Search
Close this search box.

Peran Ulama Rabani dalam Upaya Menegakkan Negara Khilafah Rasyidah (Bagian 2)

Oleh: Ustaz Yasin Muthohar, Indonesia

Ulama adalah pewaris para nabi. Mereka bersifat rabani (pengabdi Allah) sebagaimana yang disifati oleh Al-Qur’an. Allah berfirman, “Tidak mungkin bagi seseorang yang telah diberi kitab oleh Allah, serta hikmah dan kenabian, kemudian dia berkata kepada manusia: ‘Jadilah kamu penyembahku, bukan penyembah Allah!’ Tetapi (dia berkata), ‘Jadilah kamu pengabdi-pengabdi Allah, karena kamu mengajarkan kitab dan karena kamu mempelajarinya!’”

Ar-Razi menyebutkan definisi rabani dengan, “Pendorong semua perbuatan (baik)nya adalah keridaan Allah, serta penghalang semua perbuatan (buruk)nya adalah takut akan azab Allah.”

Ibnu Asyur (dalam tafsirnya) berkata, “Maksud dari ‘Jadilah orang-orang yang rabani’ adalah ‘Jadilah orang-orang yang bersandar kepada Tuhan, yaitu Allah semata.’ Karena bersandar kepada sesuatu bertujuan untuk menambah kekhususan yang bersandar (mansub) terhadap yang disandarkan padanya (mansub ilaihi). Artinya agar mereka (para rabani) menjadi orang-orang yang ikhlas dan hanya bersandar kepada Allah tanpa selain-Nya.”

Imam Qurthubi berkata tentang tafsir ayat ini, “Bentuk tunggal ‘rabaniyyun adalah ‘rabaniy, dan ia memiliki hukum nisbah kepada Rabb atau Tuhan. Orang-orang yang bersifat rabani adalah mereka yang mengajarkan ilmu-ilmu dasar kepada masyarakat sebelum mengajarkan ilmu-ilmu yang lebih dalam. Orang-orang rabani seolah meneladani Allah dalam memudahkan urusan manusia.” (Diriwayatkan maknanya dari Ibnu Abbas)

Sebagian ulama berkata, “Asal katanya adalah ‘Rabbiyun’, kemudian ditambahkan huruf alif dan nun untuk memberi makna mubalaghah (hiperbol/dilebih-lebihkan). Sebagaimana orang yang memiliki banyak janggut disebut ‘lihyaniy’ (لحياني), orang yang berambut lebat disebut ‘jummaniy’ (جماني), dan orang yang berleher tebal disebut ‘ruqbaniy’ (رقباني).

Al-Mubarrad berkata, “Orang-orang rabani adalah para ahli ilmu. Bentuk tunggalnya adalah ‘rabban(u)’, dan asal katanya adalah ‘rabbahu-yurabbihi’ yang berarti memelihara atau mengurusnya (fulan/objek). Pelakunya disebut rabbanu, apabila ia dapat mengurus dan membenahinya (fulan/objek). Berdasarkan makna ini, rabbanun’ (bentuk plural dari rabbanu) berarti orang-orang yang menjaga urusan masyarakat dan memperbaiki keadaan mereka. Kemudian kata ini ditambah huruf ‘ya’ nisbah (menjadi ‘rabaniy’) sebagaimana lihyaniy, ruqbaniy, dan jummaniy.

Maka, dapat disimpulkan bahwa arti rabani adalah orang yang ahli dalam agama Allah serta yang mengamalkan ilmu tersebut. Karena orang yang tidak mengamalkan ilmunya tidak dapat dikatakan sebagai seorang alim (ahli ilmu).

Mujahid berkata, “Orang-orang rabani berada di atas para pendeta.” An-Nahas berkata—dan ini adalah perkataan yang baik—, “Hal tersebut karena para pendeta adalah ahli ilmu, sementara rabani adalah ahli ilmu yang memadukan ilmunya dengan politik. Dikutip dari perkataan orang Arab, ‘memelihara urusan masyarakat berarti memperbaiki keadaannya dan menerapkan aturannya.’ Pelakunya disebut ‘raabb(un)’ yang berarti pemelihara, dan rabani’ adalah bentuk melebih-lebihkannya (untuk orang yang terus-menerus melakukannya)”

Abu Ubaidah berkata, “Aku mendengar seorang ahli ilmu berkata, ‘Rabani adalah orang yang mengetahui tentang halal dan haram, perintah dan larangan, serta mengetahui tentang kabar umat terdahulu serta yang akan datang.’”

Muhammad bin Hanafiyah berkata di hari wafatnya Ibnu Abbas, “Rabani umat ini telah meninggal.”

Hari ini, betapa butuhnya kita terhadap ulama rabani yang politis, yang mana mereka bekerja siang dan malam untuk memperbaiki keadaan umat serta mengeluarkan umat dari kegelapan menuju cahaya. Mereka adalah orang-orang yang berjuang untuk menerapkan syariat Islam serta menyatukan umat di bawah naungan Khilafah.

Peran Ulama dalam Khilafah

Saat Khilafah Islamiyyah masih ada, para ulama memiliki peran penting dalam mengoreksi penguasa, mengarahkan, serta menjaga mereka dalam jalan kebenaran. Karena itulah ulama berkata, “Raja adalah penguasa rakyat, sementara ulama adalah penguasa raja.”

Seorang penyair berkata, “Di atas kertas orang-orang besar berkuasa, dan terhadap mereka para ulama berkuasa.”

Dalam sejarah Khilafah Islamiyyah yang panjang, banyak terukir aksi berani para ulama mengenai peran dan ketegasan mereka terhadap penguasa. Peran tersebut diselimuti dengan kejujuran, keberanian, dan ikhlas untuk Allah dan agama-Nya yang lurus. Mereka adalah bintang terang yang menuntun rakyat dan para penguasa di gelapnya kehidupan.

Para ulama di masa itu menampakkan kemuliaan Islam serta menegaskan hakikat syariat Islam yang murni. Mereka tegas saat berhadapan dengan penguasa yang menyimpang (meski hanya sedikit), juga dalam mengurus semua urusan negara yang diatur oleh penguasa (dan urusan yang ditaati oleh rakyat).

Para ulama tersebut menunjukkan kepada seluruh dunia bentuk keteguhan iman kepada syariah, tercermin pada seruan dan khotbah-khotbah mereka. Mereka bertahan dengan sabar dan berani, sebagai hasil dari menyuarakan kebenaran di depan penguasa zalim. Mereka tidak gentar akan kekuatan penguasa, negara, bahkan militer. Hal ini tidaklah mengejutkan, karena mereka adalah para pemegang panji syariat Islam yang sebenarnya.

Sejak dulu, para penguasa zalim yang melanjutkan pemerintahan Islam tidak pernah mampu memperalat para ulama salih untuk melaksanakan keinginan mereka, atau untuk sekedar berjalan di jalan bengkok mereka, meskipun para ulama tersebut telah disiksa dan ditekan agar mereka dapat dikuasai.

Bagaimana tidak, Allah telah melarang para ulama dan kaum muslimin untuk berpihak kepada mereka, sebagaimana dalam firman-Nya, “Dan janganlah kalian cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kalian disentuh api neraka, dan sekali-kali kalian tiada mempunyai seorang penolong pun selain daripada Allah, kemudian kalian tidak akan diberi pertolongan.” (QS Hud:113).

Karena itulah, kita dapati di antara para ulama tersebut yang mengoreksi penguasa dan mengingkari perbuatan jahat, perilaku buruk, dan dusta mereka. Kita juga temukan di antara para ulama tersebut yang menasehati para penguasa, menolak hadiah, dan bersabar terhadap cobaan mereka.

Di antara mereka pula ada yang menghadapi konfrontasi secara terang-terangan tanpa ada keraguan, kekhawatiran, dan basa-basi sedikitpun. Untuk Allah, mereka tidak takut terhadap celaan siapapun. Berikut beberapa contohnya:

Imam Bukhari meriwayatkan hadis dari jalur Abu Sa’id Al-Khudri, ia berkata, “Aku pergi dengan Marwan, gubernur Madinah, pada hari Iduladha atau Idulfitri. Saat kami berjalan menuju masjid, terlihat di sana sebuah mimbar yang dibangun oleh Katsir bin As-Shalt. Marwan ingin menaiki mimbar tersebut (untuk berkhutbah ed.) sebelum dilaksanakannya salat, aku pun menarik bajunya dan ia menariknya kembali. Kemudian Marwan menaiki mimbar dan berkhotbah. Lalu aku berkata kepadanya, ‘Demi Allah, kamu telah mengubahnya.’ Ia menjawab, ‘Wahai Abu Sa’id, telah dihapuskan apa yang kamu ketahui.’ Aku berkata, ‘Demi Allah, apa yang aku ketahui lebih baik dari apa yang tidak aku ketahui.’ Marwan berkata, ‘Sesungguhnya orang-orang tidak duduk untuk menyimak khotbah setelah salat, maka aku jadikan ia sebelum dilaksanakannya salat.’” Lafaz dalam riwayat Imam Syafi’i, “Wahai Abu Sa’id, apa yang kamu ketahui telah ditinggalkan.”

Ketika Khalifah Harun Ar-Rasyid pergi ke Madinah untuk mengunjungi makam Rasulullah saw., dan Masjid Nabawi, dia melihat Imam Malik sedang mengajar, kemudian berkata, “Wahai Malik, bagaimana menurutmu apabila kamu datang dan mengajar di rumah kami?” Imam Malik berkata, “Wahai Harun, sungguh ilmu itu tidak datang, melainkan didatangi.” Harun berkata, “Kamu benar wahai Imam Dar al-Hijrah. Aku akan mendatangimu ke Masjid.” Lalu Imam Malik berkata kepadanya, “Wahai Harun, jika engkau datang terlambat maka aku tidak akan mengizinkanmu untuk melewati majlis (demi duduk di depan, ed.).” Harun Ar-Rasyid berkata, “Aku dengar dan aku patuh.”

Ketika Imam Malik mengajar setelah salat Ashar, Harun Ar-Rasyid memasuki masjid dan seorang laki-laki masuk bersamanya lalu menempatkan kursi untuknya. Imam Malik melihat Harun duduk di kursi di dalam masjid, kemudian ia pun mengganti materi yang diajarkannya dan berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Siapa yang tawadhu’ karena Allah, maka Allah akan mengangkat (derajat)nya. Dan siapa yang sombong, maka Allah akan merendahkannya.” Harun Ar-Rasyid mengerti makna hadits tersebut, dan memerintahkan agar kursi tersebut disingkirkan, lalu dia duduk di tanah sebagaimana murid yang lain duduk.

Setelah itu Harun mendatangi Imam Malik (sebelum ia safar) dan memberinya hadiah. Harun berkata, “Wahai Malik, ambillah hadiah ini! Ia seharga empat ratus dinar.” Imam Malik berkata kepada Harun, “Maaf wahai Amirul Mukminin, aku tidak layak menerima sedekah, dan aku tidak menerima hadiah.” Harun berkata kepadanya, “Mengapa kamu tidak menerima hadiah, padahal Nabi saw. menerima hadiah?” Malik berkata kepadanya, “Aku bukanlah seorang Nabi.” Kemudian Harun berkata kepadanya, “Ambil uang ini dan berserah dirilah kepada Allah.” Setelah itu, Harun Ar-Rasyid mengundang Imam Malik untuk mengunjungi Baghdad, ibu kota Kekhalifahan Abbasiyah saat itu. Imam Malik menolak, dan berkata, “Demi Allah, saya tidak rida ada orang lain di sisi (kuburan) Rasulullah.”

Di pasukan Ibnu Al-Asy’ats, terdapat banyak para ulama, fuqaha, dan penghafal Alquran yang keluar untuk jihad dan menolong agama Allah Swt.. Di antaranya adalah Said bin Jubair, Thalhah bin Habib, Mujahid bin Jabr, Asy-Sya’bi, Ibnu Abi Laila, serta para ulama dan masyayikh lain di masanya, terutama yang berasal dari Irak. Para ulama dan qurra’  tersebut menyatakan dukungan mereka kepada Ibnu Al-Asy’ats untuk melawan Hajjaj sang diktator yang kejahatannya kepada kaum muslimin telah melewati batas. Dukungan maknawi dari para ulama ini memberikan pengaruh besar pada revolusi Ibnu Al-Asy’ats. Karenanya, kaum muslimin dari berbagai penjuru bergabung dengan pasukan Ibnu al-Asy’ats, ditambah Hajjaj yang memang dibenci oleh seluruh rakyatnya.

Syeikh Izzuddin bin Abdissalam—yang bergelar “Sulthan al-ulama” (pemimpin para ulama)— memiliki sikap yang luar bisa (yang tampak padanya sifat jujur dan cahaya petunjuk). Suatu ketika beliau keluar dari Baitul Maqdis menuju Mesir, ia didatangi oleh Sultan Najmuddin Ayyubi. Sultan menjamunya dengan baik, serta memberinya kedudukan dan tanggung jawab yang penting dalam ranah politik.

Sultan Najmuddin merupakan seorang yang luhur dan mulia, hanya saja di sisi lain ia merupakan seorang diktator yang kejam dan haus akan penghormatan. Tidak ada seorang pun yang bisa berbicara di hadapannya. Dia tidak memberikan keringanan pada siapapun, dan hanya menjawab hal yang ditanyakan.

Syekh Izzuddin bin Abdissalam pernah datang menemui Sultan Najmuddin Ayyub pada hari raya di istana. Dia melihat tentara dan dewan kerajaan berbaris di samping Sultan dan membungkuk padanya. Kemudian Syekh Izzuddin berdiri seraya menegur Sultan dengan keras dan ia mengingkari perbuatan rakyat sang Sultan tersebut.

Dia berkata, “Wahai Sultan, bagaimana bisa kamu mengizinkan jual-beli khamr di dalam negeri?” Syekh Izzuddin saat itu menyebut berbagai kebatilan yang terjadi dengan keras dan tegas. Sultan pun berkata, “Inilah yang saya dan dulu ayah saya lakukan.” Syekh berkata pada Sultan, “Anda adalah salah satu dari mereka yang Allah katakan di dalamnya, ‘Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu (agama) dan sesungguhnya kami sekedar pengikut jejak-jejak mereka.’” (QS Az-Zukhruf:23)

Kemudian Sultan berdiri seraya memberi perintah untuk menghapus semua kebatilan yang telah disebut oleh Syekh Izzuddin. Ia menyuruh untuk menutup bar-bar, untuk tidak membungkuk di hadapannya, serta untuk menghilangkan segala bentuk kemungkaran.

Al-Baji berkata, “Ketika beritanya telah tersebar, aku bertanya kepada guruku mengenai perbuatan sultan, ‘Wahai Tuan Guru, bagaimana kondisinya?’ Guruku berkata, ‘Wahai Anakku, aku melihatnya dalam keagungan, maka aku ingin menghinakannya agar ia tidak sombong dan mencelakakan dirinya.’ Al-Baji berkata, ‘Wahai Guruku, tidakkah engkau takut?’ Ia berkata, ‘Demi Allah, wahai Anakku, aku melihat kemuliaan Allah, maka Sultan di hadapanku hanya bagaikan seekor kucing.’”

Bersambung.

Diterjemahkan dari Majalah Al-Waie edisi 426-428, tahun ke-36, Rajab-Ramadan 1443 H/Februari-April 2022 M

Visits: 19

Tags

Bagikan tulisan ini

Tulisan menarik lainnya...

One Response

  1. Masya allah ,.semoga kita bisa menjadi ulama rabbani yg tidak hamya berilmu, ttp juga memgamalkan ilmu utk meriayah Ummat ini.. berani mengoreksi penguasa dg apa adanya..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Category

Gabung Channel Telegram