Oleh: Prof. Hamad Tabib
Pada episode sebelumnya, kita telah sampai pada pembahasan situasi Mesir, serta rencana jangka panjang yang dirancang penjajah untuk mencegah terjadinya perubahan secara fundamental, sehingga Mesir tidak lepas dari cengkeraman penjajah. Di saat yang bersamaan, penjajah berusaha untuk mencegah terjadinya ledakan di tengah-tengah masyarakat, lantaran tekanan yang semakin meningkat di segala aspek.
Sebelum menyebutkan rencana dan uslub (teknis atau cara) penjajahan Negeri Kinanah, kita perlu memiliki gambaran terhadap realita saat ini, yaitu tentang hal-hal penting yang berpengaruh pada realita, faktor yang mempercepat suatu kejadian, juga terkait kebijakan politik dan rencana yang dirancang oleh Barat. Semuanya akan dirinci sebagai berikut:
Berkenaan dengan opini umum terkait Islam di Mesir, telah kami sebutkan sebelumnya tentang Peristiwa Tahrir Square. Kejadian tersebut menunjukkan bahwa opini Islam telah tersebar di tengah masyarakat Mesir, khususnya terkait penerapan syariat. Itulah yang terjadi pada Peristiwa Tahrir Square, yang disaksikan oleh satu juta orang atau lebih. Peristiwa ini disebut dengan “Jumat Penerapan Syariat”. Dari sini, tampak kebaikan penduduk Al-Kinanah, di mana mereka adalah orang-orang yang baik, meski terjadi penyesatan, pembodohan, penentangan, dan tipu daya terhadap Islam. Sejarah modern Mesir merupakan saksi atas hal ini, dengan munculnya banyak gerakan yang mengemban syiar Islam dan membawa panji perubahan—yakni perubahan yang fundamental—.
Opini umum yang tersebar di tengah panglima tentara Mesir beberapa tahun lalu adalah “Perang untuk membebaskan Masjidilaqsa dan Palestina”. Opini tersebut lahir dari kecintaan pada Islam dan kebencian terhadap musuh (Yahudi). Hal ini masih berlanjut meski kezaliman, penindasan, pendudukan, serta upaya penahanan menimpa mereka. Meski begitu, kecintaan mereka terhadap Islam tidak berubah. Bahkan, seandainya diadakan referendum mengenai hal ini, maka jumlah orang yang menuntut penerapan Islam akan mencapai lebih dari 95%.
Revolusi Mesir tahun 2011 terjadi akibat kemarahan besar rakyat kepada rezim beserta jajaran pemerintah kala itu. Di antara keburukan rezim pada saat itu adalah peristiwa penindasan brutal yang terjadi di Tahrir Square dan tempat-tempat lainnya; upaya rezim untuk menyebarkan fitnah di antara orang-orang Mesir—khususnya masalah pengeboman orang Kristen Koptik, di mana kaum muslimin menjadi kambing hitam atas peristiwa itu—; juga peristiwa El-Arish dan Sinai yang disebabkan oleh aksi militer untuk melawan Israel, serta perlawanan kuat dari suku-suku di daerah tersebut. Dengan begitu, masyarakat Mesir masih hidup dalam bayangan peristiwa yang menyakitkan, serta kejahatan yang dilakukan rezim di Tahrir Square dan wilayah Mesir lainnya.
Adapun kondisi masyarakat Mesir saat ini digambarkan dengan kemiskinan yang ekstrem, serta pengangguran yang terus meningkat di penduduk Mesir. Kondisi ini terus memburuk, terutama selama masa Covid-19 dan Perang Ukraina, di mana keduanya telah menimbulkan dampak pada banyak hal, seperti impor gandum, kenaikan harga, dan berkurangnya pasokan biji-bijian secara drastis di Mesir.
Kasus kemiskinan di Mesir memberikan peringatan akan adanya potensi bencana dan ledakan. Menurut sebagian data statistik resmi, pada tahun ini tingkat kemiskinan telah mencapai 30%. Namun beberapa pakar ekonomi mengatakan, “Apabila perhitungannya disesuaikan dengan angka minimal untuk memenuhi kebutuhan individu (yang disebut dengan garis kemiskinan), yakni sejumlah 857 pound Mesir atau hampir 44 dolar setiap bulan, maka persentase yang sebenarnya lebih dari 30%.”
Persentase yang dipaparkan oleh pusat statistik resmi tersebut menunjukkan bahwa sekitar 30 juta penduduk Mesir hidup di bawah garis kemiskinan—meski persentase yang sebenarnya lebih jauh dari ini—, karena menurut data statistik resmi, tingkat pengangguran meningkat sebanyak 7%, ditambah dengan persentase kemiskinan yang sebelumnya, sehingga menjadi 37%. Meski pada faktanya, data statistik resmi tersebut tidak detail, karena rezim di negara-negara Arab tidak mengungkap sejauh mana tingkat pengangguran yang dialami rakyatnya.
Di sebagian wilayah Mesir, tingkat kemiskinan mencapai 40%, sedangkan tingkat pengangguran di sana mencapai 50%. Dalam laporan Direktur Unit Pusat Haya Karima (program yang bertujan meningkatkan kondisi kehidupan rakyat Mesir di bawah naungan kementerian pembangunan daerah 2020), Walaa Gad Al-Karim mengatakan, “Tercatat sejumlah 1.000 desa dengan tingkat kemiskinan lebih dari 50%.”
Pada tahun 2020, dalam penelitian terkait Bank Dunia disebutkan, “Sekitar 60% penduduk Mesir adalah orang miskin atau orang yang membutuhkan.” Faktanya, persentase kemiskinan di Mesir semakin meningkat dan tidak mengalami penurunan—sebagaimana klaim sebagian media berita yang bersuara atas nama pemerintah—. Buktinya adalah, setiap kali negara berutang pada lembaga-lembaga keuangan internasional, semakin meningkat pula harga beberapa komoditas dan biaya pajak yang semakin bertambah. Hal ini berdasarkan ketentuan IMF dan lembaga keuangan lain yang memberikan pinjaman.
Sampai tahun 2022 ini, jumlah utang luar negeri telah mencapai 157,8 miliar dolar. Adapun dana angsuran akibat bunga dan biaya servis sekitar 20 miliar dolar, hal ini sesuai dengan data bank sentral Mesir.
Pada akhir tahun 2016, Mesir menandatangani perjanjian utang dengan IMF senilai 12 miliar dolar selama tiga tahun. Sebagai gantinya, IMF melakukan reformasi ekonomi Mesir yang mencakup liberasi nilai tukar, pencabutan subsidi BBM, dan penerapan PPN (Pajak Pertambahan Nilai). Pasca wabah Covid-19, Mesir kembali mendapat pinjaman lain senilai 8 miliar dolar untuk menangani dampak ekonomi akibat wabah tersebut.
Pada tahun-tahun sebelumnya, rezim Mesir melakukan penindasan dan kezaliman terhadap rakyatnya, seperti berbagai macam siksaan yang mengerikan, ancaman, penjara, dan eksekusi mati. Pada tahun 50an dan 60an, penjara-penjara di Mesir menjadi saksi atas berbagai penindasan serta eksekusi massal yang dilakukan Gamal Abdul Nasir pada Sayyid Qutb dan Abdul Kadir Udeh.
Adapun sekarang, pada masa pemerintahan Abdul Fattah As-Sisi, sejak 2014 tercatat sudah lebih dari 1000 kasus hukuman mati, di mana 43 kasus dieksekusi hanya dalam kurun waktu empat tahun, setelah itu eksekusi mati ditegakkan pada 50 kasus lainnya. Dilaporkan dari Al-Jazeera pada Kamis (28/02/2019).
Pada Sabtu (18/09/2021), dalam situs Arabic 21 disebutkan bahwa Egyptian Organization of Human Rights (EOHR) menyatakan, “Jumlah tahanan yang tewas dalam penjara Mesir meningkat menjadi 1095 tahanan. Mayoritas dari mereka adalah para politisi yang ditahan sejak revolusi militer tahun 2013.”
Organisasi Committee For Justice melaporkan, bahwa pada tahun 2021 telah terjadi 10 kematian dalam waktu 36 hari. Kematian itu diperkirakan terjadi berturut-turut setiap 3 hari sekali.
Pada Minggu (11/4/2021), Al-Jazeera menyatakan bahwa, “EOHR mengungkap sulitnya situasi di penjara Mesir, serta peningkatan jumlah penjara dan tahanan sejak revolusi tahun 2011.”
Terdapat juga sebuah laporan yang dikeluarkan oleh The Arabic Network For Human Rights Information dengan judul, “Menunggu Anda: 78 Penjara, Termasuk 35 Setelah Revolusi Januari: Tentang Kondisi Sulitnya Tahanan dan Penjara di Mesir.” Laporan tersebut mengklarifikasi, bahwa jumlah penjara baru—di mana pendiriannya diputuskan setelah Revolusi Januari dan masih berlanjut sampai saat ini—telah mencapai 35 penjara, ditambah dengan 43 penjara utama yang sudah dibangun sebelum Revolusi Januari, sehingga total penjara utama adalah 78 penjara.
EOHR memperkirakan jumlah tahanan di Mesir mencapai 120 ribu tahanan hingga awal Maret 2021, yang terdiri dari 65 ribu tahanan politik, dan seribu tahanan yang belum diketahui alasan penahanannya. Sehingga secara keseluruhan, tahanan yang dipenjara diperkirakan mencapai 82 ribu, sedangkan jumlah tahanan yang masih menunggu keputusan—apakah terbukti bersalah atau tidak—diperkirakan sekitar 37 ribu.
Bersambung. []
Diterjemahkan dari Surat Kabar Al-Rayah edisi 412, terbit pada Rabu, 16 Rabiulawal 1444 H/12 Oktober 2022 M
Klik di sini untuk mengakses sumber
Visits: 2