Search
Close this search box.

Rezim Aljazair dan Penghapusan Permasalahan Palestina

Oleh: Dr. Ibrahim Al-Tamimi, Anggota Kantor Media Hizbut Tahrir Palestina

Deklarasi Aljazair pada akhir KTT Arab menegaskan bahwa, “Pentingnya isu Palestina dan dukungan mutlak atas hak-hak rakyat Palestina yang tidak dapat dicabut, termasuk di antaranya hak kebebasan, hak menentukan nasib mereka sendiri, hak mewujudkan negara Palestina yang merdeka dengan kedaulatan secara penuh di atas Garis 4 Juni 1967 dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya, dan hak untuk kembali serta kompensasi bagi para pengungsi Palestina”.

Dalam deklarasi tersebut juga menegaskan untuk “Mematuhi Inisiatif Perdamaian Arab 2002 beserta semua elemen dan prioritasnya, komitmen atas perdamaian yang adil dan komprehensif sebagai pilihan strategis untuk mengakhiri pendudukan Israel di tanah Arab, dukungan untuk otoritas Palestina agar mendapatkan keanggotaan penuh di PBB, serta dukungan untuk upaya dan usaha hukum Palestina yang bertujuan untuk meminta pertanggungjawaban penjajah Israel atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang telah dan masih dilakukan terhadap rakyat Palestina”.

Bukan lagi menjadi hal sulit untuk memprediksi keputusan KTT Arab, terutama yang berkaitan dengan permasalahan Palestina, karena keputusan tersebut merupakan rekomendasi berulang di setiap KTT dan keputusan dalam setiap pernyataan akhir. Fokus dari rekomendasi tersebut adalah solusi dua negara dan segala sesuatu yang terkait dengannya, atau yang menekankan penerimaan terhadap entitas Yahudi, yang merupakan proyek Amerika.

Pengulangan rekomendasi—serta ketidakmampuan dan kegagalan untuk menerapkan keputusan keji—tersebut tidak mengurangi bahaya dan kejahatan rezim Arab, dalam melanjutkan tugasnya untuk menghapuskan masalah dan mengakhiri konflik sesuai dengan proyek Amerika, serta mencitrakannya sebagai upaya besar untuk menyelesaikan masalah.

Hal itu seperti yang dilakukan rezim Aljazair dan presidennya, Abdelmadjid Tebboune, yang mengumpulkan faksi-faksi sebelum KTT dan mengawasi penandatanganan dokumen “Deklarasi Aljazair” untuk rekonsiliasi pada akhir Konferensi “Bersatu untuk Mencapai Persatuan Nasional Palestina”. Ia berupaya menggelitik rasa opini publik Aljazair, serta upaya untuk menampakkan kepeduliannya terhadap rakyat, persatuan, dan permasalahan Palestina. Inilah yang ingin ia tegaskan di KTT Arab melalui pernyataannya, “KTT Aljazair adalah KTT Palestina.”

Sebelum berbicara tentang KTT saat ini, perlu sedikit mundur untuk menentukan Palestina yang dibicarakan Tebboune, apakah Palestina pada KTT Aljazair pertama pada 28 November 1973, yang menyebabkan Organisasi Pembebasan Palestina (Palestinian Liberation Organization/PLO) meninggalkan dua pertiganya—yang pada KTT tersebut PLO dianggap sebagai satu-satunya representatif sah rakyat Palestina—?

Ataukah Palestina yang dideklarasikan di atas kertas pada tahun 1988 dari Aljazair, dengan imbalan mengakui legitimasi entitas Yahudi, sehingga entitas Yahudi menjadi legal secara hukum kemudian mengambil sebagian besar potongan kertas—yang diumumkan negara sebagai bagian kesepakatan—yang berubah menjadi kanker lalu menelan seluruh negeri?

Ataukah Palestina (yang dijadikan alat untuk mempermainkan perasaan, ed.) dan perdagangan murah untuk menipu rakyat dan melalaikan mereka, serta meraih keuntungan politik dari isu besar yang berkaitan dengan Islam, darah dan pengorbanan kaum muslimin, serta tempat Isranya Nabi mereka saw.?

Kita kembali ke pembahasan KTT saat ini: Rezim Aljazair dengan bantuan faksi-faksi oposisi Palestina, khususnya Fatah dan Hamas, telah berhasil menggunakan alasan tersebut guna menyukseskan KTT meskipun secara parsial.

Rezim sangat tertarik dengan keberhasilan tersebut untuk mencapai berbagai tujuan politik keji, terutama untuk menguatkan rezim yang menunggangi gerakan revolusi rakyat Aljazair dan memperlihatkan perannya di kawasan—terkhusus dalam kekuatan serta kemampuan militer yang dimilikinya—, serta untuk meningkatkan popularitas Presiden Tebboune.

Telah jelas minat rezim untuk menyukseskan KTT, dengan mempersiapkannya dan menerima para peserta. Hal tersebut dapat dilihat dengan adanya keinginan kuat dari presiden Aljazair untuk menyambut para peserta secara pribadi di bandara, dengan sambutan istimewa dan berusaha semaksimal mungkin untuk mendatangi semuanya.

Dengan begini, berakhirlah babak pertama dari adegan yang menggunakan permasalahan Palestina, dan perdagangan murah dengan menggunakan isu Palestina untuk keberhasilan KTT.

Jika bukan karena penggunaan isu Palestina—dengan mempublikasikannya di media dan fokus padanya di hadapan opini publik—, KTT tidak akan nampak dalam naungan banyak raja dan presiden seperti Yordania, Saudi, Uni Emirat, Bahrain, Oman, Lebanon, dan Maroko. Kehadiran sebagian negara tanpa presiden terpilih—meski dengan pemilihan curang sekalipun—seperti Yaman, Libia, dan Sudan dalam adegan tersebut menunjukkan betapa lambannya rezim di dunia Arab, serta terfragmentasinya pandangan terhadap berbagai dokumen, permasalahan, dan kegagalan dalam menyepakati solusinya, mengingat para tuannya (Barat) juga berbeda pandangan dalam hal-hal tersebut.

Oleh karena itu, babak kedua adalah menggunakan KTT untuk menghapus masalah Palestina sesuai dengan solusi dua negara, dan bekerja untuk “menyelamatkannya” dan menekannya, jelas sebagaimana rekomendasi yang kami sebutkan di awal artikel.

Meski rezim ini menjadi pesimis akan keberhasilan rancangan tersebut—terutama setelah kembalinya Netanyahu ke tampuk kekuasaan juga jajaran pemerintahan sayap kanannya yang matanya senantiasa berhasrat mencaplok Tepi Barat, dan mengeluarkan sertifikat kematian untuk proyek dua negara secara resmi—setelah diterapkan secara praktis di lapangan, tidak tersisa sejengkal tanah pun untuk Palestina mendirikan sebuah negara independen. Karena selama Tuan Amerika berkukuh dengan proyek tersebut, maka para antek pun akan tetap bertahan dengannya—meski bersifat teoretis—, sampai sang tuan (Amerika) mengevaluasi masalah dan proyeknya.

Di antara dua babak tersebut, tersembunyi kejahatan yang sangat besar, yaitu pengalihan pandangan umat dari solusi hakiki berupa penggerakkan tentara untuk membebaskan Palestina; bersikeras memisahkan umat dari masalahnya (yang hakiki), dengan mengekalkan PLO yang menjadi organisasi satu-satunya yang sah bagi pemuda Palestina dan isu tersebut; serta penyeretan faksi-faksi oposisi ke dalam kotak pengabaian dan konsesi.

Hal itu tampak pada surat Kepala Biro Politik Gerakan Hamas, Ismail Haniyah pada KTT tersebut, di mana ia meminta peserta untuk “Mendukung juga menopang rakyat dan perlawanan mereka untuk mendapatkan kembali hak-hak mereka, dan mendirikan negara merdeka dengan Yerusalem sebagai ibu kotanya”.

Seruan tersebut berisi tentang posisi rezim Arab yang jelas dan eksplisit terkait negara Palestina berdasarkan Garis Batas tahun 1967—jauh dari kata-kata manipulatif untuk menipu orang-orang yang naif—, dan mendistorsi kompas (menyesatkan umat dari kebenaran) bahwa sesungguhnya rezim-rezim tersebut adalah penyebab dari tetap eksisnya entitas Yahudi.

Rezim mengatakan bahwa solusinya adalah menghapus masalahnya (masalah terkait eksistensi entitas Yahudi agar menjalani hidup berdampingan dengannya, ed.), padahal solusi yang hakiki adalah menggulingkan mereka (para rezim), dan menggerakkan tentara kaum muslimin untuk membebaskan Palestina seperti yang terjadi sebelumnya di Hittin dan Ain Jalut.

Rezim-rezim dan KTT ini masih merupakan kutukan bagi masalah Palestina. Posisi resmi Arab ini adalah bagian dari bencana, bukan sebuah solusi. Keterlibatan di dalamnya adalah keterlibatan terhadap solusi dua negara yang bertujuan untuk menghapus masalah ini. Sedangkan kegelagapan yang terjadi di belakangnya memiliki konsekuensi mengerikan yang tidak akan berakhir dengan penerimaan solusi dua negara serta rekonsiliasi dengan rezim Assad—yang berdarah dan kriminal—, yang menghadiri KTT dengan sepengetahuannya sebagai persiapan untuk menyambut kehadiran rezim dan pemimpin di KTT yang akan datang.

Tentu saja semua ini dilaksanakan dengan mengorbankan hukum syara’ dan masalah Palestina yang hanya bisa diselesaikan dengan kesadaran politik. Kesadaran yang akan menggulingkan rezim pengkhianat dan boneka, kemudian menggantinya dengan kepemimpinan yang sadar dan ikhlas dalam mempersiapkan tentara, serta bergerak untuk membebaskan Tanah yang Diberkati seperti yang dikhotbahkan oleh Nabi tercinta saw..

Diterjemahkan dari Surat Kabar Al-Rayah edisi 416, terbit pada Rabu, 15 Rabiulakhir 1444 H/09 November 2022 M

Klik di sini untuk mengakses sumber

Visits: 2

Tags

Bagikan tulisan ini

Tulisan menarik lainnya...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Category

Gabung Channel Telegram