Search
Close this search box.

Kepresidenan Tunisia dan Pihak Oposisi: Konflik Budak untuk Membuat Negara Bertekuk Lutut

Oleh: Prof. Muhammad An-Nasir Syuwaikhah

Beberapa hari terakhir, banyak sekali pembicaraan di media mengenai ketegangan retorika antara pihak-pihak yang bertikai di Tunisia, yaitu Presiden Kais Saied di satu sisi, dan pihak oposisi—termasuk Rached Ghannouchi, Ketua Parlemen sekaligus Ketua Partai Ennahda—di sisi lain. Ketegangan retorika yang dimaksud adalah pernyataan Rached Ghannouchi pada Senin (27/11/2021) yang mengatakan, “Parlemen telah kembali. Orang yang suka akan menyukainya dan orang yang benci akan membencinya.”

Retorika lainnya adalah pidato Presiden Saied di hari Kamis (30/11/2021) ketika pertemuannya dengan Dewan Tertinggi Angkatan Darat, di mana presiden memuji Angkatan Bersenjata Militer dalam upaya mereka untuk menjaga negara dan mempertahankan tanah air, juga atas peranan mereka dalam mengamankan pemilu, pemeriksaan nasional, dan himbauan vaksinasi.

Saied menekankan bahwa Tunisia kuat karena rakyatnya, juga karena sejarahnya yang penuh dengan para pahlawan dan tokoh-tokoh besar. Saied juga menyampaikan bahwa Tunisia membutuhkan orang-orang tulus yang setia pada negara. Saied menghimbau para tentara agar terus bekerja dengan amanah penuh untuk melawan semua orang yang mengintai negara, memenuhi harapan rakyat, dan untuk tidak terinspirasi oleh undang-undang yang tidak mungkin diterapkan (UU No. 38 yang telah disahkan oleh Dewan Parlemen).

Saied berkata, “Negara ini bukan sebuah potongan yang lemah. Lembaganya akan bertahan. Siapa pun yang berusaha menyerang negara ini atau menginfiltrasi lembaganya, maka dia orang yang sesat.” Tak lupa ia menegaskan bahwa ia akan bekerja sesuai konstitusi dengan memperhatikan hak-hak dan kebebasan, serta menerapkan undang-undang ke seluruh masyarakat secara merata.

Pertanyaannya: Apakah kita—dengan posisi kita di hadapan ketegangan retorika ini—menuju gerbang baru krisis politik di Tunisia? Apa motif dari ketegangan tersebut? Apa tujuannya? Apakah itu untuk kebaikan negara?

Pidato Presiden: Sebuah Ketegangan atau Sekadar Reaksi Biasa?

Pidato Presiden Saied merupakan tanggapan atas pernyataan Rached Gannouchi dan penasehatnya, Riadh Chaibi yang mengatakan, “Bahwasanya Dewan Parlemen telah kembali dan tugas pertama mereka adalah membatalkan Putusan 25 Juli.”

Jadi, pidato Presiden Saied merupakan balasan atas perkataan oposisinya, yang berisikan tuduhan pengkhianatan dan ancaman, kemudian penegasan bahwa jalan parlemen telah berakhir dan tidak bisa kembali.

Ini bukanlah ketegangan dari presiden Saied, melainkan konsistensi dalam gaya bahasa dan ungkapan-ungkapan itu sendiri. Maka semua pidato Kais Saied sejak 25 Juli, bahkan sejak kampanye pemilunya di tahun 2019, sebenarnya merupakan perkara yang sama.

Pidato-pidato Saied ini tidak memberi perubahan baru sedikit pun hingga menjadi sesuatu yang terealisasi, justru menjadi sesuatu yang membosankan dan dihina oleh masyarakat. Pidato yang berkonotasi ancaman itu selalu diulang tanpa adanya aksi nyata yang dilakukan di lapangan, bahkan yang masyarakat lihat adalah kelemahan dan kerugian pihak pendukung yang bertambah setiap harinya. Dari sini, semakin meningkat pula kesadaran masyarakat bahwa presiden tidak mampu melakukan apapun. Ia tidak mampu menyelesaikan masalah limbah rumah tangga di kota paling besar di Selatan Tunisia, Sfax, maka bagaimana ia mampu untuk menyelesaikan masalah yang lebih dari itu?!

Pidato Ketua Parlemen, Gannouchi, Merupakan Ketegangan yang Disengaja. Kenapa?

Dalam permasalahan ini, kita dapat menganalisa seruan-seruan oposisi khususnya Partai Ennahda. Mengutip perkataan Ghannouchi, “Parlemen telah kembali. Orang yang suka akan menyukainya dan orang yang benci akan membencinya.”, juga perkataan penasihat politiknya bahwa parlemen akan kembali bekerja dan membatalkan semua putusan presiden. Inilah yang pantas disebut ketegangan.

Jadi, ketegangan bermula dari Partai Ennahda. Kami memandang bahwa ketegangan ini berada dalam jalur yang jelas. Pada 26 Juli, Ghannouchi dan pengikutnya menarik diri dari parlemen—setelah sikap non-konflik Qatar dan Kementrian Luar Negeri Inggris yang harus mereda—. Ketika itu, Ghannouchi hanya merespon sedikit dan memberi isyarat akan turun hingga akhirnya mengajukan pengunduran diri.

Adapun demonstrasi para pendukung Gannouchi untuk menolak kudeta dilakukan atas nama rakyat—dan bukan atas nama partai—, serta mengandung unsur-unsur sekulerisme yang berbicara atas nama gerakan di bawah kepemimpinan yang jelas (dari organisasi masyarakat sipil) dalam unjuk kekuatan yang dilakukan dua kali, pertama pada tanggal 10 Oktober, dan yang kedua pada bulan November di depan Gedung Parlemen.

Kemudian penegasan provokatif Ghannouchi bahwa “Parlemen telah kembali. Orang yang suka akan menyukainya dan orang yang benci akan membencinya.” ini muncul bersamaan dengan undangan Persatuan Antar-Parlemen Internasional dalam konferensinya yang ke-143 di Spanyol, yang dihadiri oleh 5 wakil dari parlemen Tunisia yang telah dibekukan.

Ghannouchi dan para pengamat menganggap undangan tersebut sebagai pengakuan eksplisit terhadap parlemen Tunisia. Di mana sebelumnya, parlemen Eropa telah memberikan suara pada Putusan 14 Poin yang menentang Prosedur 25 Juli dan mengirimkan salinan dari putusan tersebut kepada Ketua Parlemen Tunisia, Rached Ghannouchi, sebagai pengakuan yang jelas terhadap parlemen Tunisia berikut ketuanya.

Dari jalur ini, terlihat jelas bahwa Ghannouchi dan partainya mendapat dukungan politik dan moral dari Uni Eropa dan Persatuan Antar-Parlemen Internasional. Berdasarkan dukungan ini, Ghannouchi mengeskalasi pidatonya menentang presiden. Dalam pernyataan yang provokatif, ia memprovokasi presiden—yang tindakannya dapat diprediksi—yang memanfaatkan pertemuannya dengan Dewan Tertinggi Angkatan Darat untuk menanggapi perkataan Ghannouchi.

Tampaknya presiden terpancing untuk mengatakan tanggapan tersebut di depan Dewan Tentara. Di hadapan kebisuan para tentara—karena mereka tidak memiliki peran kecuali menjaga institusi negara—, dan surutnya dukungan politik terhadap presiden Saied—baik dari pendukung internalnya, maupun dari Prancis yang tidak bergerak sama sekali walaupun mereka telah mendukung Kais Saied sebelumnya—, ia menyampaikan pidato yang kemudian memicu badai tanggapan dari semua partai/organisasi oposisinya. Semua menuduh Kais Saied menjerumuskan tentara ke dalam konflik politik dan membuat mereka menyimpang dari sifat netralnya.

 

Pada akhirnya, peristiwa yang terjadi di Tunisia akan menimbulkan kepenatan, pemborosan potensi, serta keputus-asaan bagi masyarakat di bawah krisis ekonomi yang mencekik dan membuat mereka kelaparan, sampai-sampai masyarakat harus berpuas diri dengan apa yang diberikan kepada mereka. Bahkan masyarakat tidak percaya pada revolusi dan apa yang dibawa kepada mereka.

Ringkasan Permasalahan: Konflik Hakiki, Pihak-Pihaknya, Permasalahannya, dan Sikap yang Harus Dilakukan

Realitas krisis ini tidak terletak pada Konflik Budak, karena perjuangan mereka bukan atas kemauan mereka sendiri, melainkan diarahkan oleh tuan-tuan mereka. Mereka bertarung jika tuannya menginginkan, dan berhenti jika diperintahkan untuk berdamai dan bersepakat.

Memang benar, konflik antarsayap kekuasaan di Tunisia akan berakhir dengan telepon yang masuk dari luar negeri, tetapi para penjajah masih ingin menyibukkan masyarakat karena mereka akan menyusup ke sendi-sendi negara, guna membangun keseimbangan baru sebagai pengganti rezim yang dijatuhkan melalui revolusi.

Konflik tidak akan berakhir sampai para duta besar berhasil meletakkan pondasi baru yang menjamin mereka bahwa negara-negara di kawasan itu akan tetap terpisah-pisah dan tunduk pada mereka. Barulah kemudian diumumkan akhir dari konflik dan awal dari era baru, yaitu era kolonialisme dan perwalian atas negara-negara demokrasi yang sedang berkembang.

Inti dari permasalahan yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa umat Islam saat ini, termasuk Tunisia, memulai revolusi untuk melawan kondisi yang disebabkan oleh demokrasi dan kapitalisme. Revolusi ini telah mengancam keberadaan kapitalis dan imperialis hegemoni, dengan ancaman terbesar bagi kolonial bahwa umat yang dihadapinya adalah umat Islam yang sejarahnya penuh dengan kejayaan dan kemenangan. Bahkan generasinya pun memeluk agama Islam untuk mengembalikan negeri, agama, dan kejayaan mereka. Inilah konflik yang sebenarnya.

Mengenai Pihak-pihak yang Berkonflik

Pihak pertama: Penjajah, diwakili oleh Eropa, Inggris, dan Amerika yang memandang bahwa negeri-negeri kita sebagai lokasi strategis yang ingin dikuasainya. Kemudian dari negeri-negeri ini mereka menguasai Afrika Utara. Koalisi ini menggunakan kepresidenan, parlemen, partai, dan organisasi yang dinamakan masyarakat sipil untuk mencapai tujuannya.

Adapun pihak kedua dalam konflik ini: mereka adalah keluarga kita dari Tunisia, yang bangkit memberontak melawan sistem kolonial. Mereka bersama Partai Hizbut Tahrir yang menyerukan pencabutan sistem dan simbol-simbolnya, kemudian mendirikan Khilafah Rasyidah yang sesuai dengan metode kenabian untuk meneruskan apa yang dimulai oleh Rasulullah saw.

Adapun isi dari konflik ini:

Penjajah menginginkan hegemoni dan kontrol, sementara umat Islam menginginkan pembebasan. Mereka juga menginginkan Islam untuk menyelematkan diri mereka bahkan seluruh manusia dari kezaliman kapitalis, kediktatorannya, serta perbudakan manusia oleh sistem demokrasi.

Maka sekarang, realitas konflik ini harus disadari kemudian dibawa ke arah yang benar, yaitu untuk menghadapi kafir kolonial beserta sarana-sarananya dan mencabut mereka beserta pengaruhnya. Tentara juga wajib berdiri di sisi umat, mendukungnya, dan mengakhiri konflik budak ini. Inilah inti sebenarnya.

Diterjemahkan dari Surat Kabar Ar-Rayah edisi 369, terbit pada Rabu, 11 Jumadilawal 1443 H/15 Desember 2021 M

Klik di sini untuk mengakses sumber

Visits: 9

Tags

Bagikan tulisan ini

Tulisan menarik lainnya...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Category

Gabung Channel Telegram