Search
Close this search box.

Tajdid Agama (Bagian 1)

Oleh: Prof. Yusuf Al-Sarisi (Palestina)

Allah Swt. telah menjadikan dalam kehidupan manusia suatu sunah (hukum) dan aturan untuk melindungi mereka dari berbagai kerusakan, seperti sunnah tadafu’ (ketentuan penyerangan) untuk saling mempertahankan diri, pergiliran di antara manusia, aturan untuk mempercepat penghancuran orang zalim (yang berlaku sewenang-wenang), juga aturan menuju kebangkitan (yang tidak lain dengan berpikir), dan sebagainya.

Allah Swt. juga telah menetapkan aturan yang istimewa bagi umat Islam untuk menjaga kelangsungan dan kelestarian agama Islam. Dengan demikian, agama penutup ini (Islam) merupakan satu-satunya agama sahih dan sesuai untuk setiap zaman dan tempat. Islamlah yang akan menang di atas semua agama dan ideologi yang ada.

Di antara nikmat Allah yang begitu banyak atas umat Islam, bahwasanya Dia telah menjamin kitab umat (Al-Qur’an) dan agama ini (Islam) dari terjadinya penyelewengan. Allah juga menjadikan di dalam tubuh umat ini sekelompok manusia yang akan menampakkan kebenaran pada setiap zamannya.

Barang siapa yang menginginkan kebenaran, ia akan mendapatinya pada kelompok tersebut. Oleh karenanya, tidak akan bergulir suatu zaman pun melainkan akan ada para penyeru kebenaran yang menjadi saksi bagi manusia.

Demikian pula, salah satu nikmat Allah Swt. atas umat Islam untuk menjaga agama mereka adalah Allah mengutus seorang mujadid yang dapat melakukan tajdid (pembaruan) agama ini setiap seratus tahunnya.

Nabi saw. bersabda dalam hadis riwayat Abu Dawud, “Sesungguhnya, setiap seratus tahun Allah Swt. akan mengutus kepada umat ini seseorang yang akan memperbarui agama (dari penyimpangan).”

Oleh sebab itu, seorang mujadid akan memperbarui masalah agama, menjelaskan pemahaman yang sahih mengenai Islam, serta menghilangkan segala hal yang dilekatkan pada Islam yang sebenarnya bukan berasal darinya, dan berusaha memecahkan masalah terbesar yang dihadapi umat Islam.

Atas karunia-Nya, inilah nikmat terbesar dari-Nya bagi umat Islam sehingga agama ini tetap menjadi hujah bagi seluruh alam hingga hari kiamat kelak. Juga sebagai agama penutup bagi agama-agama lainnya. Umat Islam pun akan menjadi saksi bagi umat yang lain.

Dalam konteks ini, ada pertanyaan yang harus dijawab, “Mengapa agama (Islam) perlu tajdid?” Jawabannya ialah karena Islam merupakan agama yang diterapkan manusia dalam kehidupannya sehari-hari. Sudah menjadi tabiatnya ketika pemikiran Islam dan selain Islam akan saling berseteru, berlebihan, dan lalai dalam penerapannya.

Begitu pula akan muncul hal-hal baru yang butuh dihukumi oleh hukum syara’ (yang berkemungkinan besar disusupi pemikiran asing sebagai hasil dari perang pemikiran, serta lemahnya pemahaman akibat sikap berlebihan dan melalaikan, dan ketidakmampuan mengaitkan berbagai realitas dengan hukum syara’ saat ijtihad tidak diberlakukan. Apabila faktor-faktor tersebut terus berlangsung, tentu akan menghasilkan kejumudan dan terpisahnya Islam dari realitas kehidupan sehingga butuh adanya ijtihad secara kontinu.

Sebelum kita mulai membahas makna tajdid dan realitasnya, terlebih dahulu kita akan memaparkan kemunculan ide tajdid agama pada masa modern menurut sebagian kalangan pemikir muslim. Menurut mereka, pendorong kemunculannya bukan berasal dari Islam, tetapi mengikuti Barat. Saat kaum muslim terbius dengan kaum kapitalis Eropa pada awal abad ke-19, mereka mengikuti bangsa Eropa dalam segala halnya, termasuk perkara tajdid dan reformasi agama.

Oleh karenanya, akan lebih baik apabila sejenak kita menengok sejarah kemunculan ide tajdid dan reformasi di kalangan kaum Kristen Eropa sebelum masa Renaisans untuk melihat apa saja yang terjadi di tengah mereka (termasuk perihal agama), sehingga dapat menjadi pertimbangan bagi kita.

Munculnya Gagasan Tajdid dan Reformasi di Eropa

Sebelum abad ke-16, Eropa berada di bawah tirani Gereja Katolik yang mendorong terjadinya revolusi dan pembentukan gerakan reformasi di Eropa. Mulai dari protestantisme ke sekularisme, hingga revolusi nyata melawan kaisar dan raja, seperti Revolusi Prancis yang berakhir pada perubahan pemikiran dan rezim di Eropa.

Pendeta Jerman Martin Luther menyerukan reformasi agama pada awal abad ke-16 dengan dalih mereformasi Gereja Katolik dari otoritas untuk menafsirkan agama, infalibilitas, dan indulgensi yang terbatas pada Paus Vatikan di Roma. Luther menyerukan perlu adanya pemahaman kembali Perjanjian Baru (Injil) dan Perjanjian Lama (Taurat) berdasarkan sudut pandang baru. Ini adalah awal dari ide tajdid agama Kristen di Eropa dan kemudian muncullah doktrin Protestan.

Dengan demikian, agama Kristen terbagi menjadi tiga kelompok, yakni Ortodoks Timur, Katolik Kepausan Barat, dan Protestan. Dari sekte Protestan ini, lahirlah gereja-gereja Kristen yang tidak terhitung jumlahnya, masing-masing dengan kredo, undang-undang, dan kurikulum agamanya masing-masing. Walhasil, Gereja Kristen Barat terpecah menjadi beberapa sekte dan gereja yang saling bertentangan di antara mereka sendiri. Ini karena ide reformasi agama Lutheran.

Belakangan, Gereja Protestan menerima ide baru sekularisme yang muncul di Eropa setelah konflik antara pemuka agama, raja, dan kaisar di satu sisi, serta para pemikir dan filsuf di sisi yang lain. Konflik itu muncul setelah mereka (pemikir dan filsuf) memberontak terhadap ide hak ilahi dan menggantinya dengan ide hak alam, serta pentingnya memisahkan agama dari kehidupan (sekularisme). Gereja Protestan di Inggris adalah yang pertama menerima sekularisme setelah Revolusi Cromwell pada 1680. Dengan begitu, dapat kita simpulkan bahwa akar ideologi baru (kapitalisme dan sekularisme) muncul dari Inggris.

Menciptakan Ide Evolusi di Eropa

Setelah Eropa meninggalkan agama dan memisahkannya dari kehidupan, ia harus menerapkan undang-undang dan hukum yang jauh dari agama. Bangsa Eropa kemudian mengambil dari Yunani dan Romawi apa yang mereka sebut hukum alam (naturalisme) sebagai ganti hukum gereja. Padahal, realitas hukum alam itu tetap dan tidak berubah, sedangkan hukum yang mereka terapkan memaksa mereka untuk terus-menerus mengubah, menambal, dan menyesuaikannya dengan realitas yang ada.

Hal ini menimbulkan masalah bagi mereka karena hukum manusia (demokrasi) berubah sesuai keinginan dan kepentingan manusia, dan ini bertentangan dengan hukum alam yang bersifat tetap. Walhasil, hal ini harus dibenarkan dengan menganggap bahwa alam itu sendiri mengandung hukum evolusi (perubahan).

Mereka pun menciptakan ide imajiner yang mereka sebut “evolusi” dan menganggapnya sebagai hukum alam. Para ahli teori evolusi mengeklaim bahwa hukum dan sistem manusia harus berevolusi karena evolusi adalah hukum alam sejak awal, serta alam selalu berubah dan berkembang.

Di satu sisi, undang-undang yang mereka terapkan harus sesuai situasi dan realitas yang baru. Di sisi lain, sistem yang ada tidak berkembang seiring berjalannya waktu. Akumulasi masalah di hadapan sistem tersebut akan menyebabkan tidak mampunya sistem untuk mengikuti realitas, sehingga sistem akan menjadi kaku dan gagal. Akibatnya, ada kebutuhan konstan untuk mengganti hukum ke hukum yang lebih modern, maju, dan beradab.

Oleh karena ilmu eksperimen di Barat adalah berdasarkan kesehatan dan kebaikan, Bangsa Eropa memanfaatkan ilmu kehidupan untuk membuktikan klaim evolusi bahwasanya itu adalah hukum alam dalam kehidupan makhluk hidup. Muncullah aliran evolusi alam di Prancis oleh Georges de Buffon, kemudian Darwin menemukan teori evolusi (evolusi dan elevasi) di Inggris setelah ia menggabungkan antara teori naturalisme dan teori evolusi alam.

Dengan demikian, ketika pelopor sistem kapitalisme dan sosialisme mengeklaim bahwa pembangunan, kemajuan, dan pembaruan adalah di antara hukum alam yang tidak dapat dihindari, sebenarnya mereka pulalah yang menjaga sistem dan ide itu tetap hidup, tumbuh, dan berkembang. Berdasarkan teori Darwin, siapa pun yang tidak berkembang, pasti akan punah dan musnah.

Namun, klaim ini sejatinya adalah ekspresi kegagalan, dengan menggunakan kata-kata yang berbelit. Oleh sebab itu, ketika hukum dan sistem tersebut tidak mampu mengatasi masalah dan realitas yang ada, artinya hukum dan sistem itu telah rusak dan gagal. Proses perubahan fondasi dan detailnya di bawah slogan “pembangunan dan modernitas” oleh para pelopornya hanyalah upaya untuk menyembunyikan kerusakan dan kegagalan ini di bawah slogan tersebut. Meskipun jika mereka merenungkannya secara mendalam, mereka akan mendapati bahwa standar kebenaran dan keberhasilan suatu sistem—atau hukum apa pun—adalah kemampuannya dalam memecahkan masalah menggunakan aturan dan landasannya.

Apabila seiring perubahan waktu dan situasi kemudian muncul masalah dan realitas baru, lalu sistem dan hukum itu berhasil menanganinya tanpa menyimpang dari aturan dan prinsipnya, maka sungguh sistem dan hukum tersebut dianggap efektif. Namun, apabila mereka sewenang-wenang berupaya untuk mengubah dan menyesuaikannya sesuai realitas terbaru, yakni dengan membuat interpretasi hukum yang rusak, menyimpang dari landasan dan aturannya, serta dari tujuan dan standarnya, ini justru menunjukkan kerusakan dan kegagalan hukum tersebut dalam memecahkan masalah yang baru.

Dengan demikian, tuntutan perkembangan dan pembaruan merupakan upaya untuk menghindari kerusakan dan kegagalan sistem dan hukum berdasarkan kriteria, bahwa keabsahan sistem dan hukum adalah kemampuannya menemukan solusi efektif untuk suatu masalah, bukan berdasarkan kemampuan mereka untuk mewarnai, meregangkan, dan menambal dengan judul “perkembangan palsu”.

Kemunculan Arus Reformasi dan Tajdid di Kalangan Umat Islam
Prancis—di bawah pimpinan Napoleon—menyerbu Mesir pada 1798, lalu ke Palestina, kemudian menarik diri dari kedua negeri tersebut pada 1801. Setelah itu, Muhammad Ali Pasha mengambil alih kekuasaan Mesir, salah satu tindakannya adalah mengirim elite pemuda Mesir untuk belajar dari ilmu-ilmu Eropa.

Beberapa di antaranya kembali dengan ide-ide baru Eropa tentang demokrasi, liberalisme, dan kapitalisme. Setelah mereka terpesona oleh kemajuan industri dan peradaban Eropa, mereka menyebarkan ide-ide baru ini di Mesir dan sekitarnya. Di antara simbol-simbol ide ini adalah Rifa’ah Al-Tahtawi, Abdul Rahman Al-Kawakibi, Khairuddin Al-Tunisi, dan lainnya.

Seiring kembali adanya aliran baru yang menyeru untuk membebek Eropa, baik peradaban dan sistemnya, muncul aliran lain yang menyerukan rekonsiliasi antara Islam dan peradaban Barat yang merupakan tren aliran reformasi. Aliran ini dipimpin oleh Jamaluddin Al-Afghani yang mulai menyiarkan ide-ide tajdid dan reformasi di kalangan umat Islam. Al-Afghani dipengaruhi oleh sekelompok ulama Al-Azhar, terutama Muhammad Abduh yang menjadi syekh Al-Azhar dan salah satu muridnya, Muhammad Rasyid Ridha, penulis Majalah Al-Manar.

Kemudian, aliran reformasi ini berlanjut—yang berusaha merekonsiliasi antara dua peradaban dan ideologi, yakni sekuler dan Islam—dan tersebar ke berbagai bentuk gerakan, jemaah, dan individu di negeri-negeri.

Seruan paling menonjol dari aliran reformasi di kalangan umat Islam adalah ide tajdid dan reformasi agama. Dari ide ini, jika kita mendalaminya dengan baik, akan kita temukan kemiripan dengan apa yang dilakukan oleh umat Kristen Eropa tatkala mereka menyerukan ide reformasi agama, dan yang paling menonjol adalah penerimaan mereka terhadap sekularisme.

Aliran reformasi ini dipersiapkan untuk mengambil ide Barat, yakni demokrasi dalam pemerintahan dan sistem ekonomi kapitalisme, serta membungkusnya “secara syar’i” dengan label ide tajdid dan konsiliasi. Akan tetapi, aliran reformasi ini tidak secara eksplisit setuju dengan sekularisme sebagaimana terjadi pada Protestan di Eropa, melainkan ingin mengambil manfaat dari Barat dalam sistem ekonomi dan pemerintahannya, tetapi sembari menjaga akidah, ibadah, dan akhlak Islam.

Kaum reformis mencoba memperbarui agama dari sisi pengkajian terhadap hukum Islam mengenai hal-hal yang memungkinkan untuk mengadopsi sistem dan ide-ide Barat. Mereka pun mendapati hadis-hadis Rasulullah saw. yang menyatakan tajdid. Hal tersebut—serta yang semisalnya—menjadi pintu masuk bagi mereka untuk mengubah hal-hal di dalam agama, agar sesuai dengan apa yang dimiliki Barat dengan kedok reformasi dan tajdid.

Kemudian, mereka bersandar pada prinsip usul fikih dan ternyata mendapatinya tertutup bagi mereka, serta menghalangi mereka dari penerimaan terhadap sistem Barat. Namun, mereka terus mencari dan menggali hingga mereka menemukan celah yang dapat mereka tembus.

Celah tersebut tidak lain adalah ide untuk menakwilkan maqasid syariah dan mashalih al-mursalah dalam bentuk yang bisa menerima “pemanfaatan” terhadap hal-hal yang dimiliki Barat, yaitu terkait sistem ekonomi dan pemerintahannya. Hal ini mengingat peradaban Barat menjadi “ukuran” kemajuan dan perkembangan sebuah peradaban. Oleh karenanya, menurut mereka hukum-hukum Islam haruslah sesuai dengan Barat.

Inilah catatan sejarah singkat munculnya ide tajdid agama, yakni suatu upaya yang sampai pada batas tertentu mirip dengan yang terjadi pada umat Kristen Barat, agar kita bisa mengambil pelajaran dari pengalamannya.

Namun sungguh, hal ini telah masuk ke dalam lubang biawak yang juga dimasuki oleh umat Kristen Eropa yang kemudian melahirkan sekularisme, ateisme, kepercayaan sesat, serta sekte-sekte agama baru yang tidak memiliki kesamaan.

Lantas, apakah kita sebagai muslim menerima bahwasanya kita mau merekonstruksi pengalaman yang merusak dari mereka (agama Kristen) dan menerapkannya pada agama Islam, kemudian mengeklaim bahwa itu adalah bentuk tajdid agama?

Diterjemahkan dari Majalah Al-Waie edisi 431, terbit pada bulan Zulhijah 1443 H/Juli 2022 M

Glosarium:

Maqasid syariah: Tujuan-tujuan syariat yang dimaksudkan Allah dalam setiap hukum-Nya.

Visits: 23

Tags

Bagikan tulisan ini

Tulisan menarik lainnya...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Category

Gabung Channel Telegram