Search
Close this search box.

Apa Rahasia Turki Melanjutkan Hubungan Dagangnya Dengan Entitas Yahudi Meskipun Ada Ketidakpuasan Rakyatnya?

Kemarahan mendominasi jalan-jalan di Turki sebagai protes terhadap kelanjutan hubungan perdagangan dan ekonomi dengan entitas Yahudi di samping hubungan politik dan keamanan, meski telah berlalu lebih dari 150 hari sejak dimulainya agresi terhadap Gaza dan kebijakan kelaparan yang dilakukan oleh Israel terhadap penduduk yang terkepung. Mengapa Turki tidak memutuskan hubungan ini? Bahkan, presiden Erdogan sangat tertarik untuk meneruskan hubungan ini meskipun dia berpura-pura mendukung perjuangan Palestina serta penduduknya dan bahwasanya ia juga berpura-pura menjadi sultan Utsmani berikutnya yang akan menyelamatkan mereka.

Kita mulai cerita ini dari sikap yang mulia pada Kesultanan Utsmani yaitu khalifah kaum muslimin, Abdul Hamid II semoga Allah merahmatinya, ketika beliau menolak tawaran jutaan lira emas dari orang-orang Yahudi sebagai imbalan dari memberikan mereka tempat di tanah Palestina. Abdul Hamid II mengatakan kepada mereka : “Jika kekhilafahan ini hancur maka mereka akan mendapatkannya secara cuma-cuma. Para Khalifah Utsmaniyah telah benar-benar menjaganya seperti mereka menjaga kekhilafahan, melindungi kaum muslimin dan tempat tinggalnya. Mereka jugalah yang membawa panji sebagai penakluk dan penyebar agama Islam selama ratusan tahun.

Rangkaian peristiwa hilangnya Palestina dimulai ketika Inggris mempersiapkan Mustafa Kemal untuk menghancurkan Khilafah. Sebagaimana yang kita ketahui, Mustafa Kemal adalah seorang Yahudi Dönmeh. Ia melakukan makar pertama kali ketika ia menjadi panglima pasukan Utsmani di Palestina. Mustafa Kemal pura-pura jatuh sakit dan tidak siap untuk melawan agresor Inggris, kemudian ia menyerahkan dirinya kepada Inggris pada musim gugur tahun 1917. Sementara itu, kekhilafahan Utsmaniyah tidak menyadari pengkhianatan yang dilakukan Mustafa Kemal dengan Inggris. Pada saat yang sama, Inggris juga mengumumkan deklarasi Balfour kepada orang-orang Yahudi untuk mendirikan negara bagi mereka di Palestina. Lalu, secara resmi mereka mengesahkannya dengan Perjanjian Lausanne. Ketika pembentukan entitas Yahudi diumumkan, Turki segera mengakuinya pada bulan Maret 1949, dan pemerintahnya mulai melakukan pengkhianatan dengan memperkuat hubungan mereka dengan entitas tersebut.

Pada tahun 1957, pemerintahan Menderes menandatangani perjanjian kerja sama untuk melawan kelompok ekstrimis dan dominasi Uni Soviet di Timur Tengah. Pemerintahan Erbakan menandatangani sebanyak 11 perjanjian kerja sama keamanan, militer, dan ekonomi dengan entitas Yahudi di tahun 1996. Maka semenjak itu latihan militer gabungan dimulai. Turki mulai membeli senjata dari Yahudi dan meningkatkan jumlah pasokan senjatanya. Pemerintahan Ecevit juga menandatangani Perjanjian Perdagangan Bebas Turki-Israel pada tahun 2000.

Erdogan mengunjungi entitas Yahudi tersebut pada tahun 2005 dan mulai memperkuat hubungan dengan mereka. Ia juga mulai memainkan peran sebagai perantara rekonsiliasi antara rezim Suriah dan entitas Yahudi. Perwakilan diplomatik dikurangi setelah insiden kapal Mavi Marmara pada tahun 2010, namun justru pada 2015 Erdogan kembali melakukan normalisasi hubungan dengan entitas Yahudi dan hubungan perdagangan yang mendukung entitas Yahudi tidak berhenti. Kemudian hubungan diplomatik kembali merenggang sebagai akibat dari korespondensi antara Netanyahu dan Erdogan, namun hubungan keduanya menguat kembali ketika Erdogan menerima kepala entitas Yahudi, Herzog, pada tahun 2022, seperti penyambutan kepada pahlawan dan kaisar.

Erdogan bertemu dengan Netanyahu di New York pada Juli 2023 dan bersepakat dengannya untuk mengunjungi entitas Yahudi. Ketika agresi di Gaza mulai meletus pada 8 Oktober 2023, ia membatalkan kunjungan tersebut. Meski terjadi pembantaian yang dilakukan oleh entitas Yahudi di Gaza, keterwakilan diplomat kali ini tidak berkurang. Semua hubungan, terutama hubungan perdagangan masih terus berlanjut dengan cara dan ritme yang sama.  Tampaknya Amerika meminta Erdogan untuk melakukan hal ini sebagai bagian dari rencananya untuk melindungi entitas Yahudi dan mendapatkan dukungan bagi mereka, karena entitas Yahudi  adalah basis utama mereka di wilayah Timur Tengah. Amerika menjadikan hal ini sebagai sarana untuk menekan pemerintah Netanyahu agar mematuhi pemerintahan Biden.

Erdogan mengadopsi republik sekuler dan kemalis beserta kebijakan dalam dan luar negerinya yang disusun oleh Mustafa Kemal. Erdogan membiarkan para penguasa di bawahnya untuk mempermainkan perasaan kaum muslimin, dan memanfaatkannya untuk meraih kekuasaan dan menerapkan kebijakan ini.

Di antara landasan terpenting kebijakan luar negeri Turki adalah:

  1. Menginduk kepada Barat, baik Amerika maupun Eropa. Inilah sebabnya Turki mengadopsi seluruh nilai, sistem, dan gagasan Barat sejak era Mustafa Kemal. Turki berpartisipasi pada perjanjian Saadabad di Inggris pada tahun 1937. Turki menjadi anggota NATO pada tahun 1953, dan berpartisipasi pada perjanjian Bagdad di Inggris pada tahun 1955. Turki mendukung agresi Tripartit terhadap Mesir pada tahun 1956. Sejak tahun 1959, Turki mulai berupaya memasuki Uni Eropa. Pada era Erdogan, mereka memperkuat hubungannya dengan Amerika, berpartisipasi dalam semua aliansinya, melaksanakan semua rencananya di kawasan Timur Tengah, dan secara resmi mengajukan peninjauan ulang pada tahun 2005 untuk bergabung dengan Uni Eropa.
  2. Menjaga hubungan dengan entitas Yahudi, seperti yang telah kami ringkas di atas.
  3. Mempertahankan perbatasan Turki sebagaimana yang ada dalam Perjanjian Sykes-Picot dan dicatat dalam Piagam Nasional, dan hal ini mencegah tiap usaha untuk mewujudkan kesatuan negeri Islam. 
  4. Melawan bahaya yang datang dari Suriah dan Irak. Hal itu bermakna melawan segala aktivitas perubahan fundamental untuk kembali kepada Islam dan mendirikan Khilafah. Itulah sebabnya Erdogan memerangi revolusi Suriah, yang membawa nilai-nilai Islam. Erdogan memeranginya dengan cara yang keji, yaitu ia mengaku mendukungnya hingga ia menipu banyak rakyatnya, padahal ia justru melakukan pengkhianatan yang lebih buruk daripada pengkhianatan rezim Suriah, Iran, Hizbullah di Lebanon, Rusia, dan Amerika.

Sikap kaum muslimin Turki sejatinya berbeda dengan asas-asas yang dibahas di atas tadi. Kaum muslimin di Turki hakikatnya menginginkan Islam dan tidak menginginkan solusi yang ditawarkan oleh Barat —Amerika atau Eropa—, mereka menginginkan persatuan Islam dan kembalinya Islam dalam bingkai pemerintahan. Kaum muslimin di Turki ingin untuk mengadopsi problematika Palestina dengan memberikan perlawanan terhadap entitas Yahudi sang perampas. Namun mereka tidak pernah mengambil sikap untuk menyingkirkan rezim yang ada, yang justru terus mempertahankan kebijakan itu. Hal paling maksimal yang dilakukannya adalah mengurangi perwakilan diplomatik tanpa memutuskan hubungan diplomatik, dan menarik pengakuan atas entitas sang perampas (entitas Yahudi), sambil melanjutkan semua hubungan, terutama hubungan perdagangan. Sebab sikap rakyat tidak diikuti dengan tindakan politik yang kuat dan tulus yang dapat berdampak pada rezim dan menggoyangkan posisinya. Apalagi partai-partai politik yang berpartisipasi dalam kancah politik mengambil sikap yang manipulatif dan menipu rakyat terhadap entitas Yahudi dan hal-hal lain untuk mendapatkan suara sehingga mereka bisa menerapkan kebijakan rezim, seperti yang dilakukan partai Erbakan dan partai Erdogan.

Dengan terjadinya agresi pada Gaza sebenarnya telah mengungkap keburukan yang ditutupi oleh Erdogan. Sebagaimana dengan agresi pada Gaza juga mengungkap keburukan sikap yang dimiliki oleh Ibnu Salman (MBS), El-Sisi, dan Bashar Assad. Sikap yang dimiliki oleh Erdogan adalah sikap yang tidak memiliki rasa malu untuk melakukan pengkhianatan dan menjual tiap kepercayaan yang diberikan padanya, karena baginya kepentingan dirinya lebih utama daripada Gaza, Palestina, dan penduduknya. Seandainya Erdogan memang peduli dengan urusan Palestina tentunya dia akan segera memutus semua hubungan antara Turki dan entitas Yahudi sebagai usaha minimal yang bisa dilakukannya. Namun ternyata bukan itu yang ia pilih. Erdogan justru menjalin hubungan dengan Amerika dan membuat perjanjian untuk menjaga eksistensi entitas Yahudi, serta berada di jalur orbit yang mengikut pada Amerika untuk tetap dapat meraih kekuasaan. Hal itulah  yang terjadi pada pertemuannya dengan para pejabat Amerika ketika ia masih mengepalai kotamadya Istanbul. Erdogan sama sekali tidak berbuat apapun untuk mengubah sistem Turki menjadi sistem Islam, bahkan dia melakukan hal yang sebaliknya, dia memperkuat kemalisasi, demokrasi, dan sekulerisme. Ia juga berbohong dengan meyakinkan masyarakat bahwa hal tersebut tidak bertentangan dengan Islam, setelah mereka menganggapnya sebagai penistaan Islam secara terang-terangan.

Oleh karena itu kemarahan rakyat Turki tidak akan membuahkan hasil kecuali mereka berusaha untuk mengubah sistem dari akarnya dengan kepemimpinan politik Islam yang murni dan menyadarkan untuk menentang kebijakan mereka dengan menciptakan opini publik, dan mengarahkan masyarakat untuk melawan kebijakan tersebut. Serta menyandarkan perbuatan mereka pada akidah, sehingga sikap mereka dibangun atas dasar akidah yang kokoh dan para pengemban dakwah kepada khilafah telah mulai menempuh jalan ini, maka berbahagialah mereka.

Ditulis oleh: Prof. Asad Mansour

Diterjemahkan dari Surat Kabar Al-Rayah edisi 486, terbit pada Rabu, 3 Ramadan 1445 H/13 Maret 2024

Klik di sini untuk mengakses sumber 

 

Visits: 9

Tags

Bagikan tulisan ini

Tulisan menarik lainnya...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Category

Gabung Channel Telegram