Oleh: Ustaz Muhammad Al-Hamdani
Allah Swt. berfirman dalam Kitab Suci-Nya, “Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul-Nya apabila ia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya, dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” (QS Al-Anfal: 24).
Ayat ini merupakan seruan untuk menghidupkan kembali kejayaan serta kehormatan umat ini seperti semula sebagaimana Allah Swt. dan Rasul-Nya kehendaki untuk menjadi umat terbaik yang dilahirkan bagi manusia.
Kebaikan ini muncul dari aktivitas amar makruf nahi mungkar, mendirikan salat, dan menunaikan zakat, dengan menjalankan Islam secara keseluruhan dan menjadikannya sebagai pedoman hidup.
Rasulullah saw. telah menjelaskan bahwa langkah-langkahnya berdasarkan petunjuk dari Allah Tuhan semesta alam, mengikuti segala perintah-Nya dan melaksanakannya sesuai tata cara berdasarkan Quran, sesuai metode dakwah pemikiran dan berkelompok. Kemudian, mengumumkannya dan meminta dukungan untuk pembentukan negara dan membangkitkan umat. Setelah itu, mengemban dakwah ini ke seluruh umat manusia melalui dakwah dan jihad agar mereka memeluk akidah ini dan melaksanakannya sebab di dalamnya terdapat rahmat Allah Tuhan semesta alam.
Allah taala berfirman dalam QS Al-Anbiya: 107, “Dan kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.”
Juga hendaklah tidak melakukan pemaksaan terhadap orang lain untuk memeluk agama Islam, sebagaimana firman Allah Swt. dalam QS Al-Baqarah: 256, “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, ia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Bangsa Arab dan berbagai kaum lain yang telah berislam sesungguhnya telah keluar dari kegelapan zaman jahiliah dan kesempitan dunia menuju cahaya Islam dan ajarannya yang manusiawi, serta kesenangan di dunia dan akhirat. Dengan demikian, manusia menjadi mulia di bawah naungan sistem Islam, mendapatkan keamanan dalam bermasyarakat, memperoleh kebutuhan pokok hariannya, saling tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan; serta berhukum dengan syariat Allah, adil dalam me-riayah, dan menerapkan hal itu tanpa membeda-bedakan.
Seorang muslim akan berjalan di berbagai penjuru negeri kaum muslimin tanpa rasa takut—selain hanya pada Allah—ibarat tidak ada kekhawatiran kepada serigala atas kambingnya. Hal tersebut dibenarkan oleh Rasulullah saw. dalam sabdanya yang diriwayatkan Imam Bukhari, “Demi Allah, sungguh urusan (Islam) ini akan sempurna hingga ada seseorang yang mengendarai kuda berjalan dari Shana’a menuju Hadhramaut, tidak ada yang ditakutinya melainkan Allah, ataupun (tidak ada) kekhawatiran kepada serigala atas kambingnya.”
Umat Islam terus-menerus hidup dalam naungan sistem dan akidah Islam, berikut sistem kepemimpinannya, serta Khalifah sebagai penjaga bagi ajaran Islam yang menerapkan Islam dan mengembannya, juga membuat perhitungan dengan orang-orang kafir, para sekutunya, dan orang-orang munafik selama hampir 13 abad hingga kejatuhannya pada 1924 melalui tangan Mustafa Kemal.
Oleh sebab itu, ikatan Islam mulai terlepas satu per satu sebagai bukti atas perkataan Rasulullah saw. Dari Abu Umamah al-Bahili dari Nabi saw. bahwasanya ia berkata, “Tali-tali [ikatan] Islam benar-benar akan terlepas satu per satu. Ketika satu tali [ikatan]nya lepas, orang pun pasti akan melepaskan tali [ikatan] berikutnya. Yang pertama kali lepas adalah pemerintahan, yang terakhir adalah salat.” (HR Ahmad).
Lepasnya ikatan ini tidak akan mungkin terjadi jika tidak didahului faktor internal dan eksternal. Faktor eksternalnya berupa tampaknya permusuhan kafir secara kolektif di bawah kepemimpinan kafir Inggris, penghasutan atas ide nasionalisme dan kebangsaan, serta pembentukan partai-partai atas dasar ini melalui antek-antek yang berasal dari bagian kita.
Sedangkan faktor internalnya berupa kelemahan pemikiran dan pemahaman terhadap fikih yang menimpa Daulah Utsmaniyah pada akhir masa pemerintahannya, kejumudan dan ketakmampuan untuk menemukan solusi atas masalah yang muncul: cara mengurus pertanian, industri, investasi, serta pemberian pelayanan untuk memenuhi rasa lapar dan kebutuhan manusia—sebagaimana perkembangan Barat pada waktu itu. Semua ini tecermin dalam pemikiran dan perilaku umat.
Sejak penggulingan Khilafah, umat pun hidup dalam kondisi yang kontradiktif, yakni antara perasaan yang diyakininya, pemikiran dan sistem yang diterapkan atas mereka, serta pemaksaan batas-batas dan perpecahan yang memisahkan umat dari satu sama lain.
Seruan nasionalisme dan perselisihan membuat mereka lupa akan kehidupan Islamnya—melalui penguasa yang mengangkat penjajah kafir di atasnya. Mereka hanya mementingkan urusan tuannya yang kafir.
Karena tidak ada kehidupan bagi kaum muslimin tanpa Islam, kehidupan umat pun bergeser pada kesulitan dan kembali ke masa jahiliah setelah mereka hidup dalam kemuliaan Islam. Dengan situasi baru ini, hilangnya pemahaman dan pemikiran Islam makin meningkat seiring lemahnya fatwa-fatwa, serta berbagai proposisi yang menipu, terkalahkan, dan tertindas yang makin memperburuk keadaan.
Umat makin dipermalukan dan mulai menderita. Mereka mencari jalan keselamatan dan pembebasan dari yang mereka alam. Seluruh seruan kebangkitan berupa nasionalisme, patriotisme, kebangsaan, sosialisme, tentang keagamaan yang berpecah dan tidak menyeluruh, telah melemah sampai Allah menyiapkan seseorang yang menyeru pada pembaruan agama-Nya.
Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya, Allah akan mengutus pada umat ini setiap penghujung 100 tahun orang yang akan memperbarui agama mereka.”
Pada awal tahun 50-an, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani mengumumkan bahwa telah lahir partai politik berideologi Islam, yaitu Hizbut Tahrir. Ini dalam rangka mengembalikan pemahaman agama umat dengan cara yang telah Rasulullah saw. jelaskan, dengan mempelajari Islam dan biografi Nabi saw., melalui kajian pemikiran yang sesuai hukum (Islam) bukan studi sejarah seperti yang banyak dilakukan para pendakwah yang ingin membangkitkan umat.
Pembelajaran seperti ini mencontoh aktivitas Rasul saw. sejak awal kehidupan beliau, saat beliau menyendiri di Gua Hira, merenungi dan berpikir tentang keberadaan alam ini; serta yang ada pada manusia, seperti kebiasaan, tradisi, penyembahan pada patung, hingga beliau (saw.) terpilih oleh Allah sebagai Rasul dan Dia mengirimkan wahyu-Nya yang menjawab semua pertanyaan dan kekhawatirannya.
Oleh sebab itu, Allah Swt. telah menjaganya bahkan sebelum beliau diutus dan telah mempersiapkannya untuk mengemban amanah, hingga ia menjadi masyhur di kalangan kaumnya dalam hal berakhlak mulia dan melampaui hal-hal yang rendah lainnya.
Bagaimana tidak? Ketika itu, mereka bahkan menjulukinya dengan ash-Shadiq al-Amin (yang jujur dan tepercaya). Setelah turunnya wahyu, Rasul saw. keluar dan menyampaikan kepada manusia bahwasanya beliau adalah Rasulullah (utusan Allah) dan menyeru mereka untuk beribadah kepada Allah Swt. dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Dengan demikian, berimanlah sekelompok orang (dari manusia yang beliau seru) dan memercayai perkataannya, kemudian terbentuklah sebuah kutlah (kelompok) keimanan.
Dari sini, mulailah tahapan-tahapan aktivitas kutlah tersebut dalam mencapai perubahan, yaitu:
Tahap pertama, pendidikan dan pemantapan konsep-konsep Islam bagi pengemban dakwah secara sembunyi-sembunyi di Dar al-Arqam bin Abi al-Arqam, berlangsung selama tiga tahun saat para Sahabat disempurnakan sehingga terbentuklah kepribadian islami dalam diri mereka, baik pemikiran maupun mentalitas mereka.
Buktinya adalah penganiayaan dan siksaan yang mereka alami di tangan orang-orang kafir Quraisy. Semua itu tidak menghalangi keyakinan mereka. Tahapan ini sangat penting dalam urusan dakwah karena tahap kedua bergantung padanya dan setiap kesalahan di dalamnya menghalangi proses transisi menuju tahapan lainnya.
Tahap kedua, interaksi, yaitu tahap dakwah secara terang-terangan dari jemaah dan deklarasi kelompok sebagai kekuatan intelektual yang berupaya mengubah realitas setelah turunnya firman Allah Swt., “Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (QS Al-Hijr: 94). Kelompok tersebut telah beralih untuk melakukan aktivitas baru ditambah dengan aktivitas sebelumnya.
Kemudian, masuknya jemaah ke tengah masyarakat dan berinteraksi dengan mereka melalui pertarungan pemikiran dengan menyerang pemikiran jahil, seperti penyembahan berhala, mengubur hidup-hidup anak perempuan, dan sebagainya; serta perjuangan politik dengan menantang para pemimpin kafir dan mengejek pemikiran mereka, seperti pada Abu Jahal, Abu Lahab, Walid bin Mughirah, dan lainnya.
Di antara aktivitas di tahap ini dalam tiga tahun terakhir adalah meminta pertolongan pada orang-orang yang berkuasa dan kuat yang diwakili kerabat dan pemimpin mereka untuk melindungi Rasulullah saw., serta memberinya kekuatan untuk memerintah dengan risalah Allah sehingga mendapat perlindungan Kaum Aus dan Khazraj dari penduduk Madinah.
Di sini, mulailah tahapan ketiga, yakni penerimaan kekuasaan, penerapan hukum Allah, dan pelaksanaan hukum-hukum-Nya. Dengan demikian, umat Islam menjadi kekuatan yang terwakili institusi politik yang membawa umat Islam masuk ke dalam pertarungan fisik dengan entitas Quraisy, yakni melalui aktivitas militer dan jihad di jalan Allah dan turunnya ayat-ayat yang memerintahkan berperang.
Tahapan ini berbeda dengan tahapan sebelum Daulah tegak yang terbatas pada serangan pemikiran dan perjuangan politik. Hingga akhirnya, konflik tersebut terselesaikan setelah Perjanjian Hudaibiyah demi kepentingan Rasulullah saw. dan para Sahabat, yakni Fathu Makkah sebagai salah satu hasilnya.
Kemudian, Rasulullah saw. mulai bergerak mengemban Islam ke luar Makkah. Pada saat yang sama, syariat Islam turun secara bertahap selama ± 20 tahun dan menjadi sempurna dalam seluruh aspek kehidupan dengan turunnya firman Allah Swt., “Pada hari ini, telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu.” (QS Al-Maidah: 3).
Setelah Rasulullah saw. wafat, para Sahabat melanjutkan tugas mengemban risalah Islam hingga mampu menaklukkan Imperium Persia dan Romawi. Daulah Islam pun menjadi negara super power tanpa tandingan.
Inilah satu-satunya aktivitas untuk membangkitkan kaum muslimin dan melanjutkan kehidupan Islam. Kita wajib melakukannya dengan meneladani sirah Rasulullah saw. agar dapat tercapai kemuliaan di dunia dan rida Allah Swt. di akhirat.
Tidak ada jalan lain selain itu. Allah Swt. berfirman, “Katakanlah (Muhammad), ‘Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujah yang nyata, Mahasuci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang musyrik.’” (QS Yusuf: 108).
Ya Allah, kami mohon, anugerahkanlah kami kemuliaan dalam naungan Khilafah Rasyidah ‘alaa minhaj an-nubuwwah. Amin.[]
Diterjemahkan dari Majalah Al-Waie edisi 421, terbit pada bulan Safar 1443 H/September 2021 M
Klik di sini untuk mengakses sumber
Visits: 4