Majalah The Atlantic milik Amerika Serikat mengabarkan bahwa Muhammad Bin Salman (Putra Mahkota Arab Saudi sekaligus penguasa de facto Arab Saudi) mengatakan kepada Anthony Blinken (Menteri Luar Negeri AS) dalam sebuah pertemuan pada bulan Januari 2024 di Arab Saudi, bahwa masalah Palestina tidak menjadi perhatiannya secara pribadi. Pernyataan berbahaya itu disampaikan Muhammad Bin Salman saat menjamu Blinken di sebuah tenda, tepatnya di kota Al-Ula, sebelah Utara Madinah Al-Munawaroh.
Pernyataan Muhammad Bin Salman ini—atau referensi apa pun tentang hal itu—tidak muncul dalam pernyataan resmi yang dikeluarkan oleh otoritas Saudi atau AS, namun juga tidak disangkal. Muhammad Bin Salman mengatakan dalam pertemuannya dengan Blinken, “Masalah Palestina tidak menjadi perhatian saya secara pribadi, 70% dari populasi rakyat saya lebih muda dari saya, sebagian besar dari mereka tidak mengetahui masalah Palestina, dan mereka baru pertama kalinya menyadari isu tersebut melalui konflik ini, ini adalah masalah besar.”
Surat kabar tersebut mengutip pernyataan Muhammad Bin Salman dalam pertemuan ini dengan bentuk kalimat yang lain bahwa ia mengatakan, “Apakah saya pribadi peduli dengan masalah Palestina? Jawabannya tidak. Tapi rakyat saya peduli, jadi saya perlu memastikan bahwa isu ini menjadi penting.”
Menurut laporan surat kabar tersebut, Muhammad Bin Salman menjelaskan kepada Blinken, “Masalah ini memang penting bagi rakyatnya, dan itulah sebabnya dia menuntut kemajuan dalam masalah ini sebagai syarat untuk perjanjian normalisasi (dengan Israel).”
Menurut laporan The Atlantic yang diterjemahkan dari sumber lain, Putra Mahkota, Muhammad Bin Salman, menyatakan bahwa secara pribadi dia tidak peduli dengan isu Palestina, namun rakyatnya yang peduli. Dia menjelaskan bahwa “70% dari rakyat saya lebih muda dari saya dan tidak terlalu mengenal isu Palestina dengan baik kecuali melalui konflik ini (Perang Gaza).”
Oleh karena itu, yang dibutuhkan Muhammad Bin Salman adalah komitmen dari Israel untuk mendukung pembentukan negara Palestina. The Atlantic juga menyatakan bahwa Muhammad Bin Salman menginginkan ketenangan dari Israel dan tidak keberatan jika (Israel) melancarkan serangan untuk memerangi terorisme, asalkan dilakukan dalam enam bulan hingga satu tahun, dan bukan pada akhir penandatanganan kesepakatan.
Muhammad Bin Salman mengakui dalam pernyataan-pernyataannya bahwa dia tidak peduli dengan masalah Palestina, dan pada saat yang sama ia juga mengakui bahwa rakyatnya adalah orang-orang yang peduli tentang hal itu dan bukan dia, sehingga dia berbeda dengan rakyatnya. Seolah-olah dia ingin mengatakan bahwa saya memahami apa yang tidak dipahami oleh rakyat saya, sehingga rakyat harus peduli dengan apa yang saya pedulikan dan harus meninggalkan kepedulian lama mereka yang tidak berguna.
Dia mengklaim bahwa para pemuda Saudi tidak tahu apa-apa tentang perjuangan Palestina kecuali berita tentang Perang Gaza. Dia ingin rakyatnya tidak peduli dengan perjuangan Palestina dengan membuat berita Palestina tidak terdengar oleh rakyat, dan agar mereka hanya tertarik pada urusan lokal yang berkaitan dengan nyanyian, tarian, olahraga, festival, dan hal-hal yang tidak masuk akal yang dipromosikan oleh Komite Hiburan Saudi.
Pernyataan memalukan dari Muhammad Bin Salman ini didahului oleh jajak pendapat di Najd dan Hijaz yang dilakukan antara tanggal 14 November dan 6 Desember 2023, tak lama setelah pecahnya Perang Gaza, dengan sampel 1.000 warga Arab Saudi. Jajak pendapat ini menunjukkan kontradiksi pendapat Muhammad Bin Salman dengan pendapat rakyatnya.
Jajak pendapat ini dilakukan oleh Washington Institute For Near East Policy, lembaga yang dekat dengan Lobi Yahudi (Pro Israel Amerika) yang terletak di ibukota Amerika Serikat, menyatakan, “96% warga Saudi setuju bahwa negara-negara Arab harus memutuskan berbagai hubungan diplomatik, politik, dan ekonomi dengan Israel.”
Adapun 91% dari mereka memandang bahwa “Perang di Gaza ini adalah kemenangan bagi penduduk Palestina, Arab, dan kaum muslimin, terlepas adanya kehancuran dan hilangnya nyawa” Hal ini menunjukkan kesenjangan yang lebar antara pendapat Muhammad Bin Salman dan pendapat rakyatnya mengenai masalah ini.
Tidak diragukan lagi bahwa Muhammad Bin Salman secara terang-terangan telah mengumumkan normalisasi dengan entitas Yahudi sejak hari pertama pemerintahannya. Muhammad Bin Salman melanjutkan jejak ayah dan kakeknya dalam berkhianat dan melakukan normalisasi dengan entitas Yahudi, tetapi dengan cara yang lebih cepat.
Pada November 2022 maskapai EL AL mendapat izin dari Saudi untuk menerbangkan pesawatnya di wilayah udaranya tanpa alasan apapun. Menteri Pariwisata di entitas Yahudi, Haim Katz, mengunjungi Riyadh pada bulan September 2023 dalam kunjungan pertama seorang perdana menteri Yahudi ke Arab Saudi. Beberapa hari kemudian, Menteri Komunikasi, Shlomo Karei, bergantian mengunjunginya.
Hal ini merupakan tambahan dari kelanjutan festival hiburan remeh-temeh di Arab Saudi sehubungan dengan Perang Gaza dan tanpa menunjukkan tanda simpati apa pun terhadap penderitaan penduduk Gaza.
Atlet Saudi juga tanpa rasa malu sedikit pun ketika menghadapi rekan-rekan Yahudi mereka di beberapa acara internasional setelah pecahnya Perang Gaza. Termasuk atlet Dunya Abu Thalib yang berhadapan dengan Avishagh Samberg dalam kompetisi taekwondo di Olimpiade Musim Panas di Prancis saat musim panas lalu.
Laporan media berbicara tentang kerja sama Saudi di jembatan darat, yang memasok barang-barang kepada entitas Yahudi. Saudi bekerja sama dengan Emirates dan Yordania untuk mematahkan blokade laut yang diberlakukan terhadap kapal-kapal Yahudi di Selat Bab Al-Mandab dan laporan lain juga berbicara tentang pengiriman minyak Saudi melalui pelabuhan Mesir.
Mungkin yang menunda pengumuman normalisasi Arab Saudi dengan entitas Yahudi sehubungan dengan Perang Gaza adalah ketakutan Muhammad Bin Salman akan pembunuhan, sebagaimana pernyataannya, “Mengupayakan perjanjian normalisasi dengan Israel akan menimbulkan kerugian pribadi yang besar.” dia mengutip contoh Presiden Mesir Anwar Sadat, yang dibunuh pada tahun 1981 setelah beberapa tahun penandatanganan perjanjian perdamaian pengkhianatan dengan entitas Yahudi.
Inilah sejarah penguasa Al-Saud terhadap permasalahan Palestina yang penuh dengan pengkhianatan dan konspirasi. Raja Abdul Aziz, pendiri Kerajaan Arab Saudi, menulis sebuah dokumen resmi kepada Inggris yang di dalamnya dengan jelas mengatakan bahwa dia menyerahkan Palestina.
Raja Abdul Aziz menulis dengan tulisan tangannya sendiri kepada perwira Inggris Percy Cox pada tahun 1915, “Saya, Sultan Abdul Aziz Bin Abdul Rahman Bin Faisal Al Saud, membenarkan dan mengakui seribu kali kepada Tuan Percy Cox, perwakilan Inggris Raya, bahwa saya tidak keberatan memberikan Palestina kepada orang-orang Yahudi yang miskin, atau orang lain. Menurut pandangan Inggris, saya tidak menyimpang dari pendapatnya, sampai saatnya tiba.”
Abdul Aziz sendiri dan putra-putranya kemudian menipu rakyat Palestina dengan berkontribusi dalam memadamkan revolusi penduduk Palestina pada tahun 1936 atas permintaan Inggris dengan imbalan janji-janji palsu mengenai keadilan atas perjuangan mereka.
Adapun Raja Fahd dan Raja Abdullah mengajukan inisiatif normalisasi secara cuma-cuma dengan entitas Yahudi, dan memberlakukannya pada semua negara Arab. Ini bukan sekadar perjanjian perdamaian tradisional yang biasa, namun merupakan proyek normalisasi masa depan yang komprehensif. Inisiatif tersebut kemudian berubah ke dalam Inisiatif Perdamaian Arab, yang diadopsi pada KTT Beirut pada tahun 2002 di bawah pengaruh Saudi.
Negara-negara Arab pengkhianat yang sebelumnya telah menandatangani perjanjian damai dengan entitas Yahudi—seperti Mesir dan Yordania—tidak berani menggunakan kata normalisasi dalam klausul perjanjian mereka. Tidak ada seorang pun yang berbicara tentang normalisasi ini sebelumnya hingga setelah munculnya inisiatif naas ini, karena mereka tidak menginginkan apapun selain menandatangani perdamaian yang dingin dengan entitas Yahudi.
Inilah Muhammad Bin Salman yang menyempurnakan apa yang telah dimulai oleh kakek, ayah, dan pamannya yang terlibat dalam cara-cara yang berbahaya dan jahat. [RY/SR]
Ditulis oleh: Prof. Ahmad Al-Khuthwani
Diterjemahkan dari Surat Kabar Al-Rayah edisi 516, terbit pada Rabu, 06 Rabi’ul Akhir 1445 H/09 Oktober 2024
Klik di sini untuk mengakses link
Visits: 20