Search
Close this search box.

Pasca Pembubaran Parlemen, Quo Vadis Konflik Tunisia?

Oleh: Dr. As’ad Al-Ajeli

Pada hari Rabu (30/03/2022), Presiden Tunisia Kais Saied mengumumkan pembubaran parlemen yang selama 8 bulan ini menangguhkan wenang mereka dan mengambil alih otoritas eksekutif dan legislatif secara penuh pada Juli 2021. Keputusan Presiden Saied muncul beberapa jam pasca sidang melalui konferensi video yang diadakan oleh 120 anggota dari 217 wakil rakyat di parlemen. Di mana, 116 anggota sidang memilih menyutujui rancangan undang-undang yang menghapus kebijakan luar biasa yang diumumkan Presiden Saied pada 25 Juli lalu, termasuk menghapus kebijakan untuk membekuan kewenangan parlemen, penerbitan UU melalui dekret presiden, dan pembubaran Mahkamah Agung.

Rapat parlemen ini dianggap sebagai salah satu ancaman politik yang paling berbahaya untuk kekuasaan Presiden Saied, karena badan legislatif mereka memiliki status pemilu resmi dan diakui oleh para pemain internasional di Tunisia. Begitupun keputusan mereka yang bisa mengarah pada perpecahan, sebagaimana terpecahnya dua kekuasaan yang terjadi di Libia; yang pertama mengontrol semua otoritas hukum dan memonopoli kekuatan utama—yaitu Presiden Republik dan Perdana Menteri—dan yang kedua, kontrol paralel melalui parlemen yang ditangguhkan, di mana mereka mengadakan sidang virtual untuk mendukung aturan pembatasan kebijakan luar biasa negara, dan bisa jadi untuk mendelegetimasi dekret presiden di kemudian hari.

Oleh karena itu, Presiden Saied menggambarksan sidang tersebut sebagai “upaya kudeta dan penyerangan keamanan internal dan eksternal negara yang gagal” dan mereka (anggota legislatif) akan dituntut secara pidana. Demikian pula ketika Menteri Kehakiman Tunisia, Leila Jaffel, meminta pengacara negara di Pengadilan Tinggi untuk membuka penyelidikan terhadap para anggota legislatif yang mengadakan sidang atas tuduhan berkolusi menyerang keamanan negara dan membentuk kesepakatan kriminal.

Akibatnya, pada hari Jumat (01/04/2022), puluhan anggota parlemen yang dipimpin oleh Ketua Parlemen Rached Ghannouchi berdiri di hadapan pasukan anti-teror, menentang keputusan untuk membubarkan parlemen dalam sebuah pernyataan pers kepada AFP (Agence France-Presse) dengan mengatakan, “Kami menganggap bahwa parlemen masih ada dan Presiden tidak memiliki hak konstitusional untuk membubarkan parlemen.”

Kebijakan Presiden Saied tersebut menambah ketegangan situasi antara pihaknya dengan pihak oposisi. Ia mengungkapkan kepada publik tentang konflik internasional antara Prancis, Inggris, dan Amerika yang terjadi di Tunisia. Sampai-sampai Tunisia—lebih dari sebelumnya—menjadi tanah subur bagi intervensi asing sekaligus panggung sandiwara untuk konflik internasional. Sidang parlemen telah dirancang setelah tindakan yang mengherankan dari duta besar Inggris di Tunisia yaitu Helen Winterton, di mana ia bertemu dengan beberapa pejabat yang dipimpin oleh kepala gerakan Ennahda dan Ketua Parlemen, Rached Ghannouchi, pada Jumat (11/03/2022). Dalam pertemuan tersebut, ia membahas hubungan bilateral antara kedua negara sehubungan dengan perkembangan terakhir di Tunisia.

Keputusan membatalkan kebijakan luar biasa oleh parlemen juga datang setelah kunjungan Wakil Menteri Luar Negeri AS untuk Keamanan Sipil, Demokrasi, dan Hak Asasi Manusia Uzra Zeya di mana ia bertemu dengan petinggi pemerintah, termasuk Perdana Menteri Najla Bouden, Menteri Luar Negeri Tunisia Othman Jerandi, dan Menteri Dalam Negeri Taoufik Charfeddin. Ia juga bertemu dengan perwakilan masyarakat sipil dan menekankan urgensi memperkuat demokrasi di Tunisia, serta melakukan reformasi politik dan ekonomi secara komprehensif melalui koordinasi dengan partai politik, serikat pekerja, dan masyarakat sipil.

Terlepas dari dukungan Prancis untuk Kais Saied sejak ia mengambil alih kekuasaan pihak oposisi pada 25 Juli lalu—yang mana hal tersebut bertujuan demi menjaga kepentingannya, mengeliminasi agen-agen inggris yang dipimpin oleh ketua gerakan Ennahda, juga untuk menyerang pilar-pilar yang diandalkan Inggris untuk menyatukan wilayah-wilayah di bawah pengaruhnya, seperti: membubarkan parlemen, menyerang pemerintah daerah, membubarkan Mahkamah Konstitusi, mengganti kader Kementerian Dalam Negeri, dan membubarkan Mahkamah Agung—.

Terlepas dari semua itu, dukungan Prancis ini tidak akan membantu apabila Presiden Kaies menemukan kondisi hidup masyarakat yang memburuk akibat krisis ekonomi yang mencekik, harga yang melambung tinggi, kelangkaan bahan pokok, dan antrian panjang di depan toko roti yang sudah menjadi pemandangan biasa di Tunisia.

Jadi, tantangan yang akan dihadapi presiden Saied adalah krisis ekonomi yang pelik dan utang besar yang melebihi 100 miliar dinar. Pemerintah harus mencari sumber untuk memobilisasi kas negara yang kosong. Ini adalah perkara yang sulit dicapai karena Tunisia gagal mencapai kesepakatan dengan IMF yang menekan lembaga-lembaga keuangan lainnya agar tidak memberikan pinjaman kepada Tunisia jika mereka tidak bersepakat dengan IMF. Ini adalah tekanan pada Presiden Kais Saied dari negara-negara yang menguasai sumber pendanaan, terutama Amerika—pihak yang paling diuntungkan dari apa yang dilakukan Saied—di mana delegasinya tidak berhenti mengunjungi Tunisia serta duta besarnya Donald Blome yang aktif di kalangan organisasi politik dan masyarakat sipil dan bahkan di militer.

Yang harus diperhatikan adalah Menteri Luar Negeri Amerika Antony Bilnken yang telah mengunjungi Maroko dan Aljazair pada pekan lalu, namun tidak mengunjungi Tunisia. Hal itu terjadi juga saat Komandan AFRICOM, Jenderal Townsend melakukan kunjungan ke Maroko pada tanggal 28 September tahun lalu. Jenderal Townsend bertemu dengan Perdana Menteri Libia Dbeibeh dan Presiden Aljazair Tebboune, namun tidak melakukan pertemuan dengan Presiden Tunisia Kais Saied (padahal dia menduduki posisi sebagai pemimpin tertinggi angkatan bersenjata). Jenderal Townsend bahkan hanya bertemu dengan para perwira di militer Tunisia. Peristiwa ini mengandung pesan politis yang bermakna ketidaksetujuan Amerika pada kebijakan yang diambil oleh presiden Tunisia dan  keinginannya untuk mengakhiri/menghapus dekret luar biasa tersebut.

Kegagalan E-istichara (Konsultasi Nasional Elektronik) yang merupakan fondasi dan langkah awal bagi peta jalan (panduan umum) yang meliputi pangkalan-pangkalan utama berupa penunjukan bahwa penyelenggaraan referendum tentang amandemen UU pada 25 Juli dan pemilihan legislatif yang akan dilaksanakan pada 17 Desember mendatang tidak menghalangi Kais Saied untuk bergerak merealisasikan proyek desentralisasi melalui dewan rakyat lokal (semacam DPRD, ed.) untuk membentuk otoritas legislatif dan pengawasan dari lokal ke pusat.

Hal ini akan mendorong pemecatan presiden dan dapat mendorong Prancis untuk mengangkat penutup dirinya dan menggantinya dengan salah satu bawahannya, selama Inggris dan Amerika  yang mulai berekspansi di banyak kalangan berpengaruh di negeri ini belum mendahuluinya.

Situasi Kais Saied maupun pihak oposisi tidak akan stabil. Masyarakat tunisia yang merupakan pemantik perubahan di Afrika Utara serta penggerak masyarakat muslim akan mengubah keadaan kolonialisme berikut sarana-sarananya dengan perubahan jiwa dan pikiran yang luar biasa pada revolusi yang diberkahi ini. Mereka akan menyiapkan perubahan nyata atas dasar Islam, yaitu kepada naungan Khilafah Rasyidah dengan metode kenabian.

 

Diterjemahkan dari Surat Kabar Al-Rayah edisi 386, terbit pada Rabu, 12 Ramadan 1443 H/13 April 2022 M

Klik di sini untuk mengakses sumber

Visits: 8

Tags

Bagikan tulisan ini

Tulisan menarik lainnya...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Category

Gabung Channel Telegram