tujuan yang ingin dicapai. Maka tujuan yang perlu ditetapkan adalah melanjutkan kehidupan Islam dengan mendirikan Khilafah dan menyatukan negeri-negeri umat Islam. Strategi kausalitas untuk mewujudkannya adalah bepikir cemerlang untuk memahami Islam dengan baik dan benar.

Sehingga perumusan kembali konsep Islam dengan formula pemikiran baru—melalui cara yang tepat dan dapat dipahami masyarakat pada zamannya—; dan menyajikan Islam sebagai ideologi bagi seluruh aspek kehidupan, bertujuan mengembalikan kepercayaan umat terhadap gagasan dan hukumnya yang terguncang selama invasi pemikiran Barat ke dunia Islam.

Seorang mujadid juga perlu untuk menyatukan kekuatan bahasa Arab dengan kekuatan Islam demi pemahaman yang lebih baik; mengamati ide-ide terpenting yang bocor ke umat Islam dari falsafah lain dan menyelesaikan kesalahpahaman yang mereka ciptakan; kemudian menyebarkan konsep-konsep tajdid agama ini di antara umat Islam dan menciptakan opini publik tentangnya melalui interaksi dengan masyarakat.

Ini bukanlah akivitas individual, melainkan aktivitas jama’i melalui kelompok yang membawa pemikiran ini, mengadopsinya, dan menyiarkannya di masyarakat untuk menciptakan opini publik tentangnya. Lalu mereka berusaha untuk membawa Islam ke tampuk kekuasaan dengan mengikuti metode hukum yang benar, kemudian menerapkan Islam kepada masyarakat dengan penerapan yang revolusioner dan komprehensif.

Dengan cara ini, tajdid agama yang diperlukan akan produktif dan bermanfaat bagi umat Islam, menyelesaikan semua masalah mereka, menyatukan barisan dan kata-kata mereka, serta mengangkat status mereka di antara umat-umat lainnya. Kemudian umat Islam—melalui negara Khilafah—mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia dan berjihad di jalan Allah. Mereka menguasai bumi dan menyebarkan keadilan dengan Islam, seperti kabar gembira yang telah nabi kita Muhammad saw. nubuwatkan.

Tindakan tajdid ini menyoroti pentingnya peran ulama Islam dalam pembaruan, juga dalam memimpin manusia serta membimbing mereka ke jalan yang benar. Ini adalah peran yang besar dan berpengaruh. Ulama harus mengambil inisiatif dan bergabung dengan proyek perubahan nyata berdasarkan pemikiran tajdid yang cemerlang, dan mengajak orang-orang untuk itu (sebagai pemimpin pemikiran dan pembawa panji kebenaran di kalangan umat Islam).

Mereka adalah orang-orang yang mampu menimbang di antara manusia, dan perkataan mereka sangat berpengaruh. Ulama harus mengingat perjanjian yang Allah ambil atas mereka untuk tidak mengatakan apa-apa tentang Allah kecuali kebenaran. Rasulullah saw. juga mengatakan bahwa mereka adalah pewaris para nabi. Inilah yang menempatkan mereka pada tanggung jawab besar terhadap kaum muslimin, para penguasa, dan di hadapan perjuangan mendirikan negara Islam.

Mujadid Era Modern

Tajdid agama adalah suatu keniscayaan dan tuntutan yang sesuai dengan syariat. Ini terjadi setiap abad, sehingga para mujadid sejati umat Islam meniadakan setiap penyelewengan dalam agama; menghapus semua yang bukan berasal dari Islam yang melekat padanya dan mengembalikannya sebagaimana yang diwahyukan kepada Rasulullah saw.; dan mencerahkan umat Islam dengan solusi yang benar ketika mereka dihadapkan pada permasalahan yang baru.

Sepanjang sejarah umat Islam, mujadid terkemuka yang berusaha mengubah realitas umat Islam dengan melakukan tajdid agama muncul setiap abadnya. Pada abad pertama, muncul Khalifah Umar bin Abdul Aziz, kemudian Imam Syafi’i muncul di awal abad kedua sebagai salah satu ulama. Merekalah para mujadid yang mengusung perubahan dan kebangkitan ilmu-ilmu agama. Lalu muncul Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali pada abad kelima hijriah, dilanjut dengan kemunculan sebuah inovasi baruan di tangan Syekh Al-Islam Ibnu Taimiyah pada abad kedelapan hijriah, dan lain-lain.

Pertanyaannya adalah: Apakah ada di antara umat Islam yang melakukan tajdid agama di era modern?

Jawabannya adalah: Ya, banyak orang yang muncul di era modern yang berpikir bahwa mereka inovatif. Namun, ketika mengamati tindakan mereka sesuai dengan kondisi tajdid yang kami sebutkan sebelumnya, —sejauh yang kami tahu—hanya ada satu upaya serius untuk melakukan tajdid, yaitu yang dilakukan oleh imam baru dan ulama Al-Azhar, Syekh Taqiyuddin An-Nabhani, yang mengajukan inovasi terpadu untuk memperbarui masalah agama pada akhir abad ke-14 hijriah, pada paruh kedua abad ke-20 masehi. Adapun tajdid yang dilakukannya bersifat praktis; di mana ia menciptakan partai yang khas berdasarkan proyek dan upaya tajdid ini, yaitu partai Hizbut Tahrir.

Hizbut Tahrir telah mengadopsi konsep-konsep tajdid dan berdiri di atas pemahaman itu, serta berusaha agar pemahaman tersebut tersebar di kalangan kaum muslimin untuk mewujudkan opini umum. Juga berusaha untuk thalab an-nushrah (meminta pertolongan dari pemilik kekuatan/kekuasaan) untuk menegakkan Khilafah Islamiyyah pada nuqtah irtikaz (titik sentral) di salah satu negeri dari negeri-negeri kaum muslimin. Kemudian ditegakkan daulah dan menyatukan wilayah kaum muslimin yang lain, juga membebaskan negeri Islam yang dirampas. Lalu upayanya dilanjut dengan mengemban Islam ke seluruh dunia dengan dakwah dan jihad.

Kaum muslimin akan menyadari pentingnya perjuangan mujadid zaman ini, Syekh Taqiyuddin An-Nabhani, setelah berdirinya Khilafah kedua yang sesuai dengan metode kenabian dalam waktu dekat—dengan izin Allah—. Sampai hari ini, kaum muslimin secara umum belum mengetahui pentingnya aktivitas pembaruan yang dilakukan Syekh Taqiyuddin An-Nabhani—semoga Allah merahmatinya—. Penyebabnya adalah karena penyebaran dibatasi diskriminasi dalam media berita, dan ketakutan dari otoritas para penguasa.

Kelak, sejarah akan mencatat Syekh Taqiyuddin An-Nabhani sebagai mujadid terkemuka pada masanya, dan aktivitas pembaruannya akan menjadi bahan pertimbangan dan pembahasan; ia akan menjadi sosok yang diteladani dan diikuti untuk membangkitkan umat Islam, serta untuk mengemban dakwah ke seluruh dunia—dengan izin Allah—. Dan kelak, kita akan melihatnya dalam waktu dekat.[]

Diterjemahkan dari Majalah Al-Waie edisi 432, terbit pada bulan Muharam 1444 H/Juli-Agustus 2022 M

Klik di sini untuk mengakses sumber

 

Visits: 6

Tags

Bagikan tulisan ini

Tulisan menarik lainnya...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Category

Gabung Channel Telegram