Oleh: Prof. Salih Abdel Rahim
Bertepatan dengan peringatan 68 tahun meletusnya Revolusi Aljazair, Aljazair menjadi tuan rumah atas Pertemuan Dewan Liga Arab yang ke-31 pada hari Selasa dan Rabu, 1-2 November 2022. Hal yang paling menonjol dari KTT ini adalah penempatan masa lalu revolusioner Aljazair dan perjuangan bangsanya melawan penjajah Barat, berpadu dengan pan-Arabisme dan corak Islam.
Seperti halnya yang dinyatakan dalam Deklarasi KTT, yang menyebutkan bahwa, “Sejarah bersama dan ikatan solidaritas bangsa Arab dimanefastikan dalam bentuk terbaiknya, melalui penghimpunan rakyat dan negara-negara Arab selama perjuangan bangsa Aljazair pada Revolusi Al-Fateh November 1954, serta pengorbanan (saudara-saudara) Arab yang turun tangan mendukung saudara-saudara mereka di Aljazair.”
Di dalamnya juga terdapat penggunaan ide keharmonisan dan syiar “Reunifikasi Keluarga Arab” dalam hal-hal yang sejalan dengan keinginan Eropa, agar rezim Aljazair dapat memainkannya dalam kancah regional Afrika dan Arab.
Dalam KTT ini, dampak dari pendekatan hubungan yang memalukan dengan entitas Yahudi muncul dengan cara yang berbeda. Di antaranya perjanjian keamanan yang disepakati oleh Maroko dengan entitas Yahudi, terutama karena Aljazair secara historis—berdasarkan perjuangan bersama melawan penjajah—termasuk pendukung paling menonjol dalam isu Palestina.
Namun, setelah mencapai stabilitas internal yang relatif sejak Presiden Abdelmadjid Tebboune berkuasa pada akhir 2019, Eropa menginginkan Aljazair untuk beralih ke “langkah kedua” dari aktivitas diplomatik dan aksi politik yang intens, terutama di tingkat eksternal, yaitu di tingkat Arab dan Afrika dengan harapan mengaktifkan perannya di lingkungan regional secara militer dan keamanan demi kepentingan Eropa.
Faktanya, ini adalah yang paling menonjol dari apa yang ingin dicapai oleh rezim Aljazair, yaitu keberhasilan KTT Arab dan pengeksploitasian pemeliharaan KTT sepenuhnya dalam kondisi saat ini. Terutama sejak pengumuman Aljazair setelah kunjungan pejabat Prancis beberapa waktu lalu, di mana disebutkan bahwa kemitraan istimewa yang baru—khususnya dengan Prancis—telah menjadi “tuntutan yang ditentukan oleh eskalasi fluktuasi dan kritisnya ketegangan regional dan internasional”.
Pada faktanya, KTT Aljazair telah dipopulerkan sebagai sebuah perserikatan, dan telah sukses sebelum KTT diadakan. Pembukaan kegiatan KTT dilakukan dengan sambutan dari Kaies Saied—sebagai ketua KTT sebelumnya—, yang dilanjut dengan sambutan dari Presiden Aljazair. Dalam sambutannya, Kaies Saied menyeru agar “melupakan berbagai perbedaan antara negara-negara Arab, dan reunifikasi untuk mengalahkan siapa saja yang mengobarkan perang sengit yang berpotensi meruntuhkan negara”.
Setiap orang telah menekankan bahwa KTT merupakan stasiun penting untuk memperkuat solidaritas Arab. Mereka juga menegaskan dukungan mutlak untuk rakyat Palestina dan sentralitas isu Palestina, serta penegasan terkait urgensitas agar mencapai solusi politik konsensual untuk semua konflik dan berbagai masalah pelik di negara-negara Arab, terutama masalah Suriah, Libia, Yaman, dan Sudan.
Sementara Aljazair—melalui presiden dan menteri luar negerinya—pada gilirannya menekankan perlunya “reunifikasi” dan masalah “solidaritas Arab”, bahwa KTT ini adalah “November dan ambisi yang ingin dicapai” (karena November/Novambiriyyah adalah simbol tantangan dan keinginan untuk bersatu kembali), serta untuk menyatukan rakyat Palestina dengan semua faksinya dan mencapai persatuan nasional Palestina.
Menteri Luar Negeri Ramtane Lamamra juga menegaskan dukungan Aljazair tentang Palestina yang mendapat keanggotaan penuh di PBB sebagai negara merdeka berdasarkan perbatasan pada 4 Juni 1967, dalam apa yang disebut dengan “Inisiatif Damai Arab”. Di mana El-Sisi juga menyetujui secara nyata dan menegaskan dalam pidatonya. Yang pada kenyataannya, pidato itu adalah pengakuan eksplisit dari panggung Aljazair yang agung atas entitas Yahudi perampas, serta pengesahan pendudukan Yahudi di sebagian besar wilayah Palestina.
KTT tersebut juga membahas beberapa hal, termasuk masalah intervensi dalam urusan negara-negara Arab, seperti masalah keamanan pangan, kerja sama, dan integrasi ekonomi antarnegara Arab. Tebboune mengisyaratkan akan ancaman ketahanan pangan di kawasan Arab, mengingat adanya fluktuasi pasar global, dampak dari pandemi, serta konflik regional dan internasional—termasuk perang di Ukraina—saat ini. Ia juga mengisyaratkan bahwasanya, “Kita harus membangun blok ekonomi Arab yang kuat yang dapat menjaga kepentingan kita bersama.”
Namun pada faktanya, perbedaan dan kontradiksi di bawah slogan solidaritas yang kosong dari makna apa pun—selain konspirasi terhadap kaum muslimin yang tertindas, juga kontradiksi di bawah judul koordinasi bersama dan menghargai inisiatif semua anggota yang berpartisipasi dalam rapat—ini sebenarnya telah membayangi kerja KTT dari awal hingga akhir. Misalnya, menurut beberapa sumber dari Liga Arab, sulit bagi para menteri luar negeri untuk mencapai formula konsensual final untuk pernyataan akhir dari KTT tersebut, menyusul setelah adanya ketidaksepakatan mengenai poin-poin tertentu, di antaranya kecaman atas intervensi Turki dan Iran dalam urusan negara-negara Arab—seperti Yaman, Libia, Suriah, dan Lebanon—di mana beberapa pemimpin bersikeras menyebutkan nama dua negara (yang mengintervensi) dalam deklarasi pernyataan akhir, di saat yang lain menolak perkara tersebut.
Dalam KTT ini terungkap bahwa masing-masing negara pada dasarnya membawa agenda-agenda khusus yang sejalan dengan kepentingan dan keterkaitan negara. Mengingat hal ini bukanlah hal yang baru, karena sudah menjadi kebiasaan di konferensi-konferensi sebelumnya.
Namun Sekjen Liga Arab, Ahmed Aboul Gheit, menekankan bahwa KTT ini menempati peringkat tertinggi dari sisi tingkat perwakilan yang hadir. Hal ini mengisyaratkan bahwa “reservasi sama sekali tidak berlaku di KTT Aljazair”.
Sementara itu, meski Putra Mahkota Arab Saudi (penguasa de facto kerajaan), Presiden UEA, Raja Bahrain, dan Raja Maroko tidak hadir dalam KTT ini, terdapat Presiden Qatar, Kepala Otoritas Palestina, Presiden Tunisia, Presiden Mesir, dan Sekjen PBB yang hadir sebagai tamu kehormatan dan menjadi peserta KTT yang paling menonjol.
Rusia turut hadir dalam KTT melalui pesan dari Presiden Putin, tampaknya ia memohon kepada seluruh peserta untuk mendukungnya dalam cobaan berat yang ia hadapi, di mana dalam pesan tersebut Presiden Rusia berbicara tentang perlunya membentuk sistem internasional multipolar, yang menunjukkan kesiapan negaranya untuk memperkuat hubungan dengan Liga Negara Arab dan semua anggotanya.
Beberapa sumber menunjukkan bahwa upaya Aljazair di belakang layar untuk mengembalikan Suriah kepada Liga Arab adalah muslihat politik, di mana tidak ada tindakan cepat pascakesepakatan yang dilakukan oleh Sistem Suriah selama kunjungan Menteri Luar Negeri Aljazair ke Damaskus beberapa hari sebelum KTT dimulai. Hal tersebut dikarenakan kondisi internasional yang tidak sesuai, dan kondisi dalam kawasan terkini yang tidak mengizinkan kehadiran Suriah di KTT. Ditambah hal tersebut bertentangan dengan keinginan Aljazair untuk menyukseskan KTT dan mempertahankan “Persatuan Barisan Arab”.
Sebagai pengingat, Suriah (Bashar Al-Assad) diberhentikan dari keanggotaannya di Liga Arab pada akhir 2011, bersamaan dengan dimulainya revolusi Suriah terhadap rezim kriminal yang sangat melampaui batas dalam membunuh rakyatnya, orang-orang muslim. Sedangkan saat ini, dapat kita lihat bahwa dia mulai mengambil jalan kembali—walaupun dari jauh—ke dalam pelukan Liga Arab, yang pada hakikatnya hanyalah proyek kolonial yang penuh kebencian. Segala hal di dalamnya hanyalah susupan agenda-agenda Barat—sang pendendam negeri-negeri Islam—, strategi musuh penjajah, dan kepentingan mereka.
Oleh karena itu, menyingkirkan para rezim hina tersebut dari pandangan adalah suatu keharusan. Para rezim itu terbiasa—selama perjanjian—untuk memasarkan pengkhianatan sebagai pencapaian. Mereka melewati berbagai kegagalan dengan anggapan itu adalah keberhasilan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan adanya kelompok yang sadar, yang harus menemukan thariqah-nya melalui umat untuk memimpin kalangan politik di negara-negara ini dengan Islam; yang mewakili identitas sejati umat; serta maju untuk mengambil kepemimpinan umat di dalamnya dengan Islam, bukan dengan selainnya. Pada hari itulah orang-orang yang beriman bergembira.
Diterjemahkan dari Surat Kabar Al-Rayah edisi 417, terbit pada Rabu, 22 Rabiulakhir 1444 H/16 November 2022 M
Klik di sini untuk mengakses sumber
Visits: 1