Search
Close this search box.

Perjanjian Politik adalah Bentuk Pengkhianatan Sudan

Faksi militer bersama sebagian pasukan sipil bayaran—yang dipimpin oleh Forces Freedom and Change (FFC) di Sudan—menandatangani draf perjanjian “kerangka kerja politik”, yang dapat membuka jalan bagi pembentukan pemerintahan sipil selama masa transisi. Perjanjian “kerangka kerja politik” ini disaksikan oleh saksi-saksi palsu, yaitu tripartit (Volker bersama rekan-rekannya) dan kuartet (Amerika, Inggris, yang diikuti oleh Arab Saudi dan UEA, serta perwakilan Uni Eropa).

Adapun isi pembukaan draf perjanjian yang berjudul “Prinsip-Prinsip Umum” adalah sebagai berikut:

  1. Sudan adalah negara dengan keragaman budaya, etnis, agama, dan bahasa. Identitas Sudan didasarkan oleh komponen historis, kontemporer, skala geografis, dan warisan peradaban yang khas—yang sudah ada selama tujuh ribu tahun, sehingga membentuk keragaman peradaban dan menjadi sumber kekayaan di Sudan—.
  2. Sudan adalah negara sipil, demokrasi, federal, dan parlementer. Di mana kedaulatan dan sumber kekuasaan berada di tangan rakyat; dan diatur oleh hukum konstitusional, peralihan kekuasaan—yang ditentukan melalui pemilihan umum yang bebas dan adil—, serta pendistribusian kekayaan dan pendapatan secara adil.

Oleh karena itu, juru bicara resmi Hizbut Tahrir Sudan, Prof. Ibrahim Usman (Abu Khalil) mengeluarkan pernyataan pers. Ia berkata, “Kami Hizbut Tahrir Sudan bersama kaum muslimin Sudan berlepas diri dan menyerahkan urusan kemungkaran yang nyata ini kepada Allah Swt..” Kemudian Prof. Abu Khalil menekankan beberapa hal berikut:

Pertama: Lebih dari 98% penduduk Sudan adalah muslim. Mereka tidak memiliki tsaqafah selain tsaqafah Islam, yang dibentuk dari akidah Islam sebagai asasnya. Adapun pemuda-pemuda muslim di Sudan sekarang—yang menganut tsaqafah Barat—, mereka tidak merepresentasikan apa pun kecuali diri mereka sendiri dan para tuan mereka yang mengarahkan mereka untuk lalai terhadap keadaan umat.

Kedua: Adakah hubungan antara etnis dan bahasa dengan sistem kehidupan? Bukankah itu merupakan bentuk penyesatan dan pengelabuan pandangan untuk menjauhkan Islam beserta hukum-hukumnya; dan untuk memaksakan sistem kolonial kafir Barat yang tidak ada hubungannya dengan etnis dan bahasa Sudan?

Ketiga: Penyebutan bahwa Sudan adalah negara sipil dan demokrasi merupakan pernyataan terang-terangan terhadap sekularisme negara tersebut. Padahal Sudan adalah negeri Islam yang harus dibangun di atas landasan “tidak ada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah”, bukan berlandaskan “pemisahan agama dari kehidupan” yang memisahkan agama dari politik dan negara—yang merupakan landasan negara sipil demokrasi—.

Keempat: Pernyataan “negara federal” dalam naskah tersebut merupakan pelaksanaan terhadap rencana Yahudi Amerika, Bernard Lewis—sang pembunuh Timur Tengah—, yang memerintahkan untuk memisahkan negeri-negeri kaum muslimin berdasarkan etnis, regional, dan golongan. Adapun negara dalam Islam hanyalah satu, bukan federal. Nabi saw. bersabda, Siapa yang datang kepada kalian sementara kalian telah menyepakati seorang pemimpin, lalu ia hendak merusak kesepakatan kalian atau memecah persatuan kalian, maka bunuhlah dia.” (HR Muslim).

Kelima: Kedaulatan tertinggi dalam Daulah Islam itu terletak pada syara’, bukan terletak pada masyarakat seperti apa yang terdapat dalam perjanjian politik.

Allah Swt. berfirman, “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka suatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (TQS An-Nisa’:65).

Prof. Abu Khalil mengakhiri pernyataannya dengan menyeru kepada rakyat Sudan bahwa, “Kewajiban rakyat Sudan adalah menolak perjanjian ini, bukan dengan pertimbangan kebebasan, revolusi, dan militer; tetapi karena perjanjian itu bertentangan dengan Islam, baik dalam pokok maupun cabangnya. Juga karena ia bertentangan dengan aktivitas berjuang untuk menegakkan negara Islam, yaitu Khilafah Rasyidah yang sesuai dengan metode kenabian. Karena Khilafah adalah satu-satunya negara Islam yang diperintahkan oleh syariat. Dengan begitu, Allah akan rida kepada kita, sehingga kita dapat hidup dengan kemuliaan dan kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat kelak.”

Prof. Abu Khalil mengingatkan mereka tentang firman Allah Swt., “Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya. Dan sungguh, kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” (TQS Al-Anfal:24).

Catatan: Judul asli artikel ini adalah “Sudan dan Dokumen Pengkhianatannya”.

 

Diterjemahkan dari Surat Kabar Al-Rayah edisi 421, terbit pada Rabu, 20 Jumadilawal 1444 H/14 Desember 2022 M

Klik di sini untuk mengakses sumber 

 

Visits: 0

Tags

Bagikan tulisan ini

Tulisan menarik lainnya...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Category

Gabung Channel Telegram