Search
Close this search box.

KTT Kairo dan Tiga Poin Pokok Istimewanya

“Menyelesaikan masalah Palestina dan mencapai perdamaian yang adil dan komprehensif adalah pilihan strategis, kebutuhan darurat regional dan internasional, dan merupakan masalah perdamaian dan keamanan internasional. Satu-satunya cara untuk mencapai hal tersebut adalah dengan menerapkan resolusi PBB dan Dewan Keamanan yang terkait dengan masalah ini, dan mewujudkan negara Palestina yang merdeka dan berdaulat dengan ibu kotanya yaitu Yerusalem Timur, dengan cara mencapai solusi dua negara berdasarkan aturan hukum internasional, kerangka acuan yang disepakati, dan inisiatif Arab untuk perdamaian.

“Israel harus melaksanakan kewajiban dan komitmennya sesuai dengan hukum internasional, serta berbagai komitmen sebelumnya, termasuk hasil pertemuan Aqaba dan Sharm El-Sheikh. Israel juga harus memikul tanggung jawabnya dan menghentikan serangannya, juga menenangkan situasi di lapangan sebagai persiapan untuk menghidupkan kembali perundingan perdamaian.

“Juga menekankan akan pentingnya pengawasan historis Hashemite (Wangsa Hasyimiyah; Keluarga kerajaan Yordania berasal dari Wangsa Hashim/Bani Hasyim) atas situs suci Islam dan Kristen di Yerusalem dan perannya dalam menjaga identitas Arab, Islam, dan Kristen.”

Demikianlah bagian utama dari pernyataan penutup KTT tripartit yang diselenggarakan di Kairo atas undangan Presiden Mesir, yang dihadiri Raja Yordania dan Presiden Otoritas Palestina.

Kutipan poin pokok yang terdapat dalam penutup ini dapat dianggap sebagai rangkuman KTT dan isi yang paling menonjol. Adapun poin selebihnya tidak menyimpang darinya. Poin pokok ini dapat dibagi menjadi tiga inti pembahasan, yaitu proyek dua negara, pencegahan pecahnya konflik, dan pengawasan Hashemite. Kami akan membahas tiga poin inti ini secara komprehensif, yang akan menyingkap tujuan dan kepentingan dari KTT politik ini dan refleksinya terhadap permasalahan Palestina dan hubungan entitas Yahudi dengannya.

KTT tersebut membicarakan solusi dua negara dengan jelas, menyatakan bahwa ini adalah satu-satunya pilihan untuk menyelesaikan masalah Palestina dan mencapai perdamaian komprehensif. Juga bahwasanya proyek ini adalah apa yang disepakati oleh lembaga-lembaga, otoritas, hukum, dan perjanjian internasional.

Bagian ini—proyek dua negara—adalah judul utama dari semua pertemuan dan KTT yang berkaitan dengan masalah Palestina sejak Amerika mengambil dokumen permasalahan tersebut dan mengadopsi proyek dua negara sebagai solusi politik. Amerika tetap mempertahankan proyek ini, sebagaimana dikonfirmasi pada Jumat (18-8-2023) oleh Wakil Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Amerika, Vedant Patel, sebagai jawaban atas pertanyaan koresponden Al-Quds.com tentang alokasi entitas Yahudi sebesar 180 juta dolar untuk membangun lebih banyak unit pemukiman di Yerusalem dan Tepi Barat.

Begitu juga rezim-rezim tersebut, mereka akan tetap terikat pada proyek dua negara dan menutup mata terhadap sikap entitas Yahudi yang melanggar proyek tersebut dengan langkah-langkah praktis yang tidak menyisakan lahan bagi sebuah negara atau kuasi-negara. Hal ini tidak mengherankan, karena para budak berbicara dengan bahasa tuannya. Namun, penekanan pada proyek tersebut tidak berarti bahwa KTT itu ditujukan untuknya, karena Amerika sedang disibukkan dengan urusan-urusan besar, yaitu perang Ukraina dan Tiongkok.

Permasalahan Palestina saat ini tidak lagi menjadi prioritas, karena semakin dekatnya masa persiapan pemilu Amerika dan keberadaan pemerintahan nasional alkitabiah di entitas Yahudi yang tidak berupaya untuk mencari solusi, dan terhuyung-huyung tidak mampu mengambil berbagai keputusan krusial bagi entitas tersebut. Inilah yang mendorong kami untuk berpindah ke poin inti lain KTT, sehingga gambaran suramnya pertemuan tripartit ini menjadi jelas.

Mengurangi ekskalasi dan mencegah ledakan konflik adalah poros utama KTT, di mana KTT itu membahas dengan sangat jelas perkara ini. KTT tersebut membicarakan tentang perlunya entitas Yahudi mematuhi hasil-hasil KTT Aqaba dan Sharm El-Syeikh. Hakikat hasil-hasil KTT tersebut sesungguhnya terpusat seputar penghentian serbuan Yahudi ke kota-kota dan kamp-kamp, memberikan peluang kepada penguasa untuk bekerja sama dengan orang-orang yang diberi senjata, dan memaksakan hegemoninya di wilayah-wilayah yang diasumsikan tunduk padanya.

KTT ini berfokus pada entitas Yahudi yang belum patuh secara sempurna dengan hasil berbagai pertemuan tersebut, di mana ia masih saja melakukan penyerbuan dan pembasmian terhadap para mujahid dengan cara menyusahkan penguasa, menyulut kemarahan masyarakat, dan memberikan rasa takut akan meledaknya konflik.

Meskipun para rezim mengemis pada Israel untuk mematuhi hasil-hasil tersebut, mereka juga menekan pemerintah dan presidennya untuk melakukan serangan serius dan kuat yang menargetkan mujahidin, juga melarang aktivitas apa pun yang membahayakan keamanan Israel. Terlebih karena para rezim mengetahui sejauh mana kebutuhan Netanyahu dan pemerintahannya terhadap kelanjutan operasi militer di Tepi Barat, mengingat krisis internal dan protes yang berkelanjutan. Meskipun Israel tidak perlu perantara untuk melakukan itu, tapi mengingat tekanan Amerika, Eropa, dan kesepakatan yang disepakati di Aqaba dan Sharm el-Sheikh, suasana hilangnya pemerintah untuk melindungi dan kehadiran para militan dianggap sebagai suasana yang cocok untuk melakukan eskalasi dengan kedok politik, yaitu melindungi keamanannya. Tujuan dari pendekatan KTT tersebut untuk mengurangi eskalasi adalah untuk melaksanakan keinginan Amerika dalam mengelola permasalahan dan mencegah pecahnya konflik, bukan untuk melindungi para mujahid.

Para rezim tersebut ingin menghadapi para mujahid melalui pemerintahan, seperti yang terjadi saat ini. Rezim mendukung pemerintahan dan menekan faksi-faksi untuk membuka kedok dari kelompok jihad tersebut, sehingga pembasmian dan pembunuhan secara diam-diam terhadap para pemimpin mereka terjadi hampir setiap hari tanpa ada faksi mana pun yang mengambil tindakan. Sementara Netanyahu menginginkan hal itu terjadi secara langsung melalui tentaranya, tanpa mengabaikan layanan pemerintah, tujuan dalam pandangannya bersifat politis, bukan hanya secara militer.

Tersisa poin inti ketiga dari KTT, yaitu pengawasan Hashemite, karena rezim Yordania yang lemah menjadi takut akan pengawasan formalitasnya, mengingat pembicaraan tentang normalisasi yang akan segera terjadi dengan rezim Al-Saud serta masuknya Emirat dan Turki melalui dukungan dan institusi pada garis pengaruh formalnya di Masjidilaqsa. Rezim Yordania menganggap bahwa pengawasan ini termasuk pilar keluarga Hashemite yang berafiliasi dengan Britania, terlebih saat dalam keadaan lemah yang dapat mengikis kursi kekuasaan dan penerobosan besar Amerika terhadap kerajaan.

Selain itu, hal tersebut juga dianggap sebagai alat politik yang penting untuk menjadi bagian yang berpengaruh dalam penyelesaian politik apa pun yang berkaitan dengan Yerusalem dan Tepi barat. Oleh karena itu, dia berjuang secara politik untuk menjaga hal tersebut meskipun dengan bentuk yang hampir mengubah tatanan tempat salat Masjid Al-Qibali, setelah dibakar dan dinajiskan oleh pasukan entitas Yahudi.

KTT ini memiliki tiga poin inti: proyek dua negara, pengurangan kenaikan, dan pengawasan Hashemite. Seluruhnya ini kejahatan dalam kejahatan terhadap permasalahan Palestina dan rakyatnya. Ini sebuah tikaman pengkhianatan dalam sekejap, di mana entitas Yahudi menumpahkan darah di Nablus dan Yerikho. KTT ini juga mengumumkan proyek-proyek Yahudisasi yang menelan sisa tanah di Tepi Barat, melakukan Yahudisasi terhadap apa yang tersisa dari Yerusalem, berencana untuk membagi Masjidilaqsa secara spasial, dan berbicara tentang proyek Yudaisasi nasional yang didasarkan terhadap pembunuhan dan pengusiran rakyat Palestina.

KTT ini menunjukkan bahwa rezim adalah bagian dari musibah umat dan rakyat Palestina. Bahwa mereka bagian dari malapetaka dan bukan solusinya. Bahwa solusinya adalah rakyat—dengan komponen sipil dan militernya—harus menggulingkan rezim-rezim di  Yordania, Mesir, Sudan, Turki, Pakistan, Aljazair, dan semua negeri muslim, kemudian menyerahkan negara kepada kepemimpinan yang tulus dan sadar, yang mempersiapkan tentara dan mengumumkan jihad untuk membebaskan Palestina dan menyelamatkan rakyatnya. Allah Swt. berfirman, “Jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam urusan agama, maka kamu wajib memberi pertolongan.” [FR/GA]

Diterjemahkan dari Surat Kabar Al-Rayah edisi 457, terbit pada Rabu, 7 Safar 1445/23 Agustus 2023 M

Klik di sini untuk mengakses sumber 

Visits: 7

Tags

Bagikan tulisan ini

Tulisan menarik lainnya...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Category

Gabung Channel Telegram