Mohammed bin Zayed Memimpin Wilayahnya Menuju Jurang Maut

Oleh: Profesor Abu Hamza Al-Khatwani

Belakangan ini wilayah Timur Tengah sedang didominasi oleh kondisi yang tidak normal, yaitu polarisasi politik yang menyimpang. Di mana perpolitikan di wilayah ini tumpang-tindih saling bertentangan. Politik sayap kanan dan sayap kiri saling mendekati, sampai-sampai pengamat politik pun tidak dapat membedakannya satu sama lain. Akibat politik yang tumpang-tindih dan bersilangan tersebut, muncul kerancuan pada gambaran umum politik wilayah ini. Hal ini mengakibatkan aliansi politik tidak sesuai dengan tujuan sebenarnya, tidak dipersatukan oleh ikatan apapun, dan tidak diatur oleh hubungan politik manapun kecuali membuat tampuk kepemimpinan untuk seorang ruwaibidhah* yang mengendalikan orang lain untuk melayani kepentingan negara-negara penjajah.

Di balik semua kontradiksi serta keputusan-keputusan politik yang menyimpang dan mencurigakan ini, ada seorang pendengki yang gila, yang merupakan penguasa sebenarnya dari Uni Emirat Arab (UEA), yakni Mohammed bin Zayed, yang merupakan anak didik Inggris dan agen setianya.

Adapun aktivitas politik destruktif Mohammed bin Zayed ini bermula dari tiga hal:

  1. 1. Kebenciannya terhadap Islam, sehingga dia selalu bersekutu dengan musuh kaum muslimin. Ia sendiri merupakan pencinta umat Hindu, Buddha, Yahudi, dan Nasrani. Ia adalah pion orang-orang kafir, juga sekop penghancur yang mereka gunakan untuk mendirikan ‘agama Abrahamik’ yang menghimpun berbagai agama dengan tujuan menghancurkan Islam.
  2. Kebenciannya terhadap demokrasi dan pemilu, sehingga ia tidak membiarkan seorang pun penguasa diktator di Timur dan Barat tanpa mendukungnya dengan uang dan media. Seperti dukungannya pada Abdel Fattah El-Sisi di Mesir, Khalifa Haftar di Libya, dan penguasa diktator lainnya. Ia membenci demokrasi bukan karena demokrasi aturan kufur, tapi karena ia takut (kekuasaannya) terguling, dan adanya konsekuensi dari pergantian kekuasaan.
  3. Loyalitasnya kepada Inggris dan perdamaiannya dengan Amerika. Ia berjalan sesuai dengan rencana tuannya, Inggris, dan memperkuat pengaruh mereka di wilayahnya. Ia juga mengacaukan kebijakan politik Amerika sebisa mungkin, sambil tetap melanjutkan upaya untuk berdamai dengan Amerika dengan membayar harga yang tinggi untuk menjamin agar Amerika diam.

Mari kita amati dua peristiwa politik yang didalangi oleh Mohammed bin Zayed dalam sepekan ini:

  1. Kunjungan penguasa diktator Suriah, Bashar Al-Assad, ke UEA pada Selasa (08/03/2022) disambut dengan hangat oleh Mohammed bin Zayed.

Ketika Bashar sedang diboikot di dunia Arab setelah dikeluarkan dari Liga Arab karena kejahatannya di Suriah, ia mengusir bahkan membunuh jutaan orang dalam satu dekade terakhir. Padahal, tidak ada penguasa Arab yang berani melakukan langkah kurang ajar seperti ini tanpa adanya kesepakatan dengan negara-negara Arab lainnya.

Tak perlu dikatakan bahwa Bashar seolah-olah berhubungan dengan Rusia dan didukung oleh Iran, sementara aliran kiri mendukungnya karena mengira ia anti-Amerika. Padahal, ia sudah lama menjadi agen Amerika. Amerikalah yang merekrut militer Iran, membantu serta melindungi Rusia dari kejatuhannya, juga berusaha untuk menggagalkan revolusi demi kepentingannya.

  1. Mengadakan konferensi tingkat tinggi (KTT) trilateral yang dihadiri oleh Mohammed bin Zayed, Perdana Menteri Israel Naftali Bennett, dan Presiden Mesir Abdel Fattah El-Sisi, bertempat di Sharm El-Sheikh pada Senin (21/02/2022).

Mohammed bin Zayed berencana untuk melawan Iran bersama Israel ketika mereka menyambut sekutu Iran, Bashar. Ia tahu bahwa Israel sangat kecewa dengan tindakan Amerika yang menandatangani kesepakatan nuklir bersama Iran, mencabut sanksi-sanksi atasnya, dan memberikan Iran otoritas yang luas di daerahnya. Maka, Mohammed bin Zayed mengajak pada KTT Sharm El-Sheikh untuk mendukung Israel melawan Iran, serta mengikutsertakan Sisi yang dungu dalam konferensi tersebut.

Ia juga mengirim surat untuk Mohammed bin Salman bahwa Arab Saudi harus segera melakukan normalisasi dengan Israel—karena waktu tidak bisa menunggu—, dan bahwa Saudi harus mengambil posisi yang tegas untuk melawan Iran.

Ia dan Israel merencanakan untuk membuat kekacauan pada kebijakan politik Amerika, berusaha untuk memboikot Iran, menunda penandatanganan kesepakatan nuklir Iran dengan memanfaatkan keterlibatan Rusia dalam perang Ukraina, mengenakan sanksi atasnya, serta berusaha menarik Mohammed bin Salman agar bergabung ke kubunya.

Inggrislah yang mendorong Mohammed bin Zayed untuk melakukan manuver politik ini, termasuk mempengaruhi Mohammed bin Salman untuk menjauh dari Amerika yang bersikap dingin padanya—terutama karena pemerintahan Biden tidak berurusan secara resmi dengan Mohammed bin Salman karena insiden Khashoggi—. Sementara itu, Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, datang ke Arab Saudi dan melanggar larangan Amerika yang dikenakan pada Mohammed bin Salman. Ia mengunjungi Arab Saudi dan menemui Mohammed bin Salman secara terbuka, dengan dalih meneliti penyediaan jumlah minyak tambahan untuk memberi kompensasi kekurangan yang disebabkan oleh pasokan minyak Rusia.

Dukungan Inggris terhadap tindakan Mohammed bin Zayed terlihat jelas melalui selarasnya kunjungan Boris Johnson ke Arab Saudi dengan dorongannya kepada Mohammed bin Salman agar menjauh dari Amerika dan berkoordinasi dengan Mohammed bin Zayed untuk membentuk duo politik yang efekif dengan dukungan Israel.

Untuk memperlemah posisi Iran, Mohammed bin Zayed dan Bashar Al-Assad menunggu waktu untuk melemahkan front Amerika Iran-Suriah. Mereka juga mengacaukan kebijakan politik Amerika di waktu yang sensitif, yaitu ketika Amerika sedang disibukkan dengan permasalahan yang lebih penting, seperti masalah Ukraina dan netralisasi Cina.

Seperti inilah Mohammed bin Zayed menampakkan diri, seakan-akan dirinya adalah pemimpin yang keberadaannya sangat dibutuhkan di wilayah tersebut dan memiliki pengaruh yang kuat di sana. Ia ‘membeli’ Erdogan (dengan melakukan investasi di Turki) sebanyak 10 miliar dolar, juga membeli Sisi dengan uang dan penyelenggaraan KTT di Sharm El-Sheikh, Mesir, serta menjauhkan Bashar Al-Assad dari Iran sejauh mungkin agar memungkinkannya membentuk kubu dengan Israel untuk melawan Iran sebagai pengalih perhatian dari rencana Amerika.

Dengan demikian, bercampurlah dokumen politik dengan adanya penggabungan kepentingan yang berbeda untuk mengacaukan kebijakan politik Amerika—meskipun hanya sedikit—. Yang terpenting dari semuanya, ia memaksakan dirinya untuk terlihat seperti pemimpin yang sangat dibutuhkan dalam mengurus kebijakan politik Timur Tengah, sehingga Amerika mau tak mau bekerja sama dengannya dan tidak mengabaikannya.

Kita telah sampai di era kemerosotan politik, di mana orang-orang seperti Mohammed bin Zayed, Tamim bin Hamad Al-Thani, dan orang-orang lain seperti keduanya—yang tidak memimpin apapun kecuali emirat kecil yang jumlah penduduknya tidak lebih dari jumlah penduduk Hay Shubra di Kairo—menjadi salah satu pemimpin terpenting Timur Tengah, lalu mereka melepaskan, berkeliaran, dan berkomplot; sementara para penguasa negara-negara besar di Arab yang memimpin puluhan juta orang—seperti Mesir, Sudan, Irak, Aljazair, dan Maroko—menjadi tak berbobot (dengan tiadanya pengaruh mereka), bahkan kita hampir tidak bisa mendengar mereka berbisik!

Catatan:

*Yang dimaksud dengan ruwaibidhah sesuai hadis Rasulullah saw. adalah ‘orang bodoh yang mengurusi urusan orang banyak’ (HR Al-Hakim, Al-Mustadrak ala Sahihain, V/456).

Diterjemahkan dari surat kabar Al-Rayah edisi 384, terbit pada Rabu, 27 Syakban 1443 H/30 Maret 2022 M

Klik di sini untuk mengakses sumber

 

 

Hits: 11

Tags

Bagikan tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *