Search
Close this search box.

UU Perlindungan Anak: UU yang Menyesatkan, Merusak, dan Beracun

Oleh: Ustazah Rula Ibrahim

Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan anak-anak kita sebagai amanah di pundak kita, serta memerintahkan kita untuk mendidik dan mengajari mereka. Allah Swt. berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar dan keras. Mereka tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepadanya, dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS At-Tahrim:6).

Imam Al-Qurthubi mengatakan dalam tafsirnya, “Ketika Ali bin Abi Thalib ra. ditanya tentang ayat ini, beliau mengatakan, ‘Didiklah mereka dan ajari mereka.’” Imam Qatadah mengatakan, “Engkau perintahkan mereka untuk taat kepada Allah dan engkau cegah mereka dari perbuatan durhaka terhadap-­Nya. Tegakkanlah perintah Allah pada mereka, serta perintahkan dan bantulah mereka dalam mengerjakannya. Apabila engkau melihat pada mereka terdapat suatu perbuatan maksiat terhadap Allah, maka engkau harus cegah mereka darinya dan engkau larang mereka melakukannya.”

Perkataan-perkataan semacam ini dikatakan ketika Khilafah masih berdiri; ketika sistem pendidikannya islami, kebijakan pendidikannya islami, hukum pendidikannya islami, sistem sanksinya islami, dan lingkungan di mana anak dibesarkan adalah lingkungan yang islami. Oleh karena itu, peran ayah dan ibu bersifat langsung, penting, dan tidak dapat diabaikan, karena mereka adalah pengasuh dan pengaruh pertama bagi anak-anak mereka.

Sebagaimana yang dikatakan penyair, “Generasi muda kita tumbuh besar sesuai dengan perilaku yang dibiasakan oleh orang tuanya.” Akan tetapi, ini sama sekali tidak berarti bahwa kita meremehkan peran sistem dan undang-undang yang menetapkan kebijakan pendidikan dan mengatur penjagaan anak di sekolah dan masyarakat.

Karena, sebesar apa pun upaya yang dilakukan orang tua dalam mendidik dan mengasuh anak mereka, jika tidak ada sistem, undang-undang, dan kebijakan pendidikan yang sejalan dengan pemikiran dan perasaan mereka, maka usaha mereka akan sia-sia. Hal itu terjadi karena wewenang sistem dan undang-undang lebih kuat dari wewenang kepala keluarga dan pengaruh masyarakat lebih besar daripada pengaruh unsur terkecil pembentuk masyarakat, yaitu keluarga.

Sejak runtuhnya Khilafah hingga saat ini, konflik antara keluarga dan masyarakat semakin meningkat. Bahkan sampai saat ini, keluarga belum mencatat satu pun kemenangan melawan masyarakat, alih-alih semua indikator nilai justru menunjukkan terus meningkatnya kehancuran bagi seluruh keluarga. Hal itu terjadi karena masyarakat berjalan dengan kekuatan undang-undang, bukan berdasarkan kehendak keluarga. Hingga tiba di situasi saat ini, saat di mana mulai diberlakukannya undang-undang yang menyalahi naluri manusia, yang bertentangan dengan konsep keluarga muslim, dan menghapus nilai moral dan ekspresi keagamaan yang tersisa secara paksa.

Sebagaimana yang terjadi di Yordania dan wilayah Otoritas Palestina baru-baru ini, yakni penerapan Undang-undang Perlindungan Anak yang pada hakikatnya adalah undang-undang sabotase anak dan suntikan racun pemikiran dan tsaqafah Barat yang bebas dan tidak masuk akal, baik secara moral atau kekeluargaan.

Oleh karena itu, siapa pun yang ingin mengurai perkara ini, maka hendaklah merujuk pada ketentuan undang-undang yang beracun tersebut. Bagaimana anggota parlemen yang menyetujuinya telah kehilangan akal sehatnya. Mereka menandatangani perampasan anak-anak kita dan anak-anak mereka sendiri.

Karena undang-undang tersebut merupakan pengantar untuk menarik anak-anak dari ayah, ibu, dan saudara-saudara mereka dengan kekuatan hukum; juga sebagai pengantar untuk menyerahkan anak-anak kepada keluarga pengganti yang tidak percaya pada agama ataupun moral. Benar bahwa mereka menandatanganinya dengan suara terbanyak untuk menetapkan undang-undang tersebut. Maka cukuplah Allah sebaik-baik penolong bagi kita.

Sesungguhnya tanggapan yang tepat terhadap undang-undang ini dan semisalnya adalah dengan berjuang bersama orang-orang yang memperjuangkan kemuliaan kaum muslimin dengan menegakkan Khilafah Rasyidah kedua yang sesuai metode kenabian. Karena Khilafah adalah maslahat yang sangat penting bagi kaum muslimin, peraturan yang diberlakukan merupakan institusi pelaksana yang memelihara hubungan yang lahir dari penyatuan pemikiran, perasaan, dan peraturan antarmanusia berdasarkan maslahat ideologi.

Yakni, ideologi yang mengembalikan air ke alirannya dan menempatkan segala urusan di tempatnya; yang dapat menghentikan sandiwara penetapan hukum yang menghancurkan anak-anak, keluarga, dan masyarakat secara keseluruhan; serta yang mampu menghentikan badai pemahaman Barat dan menghadapi ombak yang dahsyat ini.

Maka, sampai saat itulah ayah dan ibu dituntut untuk berusaha dengan segala cara agar mengkritik undang-undang beracun ini, dan menanamkan semangat perjuangan menegakkan Khilafah dalam diri anak-anak mereka sampai tumbuh ide revolusi yang mengakar. Sebagaimana yang dilakukan oleh ibunda Muhammad Al-Fatih, ibunda Salahuddin, dan para ibunda pejuang di masa mereka.

Diriwayatkan bahwa suatu ketika ibu Salahuddin Al-Ayyubi melihat putranya yang berusia lima tahun sedang bermain di sebuah distrik dengan anak-anak perempuan (berperan seolah-olah pengantin pria dan wanita). Maka seketika wajah sang ibu memerah karena marah, lalu ia pun menyeretnya dan memukulnya sambil berkata, “Wahai anakku, sungguh bukan untuk ini aku melahirkanmu! Ketahuilah, bahwa aku melahirkanmu agar kamu bermain dengan dua benda ini—yaitu pedang dan kuda—, agar kamu dapat membebaskan Masjidilaqsa. Demi Allah, sungguh aku akan mengadukanmu kepada ayahmu ketika dia kembali.”

Maka ketika ayahnya tiba, sang ayah hanya menyeretnya dan mengangkatnya, lalu ia berkata, “Sungguh aku dan ibumu telah berjanji untuk melahirkan seseorang yang akan membebaskan Baitulmaqdis, itulah sebabnya kami melahirkanmu.” Kemudian sang ayah melepaskannya dari genggaman (hingga ia terjatuh). Maka, Salahuddin pun mengibaskan pakaiannya. Kemudian ayahnya bertanya, “Apakah kamu merasa sakit karena jatuh?” Dia berkata, “Ya, sangat sakit.” Ayahnya pun bertanya kepadanya, “Mengapa kamu tidak menangis?” Dia menjawab, “Tak pantas bagi seorang pembebas Baitulmaqdis menangis.” Maka, ketika Salahuddin tumbuh dewasa, dia bertempur dalam 15 pertempuran. Pertempuran paling penting adalah Pertempuran Hittin dan Pembebasan Yerusalem.

Begitu pun dengan ibunda Muhammad Al-Fatih, beliau senantiasa berkata kepada anaknya, “Wahai Muhammad, ini adalah kota Konstantinopel yang telah dijanjikan Rasulullah untuk dibebaskan oleh kaum muslimin. Semoga Allah yang Maha Tinggi dan Maha Mampu menjadikan pembebasan ini di tanganmu.” Kemudian Al-Fatih kecil bertanya, “Bagaimana mungkin aku membebaskan kota yang besar ini, Ibu?” Maka sang ibu pun menjawab, “Dengan Al-Qur’an, kekuasaan, senjata, dan kecintaan terhadap manusia, Anakku.”

Ya Allah, kami memohon kepada-Mu untuk membimbing putra-putri kami kepada apa yang Engkau cintai dan ridai, bantulah kami untuk mendidik mereka dalam ketaatan kepada-Mu dan beribadah kepada-Mu dengan sebaik-baiknya, hapuskanlah kezaliman para penguasa beserta hukum beracunnya dari kami, anugerahkanlah kepada kami seorang imam yang adil yang akan menggantikan mereka, sehingga kami bisa membaiatnya untuk mendengar dan taat terhadap hukum yang berasal dari Kitab-Mu dan sunah Nabi-Mu, sehingga lahirlah di antara kami generasi seperti generasi sebelumnya, yang mampu mengembalikan kejayaan kami dan mampu membangun kembali kemuliaan Islam dan kaum muslimin. Sungguh, yang demikian itu tidaklah sulit bagi Allah.

Diterjemahkan dari Surat Kabar Al-Rayah edisi 416, terbit pada Rabu, 15 Rabiulakhir 1444 H/11 November 2022 M

Klik di sini untuk mengakses sumber

Visits: 10

Tags

Bagikan tulisan ini

Tulisan menarik lainnya...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Category

Gabung Channel Telegram