Oleh: Prof. Abu Hamzah Al-Khathwani
Masjidilaqsa merupakan salah satu isu penting dari berbagai isu umat Islam. Aspek pensyariatannya bisa diuraikan dalam Surah Al-Isra’ dan hadis melakukan perjalanan untuk memahami politik secara gamblang yang menjelaskan solusi fikih khususnya terkait Masjidilaqsa, yakni sebagai berikut:
Allah Swt. berfirman dalam QS Al-Isra’, “Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidilaqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.”
Terdapat hubungan erat antara kesucian Masjidilharam dan Masjidilaqsa. Pertanyaan pertama disini, apa hukum syara terkait pemahaman hubungan antara kedua masjid tersebut?
Jawabannya, dari hubungan ini, dapat dipahami adanya kewajiban mempertahankan kedua masjid tersebut karena tempat yang suci mendorong adanya penjagaan. Ayat tersebut sebanding dalam upaya mempertahankan Masjidilaqsa dan Masjidilharam karena kesucian mereka merupakan satu kesatuan sehingga penjagaannya pun sama. Hal inilah yang menjadi hukum syara wajib bagi seluruh kaum muslimin.
Adapun maksud dari firman Allah Swt., “… yang telah Kami berkahi sekelilingnya …” adalah luas area tersebut. Setelah kami meneliti kekhususan tempat ini, kami menemukan menurut mayoritas mufasir mengatakan bahwa tanah yang Allah Swt. berkahi di sekitar Masjidilaqsa berarti semua negeri Syam dan perbatasan alamnya—yang dikenal pada saat itu yang membentang dari El-Arish dan Tabuk di selatan, Aleppo dan Adana di utara, Laut Mediterania di barat, hingga Sungai Efrat di timur—.
Setiap negeri yang berada dalam perbatasan ini adalah yang diberkahi karena berada di sekeliling Masjidilaqsa. Berlaku atasnya sifat,“… (Masjidilaqsa) yang telah Kami berkahi sekelilingnya ….”
Oleh karenanya, aturan melindunginya sama saja dengan aturan melindungi Masjidilaqsa dan Masjidilharam. Melindungi Al-Quds sama dengan melindungi Yafa dan Haifa. Melindungi setiap negeri di wilayah Syam sama dengan melindungi Makkah.
Pertanyaan kedua yang muncul dari pembahasan ini adalah bagaimana mempertahankan tanah-tanah yang diberkahi ini? Siapa yang paling berhak mempertahankannya?
Jawabannya adalah bahwa tanggung jawab (mempertahankan dan melindungi) terletak pada tentara yang memiliki kapabilitas mempertahankan wilayah karena mereka dianggap berkemampuan untuk melakukannya. Adapun orang yang berwenang menjalankannya adalah khalifah, seorang imam yang menjadi pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya.
Ketika imam tersebut belum ada, wajib untuk mewujudkannya dalam rangka mengurus urusan umat. Urusan yang paling utama ialah melindungi negeri-negeri yang diberkahi.
Tidak bisa dikatakan bahwa dalam kondisi tidak adanya imam—seperti saat ini—pengurusan tersebut beralih ke tangan rakyat biasa yang tidak berkemampuan untuk berperang dan mempertahankan. Sungguh tidak bisa dikatakan seperti itu. Dengan demikian, wajib untuk mewujudkan adanya seorang Imam untuk dibaiat dalam rangka melaksanakan kewajiban ini.
Secara sederhana, imam berarti Daulah Islam dengan seperangkat militer, intelijen, dan struktur pemerintahan. Mewujudkan keberadaan imam tersebut selain merupakan suatu kewajiban, ia juga wajib dalam rangka membebaskan Al-Aqsa yang diberkahi.
Jika pembebasan Al-Aqsa adalah kewajiban atas kaum muslimin dan kewajiban ini tidak bisa dijalankan kecuali dengan mewujudkan seorang imam, maka menghadirkan imam ini merupakan kewajiban dengan adanya kaidah “Suatu perkara yang wajib, apabila tidak bisa sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu (menjadi) wajib hukumnya”.
Hadis Rasulullah saw. yang masyhur, “Janganlah kalian bersusah payah melakukan perjalanan jauh, kecuali ketiga masjid, yaitu Masjidilharam (di Makkah), masjidku ini (Masjid Nabawi di Madinah), dan Masjidilaqsa (di Palestina).”
Hadis ini berisi tentang kewajiban kaum muslimin untuk mengupayakan perjalanan ke Masjidilaqsa, sebagaimana melakukan perjalanan ke Masjidilharam dan Masjid Nabawi.
Apabila terdapat hambatan yang menghalangi kaum muslimin untuk melakukan perjalanan ke Masjidilaqsa, seperti adanya penjajahan, kaum muslimin harus berupaya untuk menghilangkan hambatan tersebut.
Jika hambatan tersebut tidak dapat dihilangkan kecuali dengan perang dan mengerahkan tentara, wajib bagi kaum muslimin untuk menunjuk imam yang dibawah kepemimpinannya atas negara dan tentara untuk menghilangkan penjajahan ini dalam rangka melaksanakan hukum syara.
Kewajiban kaum muslimin mengupayakan perjalanan ke Masjidilaqsa sesuai dengan kaidah “Suatu perkara yang wajib, apabila tidak bisa sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu (menjadi) wajib hukumnya”.
Secara singkat, isu Masjidilaqsa adalah bahasan ayat-ayat Al-Isra’ dan hadis tentang mengadakan perjalanan. Hukum syara yang ditunjukkan oleh ayat dan hadis terkait hal tersebut mengharuskan adanya upaya untuk mengadakan imam, yakni mendirikan kekhalifahan yang pasukannya akan melindungi seluruh tanah yang diberkahi dan pada saat yang sama juga menghilangkan rintangan-rintangan yang menghalangi perjalanan ke Al-Aqsa.
Inilah aspek pensyariatan dari ayat dan hadis yang menunjukkan perlunya mengangkat imam (seorang khalifah) untuk melaksanakan perbuatan-perbuatan besar ini. Ini bertentangan dengan yang dikampanyekan oleh kaum pragmatis yang mengabaikan makna yang jelas ini, dan menyibukkan masyarakat dengan peristiwa tentang berita, kejadian, dan ramalan perubahan yang terjadi tanpa usaha. Mereka membius orang dan mengubahnya menjadi penentu hal-hal gaib. Mereka tidak memperbaiki kecuali hanya menunggu dan berpegang teguh pada ilusi![ ]
Diterjemahkan dari Surat Kabar Al-Rayah edisi 388, terbit pada Rabu, 26 Ramadan 1443 H/27 April 2022 M
Klik di sini untuk mengakses sumber
Visits: 38