Setelah beberapa jam ditutupnya pemungutan suara pemilu Presiden Amerika Serikat yang berlangsung pada Selasa (06-11-2024), Donald Trump mengumumkan kemenangannya atas kandidat Partai Demokrat, Kamala Harris. Dalam pidato yang ia sampaikan di markas kampanye Florida, Trump berkata, “Kami membuat sejarah hari ini dan meraih kemenangan politik.” Lalu ia menambahkan, “Orang-orang mengatakan kepadanya bahwa Tuhan menyelamatkan hidup saya karena suatu alasan, dan alasan itu adalah untuk menyelamatkan negara kita dan mengembalikan Amerika kepada kejayaan, dan sekarang kita akan melakukan misi ini bersama.”
Sebelum pengumuman hasil akhir resmi pemilu, para pemimpin dunia berlomba-lomba memberikan ucapan selamat kepadanya, di antaranya kanselir Jerman, Olaf Scholz, dan Presiden Prancis, Emmanuel Macron. Setelah memberikan ucapan selamat, Macron menghubungi Scholz, dan mereka sepakat atas perlunya bekerja sama demi menciptakan “Eropa yang lebih bersatu, kuat, dan berdaulat”. Kesepakatan ini menunjukkan rasa kekhawatiran dan ketakutan para pemimpin Eropa terhadap kembalinya Trump ke kursi kekuasaan.
Presiden Rusia, Vladimir Putin, dengan cepat mengucapkan selamat kepada Trump dengan mengatakan, “Saya mengucapkan selamat kepada Trump atas terpilihnya sebagai Presiden Amerika Serikat, dan saya siap menjalin komunikasi dengannya. Kami menyambut baik janji Trump dalam kampanyenya untuk memperbaiki hubungan dengan Rusia dan menyelesaikan konflik di Ukraina.”¹
Adapun para pemimpin kaum muslim, Erdogan telah menyampaikan kepada wartawan dalam perjalanannya kembali ke Turki dari Budapest pada Jumat (08-11-2024), “Trump berjanji akan mengakhiri konflik. Kami ingin ia menepati janji ini dan meminta (Israel) untuk berhenti.”² Para pemimpin Mesir, Arab Saudi, dan negara Teluk bersepakat untuk memberikan selamat. Mereka semua berharap agar Trump bisa menghilangkan rasa malu pada diri mereka, dan mengakhiri pembantaian Yahudi terhadap Palestina dan Lebanon.
Trump kembali berkuasa tanpa inovasi atau diplomasi apapun yang dapat menutupi kejahatannya, bahkan slogan yang ia lontarkan saat kampanye pertamanya tahun 2016 yang kemudian diulangi kembali pada tahun 2024, “Kami akan menjadikan Amerika hebat kembali” adalah ungkapan yang pertama kali diucapkan oleh mantan Presiden AS, Ronald Reagan pada tahun 1980, kemudian diadopsi oleh Bill Clinton pada tahun 1992 selama kampanye.
Bagi umat Islam ungkapan “Amerika hebat” berarti kekalahan yang berkelanjutan dihadapan kaum kafir Barat yang dipimpin oleh Amerika, baik itu kekalahan secara politis—dengan membiarkan para penguasa antek ruwaibidoh tetap berada di singgasana mereka—, atau kekalahan secara intelektual—dengan membiarkan kita tetap berada dalam perbudakan negara-negara kafir Barat—, ataupun kekalahan secara ekonomi—dengan membiarkan kekayaan kita tetap dirampas oleh Amerika.
Kita tidak akan pernah lupa bagaimana Trump mengumpulkan para penguasa dan perwakilan lebih dari 50 negara muslim, pada siang hari Ahad (21-05-2017), mereka menyatakan bentuk kesetiaan dan kepatuhan terhadap Amerika, dengan memotong sekitar 500 miliar dolar dari hasil mata pencaharian orang-orang miskin dan lemah. Itu semua mereka bayar sebagai bentuk perdamaian dengan Amerika.
Peperangan yang berkecamuk di dunia—yang menurut Trump akan ia hentikan ketika ia mencapai Gedung Putih, terutama perang yang berkobar-kobar di negara-negara Muslim—pada hakikatnya Amerikalah yang memicu dan mengobarkan api untuk mencapai tujuan-tujuannya. Perang Gaza yang dilancarkan oleh entitas Yahudi mendapat dukungan tak terbatas dari Amerika, karena sejak Oktober 2023, Amerika telah memberikan bantuan militer pada entitas Yahudi senilai 18 miliar dolar.
Adapun perang yang dilancarkannya di Sudan dan Suriah adalah untuk mengkonsolidasikan dan menguatkan pengaruhnya, sedangkan di Yaman, mereka harus merebutnya dari pengaruh Inggris sebagai penjajah lama, dan Amerika tidak akan menghentikan peperangan ini sampai tujuannya tercapai. Dalam peristiwa yang terjadi Gaza, Trump tidak ingin Netanyahu menghentikan perang, namun dia ingin segera menyelesaikan pembantaiannya terhadap umat Islam.
Rasulullah SAW bersabda, “Seorang mukmin tidak akan disengat dua kali dari lubang yang sama.” sedangkan Trump ini ma’lum (diketahui) dan bukan majhul (tidak diketahui). Dia adalah orang yang sama dengan masa jabatan pertamanya, ia menyengat umat Islam dan melakukan penipuan yang buruk kepada mereka, agar dapat mendirikan landasan pangkalan militer Barat di negeri-negeri kaum muslimin—yaitu entitas Yahudi alias Israel yang menjadi salah satu pangkalan militernya Amerika di timteng. Hal ini didasari oleh sebagai berikut:
Pada tahun 2017, ia mengakui Yerusalem sebagai ibu kota entitas bajingan tersebut, kemudian pada Senin (14-05-2018), ia memindahkan kedutaan negaranya ke sana.
Pada Ahad (25-03-2018), ia menandatangani deklarasi presiden yang menyatakan bahwa Golan yang telah dikuasai adalah bagian dari wilayah entitas Yahudi.
Trump memaparkan “Perjanjian Abad ini” yang merupakan strateginya untuk menghapus isu Palestina, sambil menstimulasi entitas Yahudi dengan mengintegrasikannya ke dalam kawasan Timur Tengah, melalui pengerahan para penguasa antek untuk menormalisasi hubungan dengannya (Israel), dan menempatkan pengkhianatan para penguasa boneka (penguasa timteng) tersebut dalam format keagamaan dengan nama “Perjanjian Abraham” sebagai kelanjutan dari aksi pemalsuan dan penyesatan.
Pada Jumat (31-08-2018), pemerintahan Amerika memotong dana untuk Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA). Pendanaan Amerika untuk Badan PBB adalah sepertiga dari anggaran tahunannya, mencapai 1,24 miliar dolar yang berdampak secara radikal pada kehidupan jutaan pengungsi Palestina.
Trump mengungkapkan pandangannya terhadap Islam dalam pidato pelantikannya sebagai presiden ke-45 Amerika Serikat pada Jumat (20-10-2017), “Kita akan satukan seluruh dunia modern untuk melawan dan mencerabut keberadaan terorisme Islam ekstremis dari muka bumi.” Berdasarkan klasifikasi yang dibuat oleh RAND Corporation, mereka menyampaikan bahwasanya muslim yang ekstremis, radikalis, dan teroris adalah muslim yang menunjukkan permusuhan terhadap demokrasi dan Barat, mereka berpegang teguh terhadap jihad dan kedetailan penafsiran Al-Qur’an. Ini berarti Trump sedang berusaha untuk memobilisasi negara-negara di dunia untuk mengeliminasi Islam dari muka bumi. Maka, apakah pantas seorang muslim berharap kebaikan dari Trump?
Umat Islam saat ini hidup dalam kondisi yang tidak wajar. Hal ini diwakili oleh kondisi ketergantungan penuh mereka terhadap kafir Barat yang dipimpin oleh Amerika—yang telah menjadikan semua krisis kita bersifat hawa nafsu Barat. Sejak melakukan penyemaian, penyiraman, perawatan, pemeliharaan, hingga panen, Barat telah menuai hasil.
Oleh karena itu, masyarakat tidak melihat bahwa dalam kehidupan mereka dan penanganan permasalahan mereka adalah pengaruh dari sebuah negara nasional, institusi etnis atau regional, meskipun didirikan oleh orang-orang kafir Barat itu sendiri. Inilah yang membuat para penguasa menunggu instruksi dari kedutaan besar Barat, kemudian rakyat bergantung pada kunjungan bolak-balik para menteri luar negeri atau delegasi Barat, pun pergantian para penguasa di Amerika.
Hal ini menjelaskan bagaimana jajak pendapat yang dilakukan oleh saluran satelit Arab di berbagai negara muslim, dimana pendapat masyarakat didasarkan pada fakta bahwa Trump bisa mencapai sesuatu. Dengan demikian umat Islam mengabaikan kebenaran mutlak bahwa orang kafir adalah musuh. “Sesungguhnya orang-orang kafir adalah musuh yang nyata.” (An-Nisa:101)
Bahkan mereka mengabaikan fakta-fakta sejarah yang menjadi saksi atas kriminalitas dan kebencian Trump yang menghinakan umat Islam, dan mereka menutup telinga terhadap apa yang ia katakan tentang mereka dalam kampanyenya, dengan tujuan agar Amerika menjadi hebat dan entitas Yahudi menjadi besar.
Dalam slogan kampanyenya, Trump mengakui bahwa Amerika Serikat telah kehilangan kejayaannya dan ia bertekad untuk mengembalikannya. Namun Trump seharusnya menyadari bahwa sepanjang sejarah peradaban manusia, tidak ada satu pun kerajaan atau negara besar yang mampu kembali ke puncak kejayaannya—setelah kehilangan kehebatannya—kecuali negara-negara yang dibangun berdasarkan prinsip yang benar. Pemahaman terhadap prinsip ini harus terus diperbarui dalam benak manusia. Proses ini hanya bisa tercapai jika didasarkan pada prinsip besar Islam yang terus diperbarui dalam benak kaum muslimin—yaitu mereka yang berjuang tanpa henti demi menerapkan dan mewujudkan prinsip-prinsip ini—dengan mendirikan kembali Khilafah Rasyidah kedua sesuai dengan metode kenabian. Khilafah ini akan mencabut pengaruh kolonialisme dari negeri-negeri muslim, menghancurkan sisa-sisa dominasi Romawi modern, menegakkan keadilan, dan membebaskan umat dari kegelapan kapitalisme menuju cahaya Islam. (KZ/NH)
Ditulis oleh: Abu Awab Hatim Ja’far, Anggota Dewan Hizbut Tahrir di Wilayah Sudan.
Diterjemahkan dari Surat Kabar Al-Rayah edisi 522, terbit pada Rabu, 18 Jumadilawal 1446 H/20 November 2024 M
Klik di sini untui mengakses sumber
¹ Al Jazeera Net
² Al Jazeera Net
Visits: 21