Oleh: Prof. Ahmad Muhathab
Keberlangsungan krisis di Libia juga kegentingannya terjadi karena intervensi asing yang terus menerus ada di dalamnya. Hal ini akan terus berlangsung hingga menjadi jelas, bahwa pihak-pihak internal yang bertikai tidak lagi memiliki peran sebagai penentu dalam menyelesaikan krisis dengan cara apa pun.
Hal ini telah menyebabkan munculnya berbagai kebijakan yang tampaknya menjadi solusi terhadap krisis, padahal realitasnya hal itu membuat krisis semakin kompleks dan parah. Setelah Haftar dan para pendukungnya gagal menguasai ibu kota; lantas kalah serta mundur ke timur sampai Sirte; ia masih tetap menguasai lebih dari separuh negara. Sejumlah aksi, pertemuan, dan keputusan-keputusan diatur oleh negara-negara Barat di Moskow, Berlin, Paris, Palermo, dan Kairo. Semua pertemuan ini tampaknya mencari solusi untuk krisis yang sedang terjadi. Padahal, sebenarnya pertemuan tersebut hanyalah perselisihan di antara negara-negara yang turut campur dalam masalah Libia. Kemudian pihak-pihak internal hanya menjadi “boneka” di balik pertikaian negara-negara besar. Gambaran akhir dari konflik ini adalah perselisihan yang terjadi di Dewan Keamanan, tentang siapa kepala misi PBB baru di Libia menyusul Stephanie Williams yang telah menyelesaikan misinya.
Dalam pernyataan perwakilan Libia untuk PBB, Taher Al-Sunni memaparkan, “Ada kesulitan dalam menunjuk utusan khusus ke Libia karena adanya masalah yang menghalangi tercapainya kesepakatan di Dewan Keamanan.” Hal ini terjadi setelah Amerika menolak untuk menunjuk mantan menteri luar negeri Aljazair, Abu Qaddoum, untuk posisi ini. Juga, setelah delegasi Libia menolak untuk menunjuk Petali Senegal untuk posisi yang sama. Penolakan ini tampaknya didorong oleh Amerika, karena ia tidak ingin kepala misi PBB di Libia berasal dari pusat yang dikendalikan oleh Prancis, sehingga mendorong delegasi Libia agar keberatan.
Kita dapati di pertemuan penandatanganan bersama Middle East Monitor Britania, Diplomat AS Stephanie Turco Williams, ketua Misi Dukungan PBB yang terdahulu di Libia—setelah berakhir masa kepemimpinannya—menyampaikan, “Mayoritas pemimpin Libia suka menjilat asing, berkeliling dunia, dan disanjung; maka dari itu para pemimpin Libia yang munafik mendapat celaan akibat perbuatannya tersebut.” (Dikutip dari Al-Wasath News, 13/8/2022).
Maka dia menyembunyikan perannya dengan mengatakan adanya kontradiksi, dan mengganti cara serta posisi setiap kali lawan bicara nyaris berhasil. Ia tidak menyetujui dialog apa pun dalam mencapai kesepakatan, sebagaimana kebiasaan dari mantan kepala misi PBB di Libia sebelumnya, Ghassan Salamé. Selama periode krisis panjang ini di Libia, kami menemukan fakta bahwa PBB berperan memperpanjang masa krisis dengan pengenalan “jarum morfin penenang (narkotika)” secara terus menerus agar tetap terpantau, sehingga situasinya tidak keluar atau lepas dari kendali mereka. Sedangkan, intervensi PBB juga para duta negara besar—secara terus-menerus—sebenarnya sesuai dengan kepentingan AS dalam melanggengkan krisis dan kondisi tiadanya solusi.
Baru-baru ini telah terjadi banyak hal. Pertama, Parlemen Tobruk menunjuk Bashagha menjadi perdana menteri sebagai pengganti Abdul Hamid Dbeibeh. Akan tetapi Dbeibeh menolak untuk meyerahkan posisinya kepada Bashaga dengan alasan bahwa dia hanya akan menyerahkannya kepada otoritas baru yang dipilih oleh parlemen terpilih, sesuai dengan kesepakatan yang membawanya untuk memimpin pemerintahan. Dbeibeh menganggap bahwa pemerintahan Bashaga adalah pemerintahan kudeta. Dia mengatakan bahwa, “Masa kudeta telah berakhir.” Dalam pernyataannya dia juga menuntut, “Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Tertinggi Negara seharusnya menghentikan permainan dan menyetujui dasar konstitusional untuk mengadakan pemilihan.” (12/8/2022)
Sikap Dewan Perwakilan Tobruk dan Dewan Tinggi Negara Libia yang menentang dasar konstitusional terhadap berlangsungnya pemilu—dengan desakan dari Mesir dan Turki—menjadi indikasi jelas bahwa saat ini Amerika tidak menginginkan solusi atas krisis Libia. Melainkan, ia menginginkan Libia tetap dalam keadaan antara perdamaian dan konflik. Hal ini hanya dapat dilakukan dengan membiarkan Libia dalam keadaan buruk, dengan membiarkan politisi tetap di pucuk kepemimpinan yang lemah. Maka keadaan ini merupakan posisi terbaik bagi Amerika agar dapat membinasakan negara, mengorupsi, dan meningkatkan kemiskinan secara merata di setiap sektor. Ketika ingin memunculkan konflik, hal itu akan menjadi lebih mudah, dengan memanfaatkan terpecah-belahnya barisan umat; antara pendukung revolusi, pendukung rezim sebelumnya, dan pendukung gerakan sekuler yang bersekutu dengan Haftar.
Adapun usulan pembentukan pemerintah baru yakni yang ketiga—yang mungkin menjadi solusi untuk terbebas dari kedua pemerintahan tersebut—sebenarnya merupakan usulan yang naif untuk menyelesaikan krisis. Seolah-olah pemerintahan pertama dan kedua adalah penyebab krisis, padahal keduanya adalah akibat dari krisis ini serta korban hegemoni kekuatan asing yang mendominasi negara.
Krisis Libia tidak bisa diselesaikan selama asing tetap mengendalikan orang-orang yang berkuasa di wilayah-wilayah. Oleh karena itu, perlu untuk mengangkat orang-orang cerdas serta ikhlas di tengah-tengah umat yang mulia ini, dengan aktivitas yang serius untuk mengusir antek-antek tersebut dari kawasan berpengaruh. Baik dengan memutus hubungan dari PBB penjahat dan mendorong orang-orang yang bukan termasuk antek pada posisi kepemimpinan dan pemerintahan; melenyapkan tempat-tempat yang mendengarkan para delegasi dan secara sembunyi-sembunyi membangun jaringan para antek; meningkatkan kesadaran di tengah-tengah umat dan membukakan penglihatan mereka terhadap bahaya para antek; maupun dengan bergantung pada Allah saja serta menutup seluruh jalan dan pintu kejahatan. []
Diterjemahkan dari Surat Kabar Al-Rayah edisi 406, terbit pada Rabu, 4 Safar 1444 H/31 Agustus 2022 M
Klik di sini untuk mengakses sumber
Visits: 3