Serangan Houthi terhadap kapal dagang dan kapal angkatan laut AS belum berhenti sampai saat ini. Houthi telah mengumumkan pada Kamis (10-02-2024), bahwa mereka menargetkan kapal perusak ‘USS Greeley’ dan kapal dagang milik AS di Laut Merah. Hal ini mungkin membingungkan karena masalahnya terlalu rumit dan kompleks.
Tindakan Houthi yang menargetkan kapal-kapal dagang dengan rudal merupakan langkah lanjutan setelah mereka gagal menguasai kapal-kapal tersebut dan menyeretnya ke pelabuhan Hodeidah, seperti yang terjadi pada kapal Leader Galaxy yang sampai sekarang masih berlabuh di pelabuhan Hodeidah.
Adapun tujuan menargetkan kapal perusak angkatan laut AS tidak lebih dari menargetkan opini publik lokal, sehingga mereka percaya bahwa permusuhan Houthi terhadap Amerika adalah nyata dan tidak palsu.
Sebelumnya, gambar kapal yang menjadi sasaran telah disiarkan. Hal itu mengungkapkan bahwa rudal yang menargetkan kapal tersebut adalah rudal pembakar yang dapat menyebabkan kebakaran pada sasaran yang mereka targetkan. Sementara ini tidak ada gambar yang diperlihatkan dari kapal perusak Amerika Greeley setelah menjadi sasaran bagi Houthi, yang berarti bahwa kapasitas serangan yang diberikan Houthi tidak terlalu besar.
Peristiwa di Laut Merah mengungkap keunikan Amerika dalam membuat rencana tanpa melibatkan anggota-anggota penting NATO, seperti Perancis dan Spanyol. Amerika merasa cukup menjadikan negara anggota NATO yang lain dalam masalah pendanaan saja, yang mana Amerika masih bersikeras menaikkan pembayaran Eropa menjadi 4%, bukan 2% dari anggaran keseluruhannya. Ini berarti Amerika adalah pemilik skema tersebut, dan negara lain adalah saksi palsu.
Selat gerbang Al-Mandab sangat penting dan berpengaruh bagi perdagangan internasional, baik dari segi banyaknya minyak yang melewatinya dari selatan yang merupakan wilayah penghasil minyak menuju utara yang dikenal sebagai kawasan industri, juga dari segi jumlah kapal dagang yang melewatinya.
Eropa adalah pihak yang paling dirugikan akibat terganggunya pelayaran melalui gerbang Al-Mandab. Mereka menyatakan niat untuk menduduki Yaman dan mengembalikan perannya sebagai penjajah lama. Pada saat yang sama, Amerika mempersiapkan diri untuk mengalihkan pergerakan kapal ke arah Amerika melalui Samudera Hindia dan Pasifik, bukan melalui Samudera Pasifik yang selama ini menjadi andalan Amerika.
Seiring dengan kehadiran Amerika dan Inggris dalam insiden Laut Merah, masing-masing mempunyai tujuan tersendiri mengingat konflik internasional antara mereka dan Yaman. Amerika berkepentingan untuk mengokohkan agen-agen barunya di Yaman dan Timur Tengah. Sedangkan Inggris berupaya memberikan dukungan kepada agen-agen yang tersisa, sehingga kehadirannya dalam koalisi dapat bertahan pada posisi perdana menteri di Sana’a dan ketua majelis permusyawaratan dan perwakilan, Tareq Muhammad Abdullah Saleh di Mikha, dan antrean panjang agen setelah keberangkatan resminya dari Yaman Selatan.
Serangan rudal dan udara yang dilancarkan Amerika dan Inggris mengingatkan kita pada koalisi yang dipimpin Riyadh selama sembilan tahun yang melawan Houthi di Yaman, dan apa yang berakhir dengan mereka tetap bertahan dan tidak menyingkirkan mereka seperti yang dikabarkan. Adapun Tiongkok yang kehadirannya tidak terlihat, kapalnya absen dari serangan Houthi di Laut Merah.
Tiongkok menyatakan tidak ikut serta pada apa yang terjadi di Jalur Gaza dan agresi terhadap Yaman, meski disamping itu agresinya terhadap Muslim Uyghur di Turkistan Timur, Xinjiang, terlihat jelas di seluruh dunia. Meskipun secara fisik Tiongkok tidak ikut dalam serangan di Laut Merah, namun Tiongkok hadir dalam memfasilitasi hubungan mediasi melalui Iran untuk menghentikan serangan Houthi di Laut Merah, dengan memulai kemunculannya di depan umum dengan pernyataan menahan diri menyusul penargetan kapal perusak USS Greeley.
Iran juga hadir pada apa yang terjadi di Laut Merah dengan senjatanya, aktivitas militernya, dan pernyataan para politisinya.
Serangan Houthi yang ditujukan kepada kapal-kapal Amerika dan Inggris yang diadopsi oleh Kementerian Pertahanan, dan dinyatakan oleh juru bicaranya, Brigadir Jenderal Yahya Sarie, itu menargetkan moral pengikutnya agar meningkat saja dan menambah keyakinan mereka bahwa mereka sedang memerangi Amerika dan Israel seperti dalam slogal-slogan mereka. Bahwa mereka sedang bergerak maju untuk menyerang Jazirah Arab, hingga ke Syam, untuk membebaskan Palestina dari tangan Yahudi penjajah melalui pertempuran Fatah Al-Mawud. Yang mendorong para pengikutnya dalam mempersiapkan hal tersebut adalah melalui pelatihan dan mobilisasi yang diadakan di banyak provinsi di Yaman, yang mencontoh pasukan Al-Quds di Iran.
Serangan Houthi di Laut Merah terjadi bersamaan dengan serangan serupa yang dilakukan Pasukan Mobilisasi Populer (PMF) di Irak dan Suriah, yang berarti memberikan peluang bagi “poros perlawanan” untuk muncul dengan tujuan menyulut perang kelompok yang luas di Timur Tengah, dan hal ini bukan untuk menghadapi Amerika Serikat sebagaimana dinyatakan dalam pernyataan Hossein Amir-Abdullohian, Menteri Luar Negeri Iran, bahwa respon Iran terhadap ancaman Amerika akan tegas dan langsung.
Solusi sementara yang diperkenalkan oleh entitas Yahudi adalah melalui jalur darat yang panjang dari UEA melalui Najd, Hijaz, Yordania dan kemudian ke sana. Hal ini mengungkapkan keterlibatan para pelaku normalisasi secara terbuka dan umum. Namun, jalur darat tersebut tetap tidak dapat menggantikan jalur laut yang melewati Laut Merah, karena kurangnya kemampuan dalam mengakomodasi beban muatan dan biaya tinggi.
Sesunguhnya negara penjajah seperti Amerika, Prancis, dan Tiongkok memiliki pangkalan militer di Djibouti dan memegang kekuatan untuk mempengaruhi di wilayah tersebut. Sedangkan kawasan di Timur Tengah juga sejatinya memiliki faktor-faktor penguatnya, yaitu Islam; minyak yang melimpah, tambang mineral, sumber daya manusia, serta keadaan mereka yang mana akan pulih kembali setelah terpuruk ratusan tahun, dan terlebih karna tidak adanya pemerintahan Islam atas wilayah tersebut.
Sungguh tidak waras bagi siapapun yang meninggalkan Khilafah, sedang mereka justru berusaha untuk mengembalikan lagi penjajahan secara militer untuk mencegah terwujudnya Khilafah di wilayah tersebut dengan mencari bantuan dari orang-orang yang dahulu membantunya, baik dari orang Arab maupun non-Arab. Hal inilah yang akhirnya mewajibkan kaum muslimin untuk bersegera dan tidak ragu dalam mendirikan negara Khilafah kedua yang sesuai dengan metode kenabian. [RY/AE]
Ditulis oleh: Insinyur Shaqiq Khamis, Yaman
Diterjemahkan dari Surat Kabar Al-Rayah edisi 482, terbit pada Rabu, 04 Sya’ban 1445 H/14 Februari 2024 M
Klik di sini untuk mengakses sumber
Visits: 5