Tajdid Agama (Bagian 2)

Oleh: Prof. Yusuf Al-Sarisi (Palestina)

Konsep Tajdid di Tengah Perang Pemikiran

Pada awal abad ini, Amerika (sebagai pemimpin peradaban kapitalis Barat) mengadopsi cara konfrontasi Islam dengan dalih memerangi terorisme. Pada tahun 2003, Menteri Pertahanan Rumsfeld menyerukan pembentukan badan baru untuk menghadapi sesuatu yang disebut sebagai “perang pemikiran”—perang lama yang diperbarui caranya—untuk menghadapi ancaman besar secara efektif di abad ke-21.

Sebagaimana Jurnalis Amerika Thomas Friedman juga menyebarkan artikel atau tulisan-tulisan tentang perang pemikiran, di mana ia memandang bahwa perang pemikiran harus ada dalam masyarakat Islam, dengan memperkuat kaum moderat untuk melaksanakan tugas-tugas ini sebagai wakil dari Barat untuk menyingkirkan ide-ide ekstremisme, kekerasan, dan terorisme.

Kaum Barat kapitalis menyadari bahwa orientasi perjuangan keislaman semakin menguat dan sulit untuk diberantas, juga semakin membahayakan posisi Barat. Ditambah adanya usaha dari kaum muslimin yang ikhlas dan memiliki kesadaran untuk mewujudkan Islam melalui tajdid dakwah untuk menegakkan Khilafah. Hal ini menjadikan posisi Barat semakin terpukul mundur, dan posisi Islam semakin terdepan dalam kancah pergolakan antar peradaban. Oleh karena itu, Barat memandang bahwa rezim yang saat ini ada di negara kita telah habis riwayatnya, dan telah hilang kepercayaan rakyat padanya.

Maka Barat memandang harus mengatasi masalah ini sebelum Islam sampai pada tahap kekuasaan. Karena itu, ia sengaja berurusan dengan Islam. Dia ingin adanya pembaharuan dengan cara mengurangi dan mengubah ajaran agama, juga mempermainkan nas-nas agama. Barat berusaha mengosongkan Islam dari esensinya yang bertentangan dengan peradaban Barat, khususnya dalam bidang politik, ekonomi, dan pemerintahan.

Seruannya baru-baru ini sampai di tahapan memerangi politik Islam (islamisme) dan dengan menyerukan bahwasanya Islam hanya sebatas ajaran moralitas dan spiritual yang tidak membahas tentang pemerintahan, hukum, politik, ataupun jihad. Seruan ini bertentangan dengan seruan tajdid Islam berdasarkan pemahaman yang sesuai syariat.

Islamisme adalah pola yang diadopsi orang kafir Barat untuk menjauhkan kaum muslimin dari tegaknya Khilafah dan pemerintahan dengan hukum yang telah diturunkan Allah. Di mana Barat telah memberikan tekanan yang besar terhadap gerakan-gerakan Islam untuk mengumumkan ketidakpedulian mereka terhadap politik Islam; mengancam mereka untuk pemberantasan; dan mengizinkan mereka hanya untuk melakukan pekerjaan amal, moral, dan ibadah saja; dengan dalih bahwa tidak ada politik dalam Islam.

Taktik kaum kafir kolonial dalam menyerang Islam adalah dengan mencari “alat/antek” yang memberi respon positif pada taktiknya, dan mencoba untuk memasang kaidah dan dasar yang baru di bawah istilah “tajdid agama Islam”.

Apa yang dianggap sebagai pembaruan ini memiliki beberapa bagian seperti pembaruan prinsip-prinsip agama dan perlunya fikih baru, seperti realisme atau pragmatisme, fikih yang sesuai dengan realita saat ini, fiqh dhoruri, fiqh muwazanat, fleksibilitas Islam, dan klaim untuk memperbaharui agama dengan memanfaatkan maqashid syariah secara bengkok dan tidak sesuai dengan kaidah usul fikih yang benar, serta klaim pembacaan kontemporer atas teks agama.

Reformasi Agama (Al-Ibtida) dan Pembaharuan (Tajdid)

Akibat dominasi konsep Barat di kalangan umat Islam pada saat ini, terjadilah kerancuan antara dua konsep hukum syara, yaitu: konsep reformasi agama (al-ibtida’) dan konsep pembaharuan (tajdid). Kedua konsep tersebut telah dibahas dalam Islam, sehingga tidak boleh mencampurkan konsep antara keduanya.

Tajdid adalah sesuatu yang telah ditetapkan oleh Islam untuk diserukan. Adapun reformasi agama, Islam telah melarangnya dan menganggapnya sebagai kesesatan. Perbedaan di antara keduanya telah dijelaskan oleh dalil-dalil berikut ini:

Dalam hadis disebutkan: “Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini pada setiap penghujung seratus tahun, orang yang akan memperbaharui agamanya.” Hadis ini tidak boleh dijadikan hujah selain dari nas-nas yang berkaitan dengan bab ini, seperti sabda Nabi saw., “Karena sesungguhnya setiap perkara (agama) yang diada-adakan adalah bidah. Dan setiap bidah adalah kesesatan. Dan setiap kesesatan itu nantinya akan ditempatkan di neraka.” Juga sabda Nabi yang lain, “Barang siapa yang mengada-adakan dalam urusan kami (urusan agama) ini yang bukan berasal darinya, maka amalan tersebut tertolak.”

Adapun reformasi dalam agama itu ada dua bentuk, pertama, orang yang mengadakan dan menetapkan sesuatu yang tidak ditetapkan oleh syariat, maka dia telah melakukan bidah, sesuai dengan sabda Nabi saw., “Barang siapa yang mengada-adakan dalam urusan kami (urusan agama) ini yang bukan berasal darinya, maka amalan tersebut tertolak.” Kedua, orang yang mengingkari apa yang telah ditetapkan oleh syariat, ia juga telah melakukan bidah, sesuai firman Allah Swt., “Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain?”

Maka, reformasi agama adalah perubahan pada agama dengan membuat hal baru yang ada di dalamnya dan menambahkan yang bukan darinya. Sedang bidah sendiri bermakna perubahan dengan menambah atau mengurangi (tetapi sering kali dengan menambahkan) pada hal-hal yang telah disebutkan dengannya tata cara hukum tertentu (yakni metode suatu hukum), terutama dalam perkara ibadah seperti salat dan haji.

Maka, salat magrib itu tiga rakaat, dan siapa yang menambahkannya dengan yang keempat atau kelima, ia telah melakukan bidah, dan hal itu haram. Kemudian menjaga jarak ketika salat berjamaah dengan dalih adanya penyakit korona merupakan bidah yang diharamkan karena itu mengubah tata cara hukum syara’ dalam meluruskan dan menjaga saf (ketika salat). Atau tindakan menyiksa tubuh serta mengharamkan untuk menikmati hal-hal baik dengan tujuan meninggikan ruh itu adalah pemikiran yang sesat (bidah) yang diambil dari filsafat hindi.

Di antara aktivitas reformasi dalam agama juga adalah upaya penambahan dalil-dalil baru dalam ilmu usul fikih, seperti memasukkan maslahat dan mudarat ala kapitalis dengan dalih menolak mafsadah dan mendatangkan maslahat. Padahal siapa pun yang memasukkan undang-undang Barat kepada maqashid syariah dengan tujuan menjauhkan orang-orang dari agama mereka, maka sungguh, ia telah melakukan bidah. Reformasi agama di zaman dahulu adalah memasukkan apa yang selain Islam ke dalam Islam, sedangkan di era modern reformasi tersebut dilakukan dengan mengurang-ngurangi agama, terutama yang berkaitan dengan sistem politik dan ekonomi.

Adapun tajdid dalam agama memang ada dan dituntut oleh syara’. Tajdid agama akan terjadi di setiap zaman, yang mana mencakup penghapusan segala sesuatu yang buruk, menghilangkan segala sesuatu yang bukan darinya (agama), serta mengembalikan apa yang luput darinya. Sehingga, mujadid akan mengembalikan Islam sebagaimana yang diturunkan kepada Rasulullah saw..

Tajdid dalam agama tidak dimaksudkan untuk membawa sesuatu yang baru yang tidak ada dasarnya dalam Islam, karena membawa sesuatu yang baru—yang bukan berasal dari Islam—adalah aktivitas mengada-adakan sesuatu pada urusan agama, dan itu merupakan hal yang tercela. Ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan tajdid adalah menghidupkan kembali apa yang telah mati, membangun apa yang hilang, menghapus apa yang bertambah, atau bisa juga bertujuan memurnikan ide Islam, mengkristalkannya, juga menjernihkannya; yang dengan itulah umat mampu untuk bangkit.

Salah satu perkara terpenting yang dibahas dalam perkara tajdid adalah membatasi keberadaan bidah dalam perkara baru yang diharamkan—yang terus ada di berbagai era Islam—serta menghilangkannya, karena itu merupakan bidah yang berkaitan dengan agama, bukan bersumber dari agama.

Adapun jika perkara baru tersebut tidak berlaku di dalamnya sebagaimana sabda Nabi saw., “Barang siapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” Maksudnya adalah jika hal-hal yang baru tersebut berasal dari Islam, dan tidak bertentangan dengannya serta memiliki sumber asli, maka menurut mafhum mukhalaf hal tersebut tidak ditolak, melainkan diterima karena berasal dari sumber Islam.

Hal-hal yang baru bukanlah bidah terlarang, akan tetapi perkara baru yang baik, dan dapat disebut sebagai “bidah yang baik”. Perkara-perkara baru yang sesuai dengan Islam, masuk ke dalam bab tajdid, karena ia merupakan hasil tajdid yang layak untuk menjadi bagian dari sunah (perbuatan/jalan hidup) yang baik dalam Islam.

Konsep sunah yang baik dalam Islam termasuk pada konsep tajdid, sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Barang siapa yang mengerjakan sunah (perbuatan) yang baik dalam Islam maka ia mendapat pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala orang yang mengikutinya.” (HR Muslim).

Yang dimaksud dengan sunah adalah perbuatan terpuji yang diperintahkan oleh Allah, meskipun tidak ada contohnya pada zaman Nabi saw.. Di antaranya ada perkataan Umar ra. mengenai salat tarawih berjamaah, “Alangkah baiknya bidah ini.” Sesungguhnya baik atau buruknya perbuatan diketahui dari sudut pandang syara’, dengan bukti-bukti dari syariat yang menjadi saksinya. Jika tidak, maka itu adalah bidah yang tercela.

Perbedaan antara tajdid dan sunah yang baik dalam Islam adalah orang yang mengamalkan sunah yang baik maka ia melakukan apa yang diperintahkan oleh syara’, dan tidak dibatasi tata caranya secara khusus, akan tetapi ia melakukannya dengan cara tertentu yang mendorong orang-orang untuk mengikutinya dalam beramal baik. Sedangkan tajdid mencakup sunah-sunah yang baik, dan lebih dari itu mencakup menghidupkan kembali sunah-sunah yang telah mati, menghapus bidah, ditambah pemecahan masalah-masalah dan perkara-perkara baru.

Di antara tajdid yang harus dilakukan oleh kaum muslimin secara terus menerus adalah memberikan solusi untuk masalah paling mendesak, yang membebani umat di masa tersebut dan butuh pada penyelesaian dengan tajdid yang baik. Sebagai contoh, konsep tentang tanah kharaj yang ada pada masa Khalifah Al-Faruq Umar bin Khattab. Beliau memandang bahwa perlu adanya pemasukan tambahan yang bersifat tetap untuk baitulmal yang akan digunakan untuk membiayai kemaslahatan umat, gaji tentara, dan santunan fakir miskin.

Contoh lain, Imam Syafi’i meletakkan kaidah usul fikih karena kebutuhan kaum muslimin saat itu. Luasnya jurang pemisah dan perbedaan antara fikih Imam Abu Hanifah dan Imam Malik menyebabkan masalah yang membutuhkan penyelesaian dengan peletakan kaidah dan ilmu usul fikih bagi kaum muslimin. Begitu juga tentang konsep wakaf yang disusun oleh kaum muslimin karena kebutuhan mereka dalam keuangan dan pembiayaan fardu kifayah, di mana para orang kaya bisa mewakafkan sebagian gedung, tanah, dan hartanya sebagai sedekah jariah yang bermanfaat bagi kaum muslimin secara umum. (Lihat: Majalah Al-Waie edisi 407/Agustus 2020 dengan judul: “Fikih Tajdid”).

Yang membedakan antara reformasi agama dan tajdid adalah konsep tajdid membutuhkan dalil asal dari syariah. Ketika Khalifah Umar bin Khattab mewajibkan kharaj, maka itu disandarkan pada firman Allah, “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar)”. Dalam firman itu, kaum muslimin yang datang setelah adanya para penakluk berhak mendapatkan fai, yaitu kepemilikan tanah kharajiyah, di mana sebelumnya para sahabatlah yang mendapatkan harta tersebut.

Sementara konsep wakaf kebaikan, hukum asalnya adalah hadis dari Rasulullah saw., “Jika anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali sedekah jariah,…” Dalam hadis ini, wakaf termasuk sedekah jariah. Terakhir, ilmu usul fikih itu sebenarnya sudah ada kaidahnya, yaitu terdapat dalam Al-Qur’an, sunah, atsar sahabat, dan para fukaha. Hanya saja Imam Syafi’i-lah yang pertama kali mengumpulkan kaidah-kaidah tersebut dan mengembangkannya sebagai satu ilmu yang baru.

Seluruh perkara-perkara baru yang memiliki dasar dalam syariat dan berada di bawah konsep mafhum mukhalaf terhadap sabda Nabi, “Apa yang bukan darinya (Islam).” merupakan bagian darinya (Islam), dengan kata lain memiliki dasar dalam Islam. Maka ia adalah perkara baru yang dapat diterima, yang merupakan produk tajdid yang layak untuk diterima.

Tajdid tersebut adalah hal yang senantiasa menyertai berbagai problematika kebutuhan dan permasalahan mereka, dan akan sempurna dengan memberikan solusi tajdid yang bersumber dari syariat, yang sesuai dasar-dasar dianggap sah dan berkaitan dengan wahyu, bukan yang tidak memiliki dasar atau yang disandarkan pada asumsi-asumsi dasar seperti mashalih dan maqasid syariah. Pada dasarnya, solusi yang dipengaruhi oleh selain Islam, maka tidak dapat dikategorikan sebagai tajdid, melainkan ia adalah bentuk dari reformasi agama.

Tajdid yang harus dilakukan umat Islam di masa ini adalah berupaya untuk mengatasi goncangan keyakinan pada pemikiran Islam serta berbagai hukumnya, yang dilancarkan oleh peradaban Barat seusai perang pemikiran, terlebih dalam bidang politik, ekonomi, dan pemerintahan. Maka sudah seharusnya ada seorang mujadid yang bertitel mujtahid di masa ini untuk melaksanakan tugas penting tersebut. []

Diterjemahkan dari Majalah Al-Waie edisi 431, terbit pada bulan Zulhijah 1443 H/Juli 2022 M

Glosarium:

Fiqh muwazanat: Konsep fikih yang mencari sesuatu yang lebih ringan dari pada dua mafsadah.

Tanah kharaj: Pajak tanah yang dibebankan atas nonmuslim.

Fai: Harta-harta yang didapatkan dari nonmuslim dalam keadaan damai atau tanpa adanya peperagan.

Atsar: Segala sesuatu yang disandarkan kepada para sahabat baik perkataan maupun perbuatan mereka.

Hits: 9

Tags

Bagikan tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *