Partai Iran Lebanon (Hizbullah) mengumumkan Operasi Arbain selepas fajar pada hari Minggu (25 Juli 2024). Hizbullah menyatakan bahwa dalam serangan tersebut mereka meluncurkan 340 Roket Katyusha disertai dengan pawai penyerangan yang menargetkan sasaran tertentu. Namun, hasil operasi ini tidak diketahui dengan jelas.
Di waktu petang pada hari yang sama, Sekretaris Jenderal Hizbullah, Hassan Nasrullah, menegaskan dalam pidatonya bahwa serangan ini ditujukan untuk menanggapi pembunuhan Fouad Shukr, yang dikenal sebagai Al-Hajj Mohsen, yang dibunuh pada Selasa (30-7-2024) di pinggiran selatan Beirut.
Nasrullah berkata, “Kami menganggap bahwa operasi untuk menanggapi pembunuhan sosok pemimpin, martir, Al-Hajj Mohsen, serta penargetan pinggiran kota telah usai,” Dia menambahkan, “Jika hasil operasi ini—dalam pandangan kami—tidak mencukupi, kami akan memberikan tanggapan di lain waktu. Insyaallah dalam waktu dekat akan tiba masanya.”
Fakta adanya Operasi Preemptive yang dijalankan Yahudi setengah jam sebelum terjadi Operasi Arbain menegaskan bahwa mereka telah diberitahu perihal operasi ini. Dapat dipastikan pula, bahwa Hizbullah menginformasikan kepada Iran, yang mana kemungkinan besar Iran pun menginformasikan kepada AS guna mengoordinasikan masalah ini dengan mereka (karena Iran adalah negara yang tunduk pada AS) untuk menghindari semakin besarnya serangan timbal balik dari pihak Yahudi yang dapat memicu meluasnya perang regional.
Oleh karena itu, Nasrullah memberikan jaminan kepada orang-orang di selatan untuk kembali ke rumah-rumah mereka setelah sebelumnya ditinggalkan—sebab mereka mengira serangan ini sebagai manifestasi dari ancaman orang-orang Yahudi di Lebanon, karena begitu intens dan kuatnya pemboman di waktu fajar pada hari itu—dengan mengatakan dalam pidatonya bahwa perang tidak akan meluas, “Barangsiapa yang ingin kembali ke rumahnya, hendaknya ia kembali.”
Hal yang menarik perhatian dalam peristiwa ini adalah deklarasi Kepala Staf Gabungan AS, Jenderal Charles Q. Brown. Deklarasi yang dirilis Reuters ini menyatakan bahwasanya Operasi Arbain hanyalah satu dari dua serangan besar yang Hizbullah ancam akan melancarkan keduanya, guna melawan Israel pada minggu-minggu terakhir. Ketika ia ditanya apakah bahaya meletusnya perang regional telah meredam saat ini, Brown menjawab, “Ya, sejauh ini sudah meredam.”
Maka, keselarasan pernyataan-pernyataan tersebut, juga situasi aksi timbal balik, ditambah hak eksklusif Hizbullah terhadap operasi ini—yang mana sangat jauh berbeda dari respons Iran terhadap pembunuhan Haniyeh di rumahnya sendiri, juga jauh dari respons Yaman atas Hodaedah—merupakan perkara taktis, sebagaimana yang dijelaskan oleh Abdul Malik Al Houthi.
Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa ada kolusi regional di antara pihak Iran dengan kekuatan internasional aktif (khususnya AS), bahwa ini adalah batasan proses operasi yang disepakati dan prosesnya telah berakhir. Adapun respons Iran terhadap pembunuhan Haniyeh jelas memperlihatkan adanya penundaan, penangguhan, dan perubahan sikap; dari sikap perang menjadi pengambil jalur internasional dan diplomatik. Hal-hal yang menunjukkan bahwa saat ini tidak ada respons, setidaknya dalam jangka menengah serta mungkin jangka panjang.
Dari sini, dapat dipahami bahwa serangan ini hanyalah untuk menjaga citra Hizbullah di hadapan publik, dengan merespons pembunuhan komandan militer senior mereka. Hal ini pun menunjukkan tidak adanya serangan Iran yang ditujukan untuk merespons pembunuhan Haniyeh yang mungkin sudah ditunggu-tunggu oleh Hizbullah, supaya serangan tadi menjadi serangan gabungan guna memberikan dampak media yang lebih kuat, meskipun dampak militernya tidak signifikan.
Situasi yang terjadi di Palestina dan Lebanon selama sebelas bulan terakhir menjadi faktor yang memunculkan pertanyaan-pertanyaan serius: Apakah perang ini benar-benar berkaitan dengan Gaza serta apa yang terjadi di sana? Ataukah demi “mempertahankan keseimbangan” seperti yang dikatakan oleh Nasrullah dalam pidatonya? Di manakah “kesatuan medan perang” yang dicanangkan setelah Operasi Saif Al-Quds pada Mei 2021 lalu?
Tampaknya serangan ini tak selaras dengan tuntunan Gaza, yakni bersatu dalam front perlawanan yang besar bersama Palestina, sebagaimana yang disampaikan oleh Muhammad Deif, Komandan Militer Brigade Al-Qassam, ketika permulaan Operasi Badai Al-Aqsha. Sebagaimana yang disebutkan Yahya Sinwar, serangan ini juga tidak muncul sebagai respons gabungan dari satu poros yang terdiri dari Suriah, Iran, Lebanon, dan Yaman atas pembunuhan dan serangan menyakitkan.
Apa yang terjadi saat ini hanya memiliki satu penafsiran, bahwasanya hal ini berjalan sesuai dengan dikte Iran yang tidak menginginkan perang yang meluas, dan inilah yang diinginkan AS, di mana Iran berputar mengelilingi orbitnya sehingga ia tidak dapat menghindar meski ada kesempatan, di saat entitas Yahudi runtuh di hadapan serangan mujahid yang sabar dan beriman.
Ya, inilah yang diinginkan AS. Ia hadir dengan pengaruhnya di kawasan guna memaksakan solusinya terhadap masalah Palestina, yakni melalui “pengintegrasian Israel dengan sekitarnya”. Hal ini disampaikan Biden dalam pidatonya pada 18 Oktober 2023, di puncak keterkejutan Yahudi akibat Operasi Badai Al-Aqsha.
Yahudi yang dipimpin oleh para ekstremisnya, seperti Ben Gvir, Smotrich, Amichai Eliyahu, dan Netanyahu, menginginkan sebuah negara Yahudi, dan mereka melihat orientasi AS tidak sesuai dengan kepentingan mereka dan menjadikan Israel sebagai negara yang bergantung pada AS.
Keselarasan antara apa yang diinginkan AS, agen-agennya, serta mereka yang berafiliasi dengan AS telah tercermin di lapangan. Hal ini guna mengalihkan fokus Hizbullah beserta anggotanya; dari pertempuran dan jihad, menjadi pengalihan dan dukungan yang tidak dapat mengakhiri pendudukan atau menghentikan pertumpahan darah di Gaza ataupun Lebanon.
Sebaliknya, hal ini malah lebih mendorong orang-orang Yahudi, sebab mereka merasa aman untuk memperluas radikalisme di Tepi Barat dan kamp-kampnya, dengan membunuh, menghancurkan, dan menangkap mereka. Semua ini memperjelas bahwa pengalihan perhatian dan dukungan hanyalah untuk memperbaiki syarat-syarat negosiasi dengan entitas Yahudi.
Fakta dan realita membuktikan bahwa tidak ada solusi lain untuk mencabut entitas Yahudi kecuali dengan memeranginya. Akan tetapi, pertempuran faksional ini meskipun dapat mencetuskan kemarahan terhadap musuh, sejatinya ia terjadi melalui poros-poros yang berafiliasi, dan adanya rezim-rezim boneka yang melingkupi dan mengekang Palestina.
Rezim ini berfokus untuk menjadikan akhir dari pertempuran adalah meja perundingan, di mana negara-negara besar dan regional yang berafiliasi dengan mereka dapat memperpanjang proyek dan rencana-rencana mereka, dan bukan berfokus untuk mencabut penjajahan.
Pertempuran dengan rintangan semacam ini tidak akan dapat mengakhiri penjajahan ataupun mengembalikan sebuah wilayah. Yang akan mengakhiri penjajahan adalah bergeraknya pasukan, penggulingan rezim penjajah, lalu mengangkat seorang imam yang umat berperang di bawah pimpinannya dan berlindung kepadanya. Imam yang tidak akan menjual para pejuang dan mujahidin dari bawah meja perundingan untuk membuat surat-surat perjanjian, melainkan berperang untuk membuat rida Tuhan Semua Makhluk. Maka, akankah ada seseorang yang berakal sehat dari sebuah negara‐beserta para pendukung dan kekuatannya—yang akan mengulangi sejarah kaum Ansar?
“Dan pastilah Allah akan menolong siapa saja yang menolong-Nya, sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.”(QS Al-Hajj: 40)[KZ/AZ]
Ditulis oleh: Ir. Majdy Ali
Diterjemahkan dari Surat Kabar Al-Rayah edisi 511, terbit pada Rabu, 1 Rabiulawal 1446 H/04 September 2024 M
Klik di sini untuk mengakses sumber
Visits: 22