Search
Close this search box.

Tajdid Agama (Bagian 5)

Oleh: Prof. Yusuf Al-Sarisi (Palestina)

Begitu juga standar untuk menentukan baik dan buruk, serta terpuji dan tercelanya suatu perbuatan adalah syariat, bukan akal. Karena, manusia tidak dapat menilai perbuatan dengan melihat realitasnya saja, melainkan ada unsur dan faktor lain yang membuat suatu perbuatan dilarang atau diperbolehkan—yang hanya diketahui Allah Swt.—. Oleh karena itu, solusi terhadap masalah manusia harus berasal dari Allah Yang Maha Mengetahui, karena wewenang memberi hukum hanya ada pada Allah Swt..

Kita juga perlu merinci aspek perbuatan yang tertera pada syarat pertama, yaitu dari sisi bagaimana syariat ini mampu menangani setiap masalah manusia secara komprehensif—dengan mencakup semua perbuatan manusia—. Hal itu kembali pada beberapa aspek—yang menjadikan syariat mampu menjadi solusi bagi permasalahan manusia—yang dapat kita ringkas sebagai berikut [1]:

Islam memecahkan problematika manusia dengan menganggap sifat dan karakteristiknya sebagai manusia. Esensi dari manusia adalah potensi yang dimilikinya (kebutuhan jasmani dan naluri). Esensi manusia tidak akan berbeda ataupun berubah dalam lintas waktu dan tempat, seperti yang telah disebutkan sebelumnya.

Hukum syara’ adalah hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia. Hukum syara’ bukan berupa sarana (alat yang digunakan untuk merealisasikan perbuatan), ataupun uslub (teknis yang digunakan saat merealisasikan perbuatan), kecuali yang bersifat umum. Hukum syara’ ditujukan untuk menyelesaikan akar dari permasalahan manusia.

Hukum asal dari sarana dan uslub adalah mubah selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Segala hal yang berkaitan dengan hadharah (paham seputar pandangan hidup), sudah dimiliki solusinya oleh Islam. Sedangkan yang berkaitan dengan madaniyah (benda-benda yang dimanfaatkan untuk beraktivitas), maka manusia dibiarkan untuk menggunakannya sesuai keinginan mereka.

Solusi-solusi tersebut berkaitan dengan perbuatan manusia beserta fakta-faktanya. Setiap fakta memiliki hukum yang pasti, dan setiap hukum memiliki ganjaran yang sesuai dengannya. Hukum-hukum Islam dicirikan dengan kemantapan dan keakuratannya dalam menggali fakta.

Perbuatan manusia—serta apa-apa yang berkaitan dengannya—, berada di bawah kaidah dan aturan yang serupa. Islam membatasi cara pemenuhan potensi manusia (kebutuhan jasmani dan naluri), menentukan perbuatan yang boleh dilakukan untuk pemenuhan tersebut, juga mengatur hal-hal yang berkaitan dengan pengaturan perbuatan. Islam telah memberikan hukum-hukum yang tetap untuk pemenuhan potensi manusia, karena permasalahan tersebut dapat diselesaikan apabila ia dibatasi, kemudian diberi hukum yang tetap dan sesuai dengannya.

Sebagian aktivitas manusia adalah transaksi muamalah yang selalu berulang di berbagai waktu dan tempat. Misalnya, sebab kepemilikan harta seperti bekerja dan warisan, atau sebab pertumbuhan harta seperti jual beli dan akad yang tetap. Islam memberikan sejumlah hukum perbuatan, rincian cara transaksi, dan hukum yang menjamin hak-hak terkait transaksi tersebut.

Islam juga memberikan sejumlah hukum darurat, di mana Islam memperhatikan keadaan biasa, sehingga lahir darinya hukum azimah (hukum asal suatu perbuatan untuk mukalaf), juga keadaan tidak biasa dengan lahirnya hukum rukhsah (keringanan hukum apabila terdapat uzur).

Adapun dilihat dari segi nas syara’ (Al-Qur’an dan sunah), serta faktor yang membuat nas syara’ mampu memberi aturan terhadap perbuatan manusia, maka hal tersebut kembali pada inti nas dan perluasan maknanya dalam bahasa Arab—yang merupakan bahasa diturunkannya Al-Qur’an—. Bahasa nas syara’ adalah bahasa Arab. Bahasa Arab merupakan bahasa yang memiliki makna yang luas dan istimewa dibanding bahasa lain.

Aturan yang dibuat manusia, akan memberikan hukum pada perbuatan dan solusi permasalahan manusia dalam bentuk tertulis (manthuq). Sedangkan, nas syara’ memiliki berbagai bentuk yang dapat mengantarkan pada sebuah hukum. Nas syara’ merupakan aturan tertulis yang terbatas, di mana lafaz nas bersifat tetap dan tidak berubah. Akan tetapi, nas syara’ dapat digali, kemudian melahirkan berbagai macam hukum dari kaidah mafhum (makna tersirat) dan ma’qul (dalil rasional)—seperti kias (analogi) dan ilat syar’iyyah (sebab syar’i adanya suatu hukum)—. Karena itulah, syariat Islam bersifat luas. Adapun faktor keluasan syariat adalah sebagai berikut:

Sumber hukum syara’ adalah Al-Qur’an dan sunah. Keduanya bersifat terbatas jika dilihat dari segi nas secara tekstual—di mana lafaz dari nas bersifat tetap dan tidak berubah—. Akan tetapi, konteks atau makna nas dapat diterapkan pada permasalahan baru yang akan terus muncul sampai hari kiamat. Hal tersebut disebabkan oleh tabiat bahasa Arab—yang merupakan bahasa Al-Qur’an—, yang mampu membawa banyak makna dalam lafaz yang sedikit. Penerapan nas syara’ berlaku untuk semua perbuatan manusia yang senantiasa baru dan beragam—terlepas dari seberapa pun beragam dan berbedanya—, karena nas syara’ turun dengan lafaz yang memiliki konotasi khusus, sehingga perlu penjelas untuk sampai pada maknanya.

Islam memberikan hukum secara garis besar, yakni melalui makna-makna umum yang membahas suatu perbuatan—yang juga berlaku untuk cabang perbuatan tersebut—. Maksudnya, ketika sebuah hukum diberikan kepada satu jenis perbuatan, maka hukum tersebut berlaku untuk perbuatan lain yang serupa. Akal dibiarkan untuk menggali hukum syara’ terkait problematika baru dari makna umum yang terdapat dalam nas tersebut. Itulah sebabnya, tidak ada masalah aktual yang tidak memiliki posisi dalam hukum syara’.

Nas-nas syara’ turun sebagai hukum syara’. Beberapa di antara hukum syara’ tersebut merupakan hukum khusus yang parsial dan terperinci, hukum umum dan menyeluruh, kaidah umum, dan definisi syar’i.

Terdapat pula hukum-hukum syara’ yang digali dari makna umum suatu nas—apabila nas tersebut tidak memiliki ilat (sebab adanya suatu hukum)—; dan hukum perbuatan yang berlaku di bawah sifat khusus—apabila nas tersebut memiliki ilat, di mana hukum berlaku dengan menganalogikan keduanya (sifat perbuatan yang ada pada nas dengan perbuatan lain yang serupa)—. Seorang mujtahid dapat merinci kaidah-kaidah ini menjadi hukum yang banyak, yang memiliki cabang di bawahnya. Demikian pula, definisi-definisi syar’i dan ilat ini dapat diberlakukan dalam berbagai kasus.

Allah Swt. telah menetapkan ketentuan yang pasti, yang dapat diterapkan dalam berbagai keadaan—sekalipun ia beragam—. Ketentuan tersebut menjadi standar yang digunakan para mujtahid untuk mengeluarkan hukum terkait permasalahan baru, sehingga tertancaplah hakikat dari ilat hukum syara’ di benak mereka.

Dengan begitu, Islam benar-benar komprehensif dan sempurna. Syariatnya luas dan mampu memberikan solusi untuk berbagai permasalahan manusia yang akan terus muncul sampai hari kiamat. Solusi yang memiliki sifat dasar—yakni tetap dan tidak berubah—, mampu menjamin keberlangsungan eksistensi dan tujuan keadilan yang benar, serta mampu menjaga konsistensi hukum dari segi sistem legislatif.

Syariat Islam adalah syariat yang luas. Namun, keluasan ini bukan berarti fleksibel, dalam artian syariat dapat diberlakukan untuk segala hal sekalipun bertentangan. Luas juga bukan berarti hukum Islam dapat berkembang dan berubah mengikuti zaman. Namun, yang dimaksud dengan luas di sini adalah luasnya nas syara’ untuk menggali berbagai hukum, serta luasnya hukum Islam untuk diterapkan pada berbagai permasalahan.

Di antara contoh ayat yang menunjukkan keluasan syariat Islam dan makna umum dari nas syara’ adalah firman Allah Swt., “Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anakmu), maka berikanlah imbalannya kepada mereka.” (QS At-Talaq:6).

Ayat di atas menjelaskan hak mengambil upah atas sebuah pekerjaan, yaitu menyusui—yang dilakukan oleh wanita manapun—. Makna pada ayat tersebut merupakan makna umum yang dapat digunakan dalam berbagai pekerjaan, selama pelakunya—baik laki-laki maupun perempuan—berhak mengambil upah atas pekerjaannya. Makna “ijarah” (pengupahan) dalam ayat ini dapat melahirkan kaidah umum syar’i’, “Setiap pekerja (yang bekerja) untuk orang lain, berhak mendapat upah atas pekerjaannya.” Kaidah ini berlaku dalam segala perkara yang masuk dalam makna umum, yaitu adanya upah atas pekerjaan yang dilakukan untuk orang lain. Maka, semua perbuatan yang termasuk dalam makna umum tersebut memiliki hukum syara’ yang sama.

Lalu, bagaimana pembahasan terkait tajdid agama?

Profesor Abu Al-A’la Al-Maududi—semoga Allah merahmatinya—mengatakan, “Tajdid (pembaharuan) pada hakikatnya adalah pemurnian Islam dari setiap kebodohan, kemudian berusaha menghidupkan Islam kembali secara menyeluruh dan murni sesuai kadar yang memungkinkan.”

Tajdid agama yang sesuai dengan konsep syariat adalah memperbaiki pemahaman Islam dengan cara yang benar—yaitu sesuai dengan wahyu yang diturunkan kepada Rasul saw.—, agar agama ini dapat menjalankan fungsi dan peran yang sesuai dengan tujuan diturunkannya. Maka dari itu, menetapkan batasan-batasan pemikiran Islam dengan murni, jernih, dan terkristal merupakan hal yang urgen.

Hal yang perlu dilakukan untuk mengembalikan kemurnian Islam adalah mengikat semua pemikiran, hukum, atau pendapat dengan dalil-dalil yang berasal dari Al-Qur’an dan sunah. Dengan kata lain, mengaitkan pemikiran, hukum, dan pendapat tersebut dengan apa yang diturunkan oleh wahyu.

Adapun untuk mengembalikan kesucian Islam, dapat dicapai dengan menghapuskan setiap pemikiran, hukum, ataupun pendapat yang bukan bagian dari Islam. Penghapusan yang dimaksud seperti menghapus kotoran-kotoran yang melekat pada pemikiran Islam, menghapus ide-ide yang muncul sejak masa kemunduran, serta menghilangkan pengaruh dari ghazwul fikri (perang pemikiran) dan serangan misionaris. Kesucian Islam juga dapat dicapai dengan menghapus paham mazhab taufiq dan mazhab rasional yang memelintir nas dan tafsir Islam menjadi tafsir yang disesuaikan dengan realita saat ini.

Sedangkan untuk mengkristalisasi pemahaman-pemahaman Islam, dapat diwujudkan dengan memperbaiki gambaran pemikiran Islam. Karena, pengkristalan pemahaman merupakan hasil dari pemikiran yang lahir dari proses pengindraan. Pemikiran Islam ini akan terkristalisasi apabila manusia berpikir tentang ideologi—yang terdiri dari fikrah (pemikiran) dan thariqah (metode)— dengan pengindraan yang benar, kemudian mengamalkan ideologi tersebut untuk mengubah realita.

Adapun terkait tata cara tajdid, hal tersebut dilakukan dengan menyesuaikan fakta dengan Al-Qur’an dan sunah, serta berpegang teguh pada keduanya dengan pemahaman yang benar, yang dibangun di atas pemahaman terhadap bahasa Arab—sebagaimana pemahaman di masa Rasulullah saw. dan para sahabat—. Tata cara tajdid juga harus memperhatikan aturan syara’ yang benar, yang sesuai dengan ilmu-ilmu syariat yang muktabar, seperti usuludin, usul fikih, ilmu hadis, dll.

Adapun bidang-bidang yang terdapat tajdid di dalamnya, meliputi segala urusan agama dan urusan umat Islam (akidah, hukum syara’, dan bahasa), serta mencakup solusi terhadap musibah dan masalah yang dihadapi umat Islam pada masanya.

Langkah pertama yang harus dilakukan oleh seorang mujadid adalah mengkaji secara sistematis hal-hal fundamental, baik usuludin ataupun usul fikih. Mujadid mempelajari ilmu usuludin, akidah, juga mengkaji hal terpenting dari konsep akidah, kemudian mengevaluasinya menurut kaidah rasional dan kaidah syara’ yang diperkuat oleh dalil-dalil qath’i. Maka, kajian mengenai akidah dan cabang-cabangnya pun terlaksana, begitu pula dengan penghapusan paham yang salah, yang melekat pada akidah selama berabad-abad.

Mujadid juga mempelajari pengaruh filsafat Yunani dan Persia ke dalam akidah Islam, seperti pembahasan penciptaan Al-Qur’an, qada dan kadar, sifat-sifat Allah, kematian, rezeki, tawakal pada Allah, ilmu mantik, tasawuf, serta pengagungan wali. Mereka juga mempelajari pengaruh paham sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan), demokrasi, sosialisme, ateisme, metode ilmiah, teori evolusi Darwin, dan isu-isu lain yang memengaruhi umat Islam melalui filsafat dan prinsip-prinsip yang bertentangan dengan Islam. Pemikiran yang bertentangan dengan akidah Islam akan ditolak dan dihapus. Adapun pemikiran yang tidak bertentangan dan dapat dibangun di atas akidah Islam, maka tidak menjadi masalah. []

Diterjemahkan dari Majalah Al-Waie edisi 432, terbit pada bulan Muharam 1444 H/Juli-Agustus 2022 M

Klik di sini untuk mengakses sumber

[1] Ini bagian yang bermanfaat dari kitab Mukjizat Pensyariatan Islam: Keistimewaan dan Pilar-pilar oleh Ustaz Salamah Abi Malik.

Glosarium:

Mazhab taufiq: Taufiq secara bahasa artinya penyatuan, penyesuaian, dan konsiliasi. Dalam konteks tulisan, mazhab taufiq adalah mazhab yang muncul dengan tujuan mengkompromikan dalil-dalil syara’ dengan fakta, sehingga dalil-dalil tersebut tidak diinterpretasikan dengan benar.

Dalil qath’i: Suatu dalil yang asal-usul historisnya (al-wurud), penunjukkan kepada makna (ad-dalalah) atau kekuatan argumentatif maknanya itu sendiri (al-hujjiyah) bersifat pasti dan meyakinkan.

Visits: 8

Tags

Bagikan tulisan ini

Tulisan menarik lainnya...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Category

Gabung Channel Telegram