Oleh: Prof. Hasbullah Al-Nur
Dindenault, saudagar rakus yang tak kenal belas kasih—digambarkan oleh sastrawan Francois Rabelais (dalam buku Le Tiers Livre, ed.) dengan sifat tidak manusiawi yang menempati posisi terburuk pada era ini—suatu ketika bertengkar dengan Panurge, seorang pria jahat nan licik.
Alkisah, Panurge memutuskan untuk balas dendam karena membeli seekor domba dari Dindenault dengan harga yang sangat tinggi. Dalam suatu adegan aneh, ia memegang domba yang dibeli kemudian melemparkannya ke lautan, yang menyebabkan domba-domba lain berbaris dalam antrian mengerikan untuk memainkan perannya melompat dari kapal.
Adegan tersebut membuat Dindenault menggila. Ia berusaha menghentikan kawanan domba yang melompat ke dalam air, namun usaha yang dilakukannya itu gagal. Keyakinan domba-domba atas apa yang mereka lakukan terlalu kuat untuk dilawan. Didorong oleh keserakahan yang kuat, Dindenault mencoba menangkap domba terakhir—berharap untuk menyelamatkannya—, tetapi tekad yang dimiliki sang domba membuat keduanya jatuh menghadapi nasib yang tak terhindarkan itu.
—
Pinjaman yang ditawarkan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia kepada penguasa yang bergantung pada kekuasaan merupakan representasi dari transaksi antara Panurge yang jahat nan licik dengan saudagar rakus nan kejam. Nasib domba-domba juga sama dengan nasib bangsa-bangsa tertindas yang jatuh ke mulut-mulut ikan paus korporasi kapitalis transnasional.
Kebijakan kriminal dan pembawa bencana dari lembaga keuangan ini tidak tersembunyi dari siapapun. Naskahnya tertulis di kertas transparan yang diletakkan bertumpuk sehingga dapat dilihat sekaligus. Barangkali, kebijakan tersebut seperti batu berat yang dilemparkan ke kolam yang tenang—karena pasrah—, yang menggerakkan gelombang berturut-turut dari rasa ketidakadilan sehingga terjadi perubahan.
Buruknya kebijakan tersebut menggerakkan perasaan beberapa ekonom yang awalnya memiliki hubungan dekat dengan lembaga-lembaga tersebut, menjadi merasa muak dengannya. Telah kami kutip beberapa pernyataan mereka:
Stiglitz, mantan Wakil Presiden dan Kepala Ekonom Bank Dunia, mengemukakan bawa tiga pilar kebijakan “Konsensus Washington” dianggap sebagai solusi magis untuk krisis keuangan dan ekonomi negara-negara di belahan bumi selatan—terlepas dari jenis dan penyebab krisis yang berbeda—. Pilar-pilar tersebut mencakup penghematan kebijakan pengeluaran dan pajak, privatisasi, serta liberalisasi (menjadikan pasar domestik dan khususnya pasar modal bersifat terbuka).
Dalam buku Globalization and its Discontents, Stiglitz berargumen bahwa kebijakan tersebut menjadi sesuatu yang sakral secara mutlak bagi lembaga keuangan internasional pada masa itu. Karena kebijakannya diterapkan sebagai resep otomatis tanpa memperhatikan konteks ekonomi maupun akibatnya di lapangan. Inilah yang menyebabkan malapetaka di banyak negara berkembang.
IMF mendesak privatisasi sesegera mungkin sebagai sarana untuk merangsang sektor swasta, yang nyatanya menghantarkan pada pemborosan kekayaan umum dan memusatkan kekayaan publik di tangan kelompok serta perusahaan yang dekat dengan elit politik yang mengelola proses privatisasi, tanpa negara tersebut mendapatkan manfaat apapun yang dijanjikan dari proses privatisasi.
Larry Elliott menulis di surat kabar The Guardian, “Baik Bank Dunia maupun IMF, tentu saja tidak mengakui bahwa kebijakan mereka adalah masalah, bahkan jika para peneliti membuktikan bahwa lembaga-lembaga internasional ini pada faktanya adalah pelaku pemiskinan terbesar di Afrika. Sejak tahun 1970-an, dua lembaga yang bermarkas di Washington, D.C. ini menjadi perancang utama kebijakan yang bertanggung jawab atas ketidaksetaraan dan kritisnya kemiskinan di dunia, terutama di Afrika.”
Mantan pejabat di Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP), Isabelle Grunberg menggambarkan bahwa kebijakan yang dipaksakan oleh IMF di negara-negara anggota—terutama negara-negara berkembang—sering menyebabkan tingkat pengangguran yang tinggi, penurunan daya beli, dan ketergantungan makanan khusus, di samping adanya disintegrasi pada sistem produksi.
Ia telah menggambarkan hal-hal ini sebagai tindakan kejahatan, mengingat IMF tidak hanya sekedar menjadi partisipan di dalamnya, tetapi ialah sang maestro yang menjalankan sistem komprehensif yang menarik uang dari orang-orang miskin untuk membiayai pengeluaran orang kaya minoritas.
Sebagaimana pengakuan seorang pakar Jerman, Profesor Filsafat di Universitas Pretoria, Ernst Wolff dalam bukunya, Pillaging the World –the History and Politics of the IMF: “Sebenarnya, intervensi yang dilakukan ini lebih seperti invasi tentara yang saling berperang.”
John Perkins menyatakan dalam bukunya, Confessions of an Economic Hitman, “Sesungguhnya dana moneter internasional adalah salah satu alat perusahaan internasional untuk membangun sebuah imperium yang dapat mengontrol ekonomi dunia, mengacaukan negara, menjarahnya, bahkan menghancurkan ekonomi negara-negara berkembang.”
Meski para ahli telah menggambarkan besarnya tragedi yang disebabkan oleh lembaga keuangan, tetapi deskripsi yang paling benar dan ungkapan paling kuat untuk menggambarkan besarnya penderitaan yang ditimbulkan adalah kehidupan yang dijalani masyarakat setiap jam dan setiap saatnya. Sudan adalah contoh terbaik atas respon absolut terhadap perintah IMF yang keras, negara angkat tangan sepenuhnya pada semua layanan dan segala jenis dukungan untuk barang pokok dan jasa, sehingga hidup menjadi seperti neraka, dan yang tersisa hanya orang-orang yang saling memakan.
Masalah ini tidak terbatas untuk Sudan dan rakyatnya saja, tetapi ini adalah kebijakan umum. Berikut adalah laporan tentang kebijakan IMF di Afrika yang ditulis oleh Herbert Glosche: “Negara-negara berkembang tidak dapat membayar tagihan pinjaman lampau pada tahun 1980, dengan total utang sejumlah 567 miliar dolar. Negara-negara ini membayar 1.662 miliar dolar antara tahun 1980 sampai 1992. Meski demikian, karena harga tagihan naik, utang meningkat menjadi 1.419 miliar dolar. Meskipun mereka membayar tagihan lebih dari dua kali lipat, sisanya tetap menjadi utang yang harus dibayar. Negara-negara ini dipaksa untuk mengambil pinjaman baru untuk membayar utang dan upaya mencegah kebangkrutan, seperti yang terjadi di Sudan dan baru-baru ini disebut Bridging Loan.”
Jika Panurge itu jahat dan licik karena menggunakan trik untuk balas dendam kepada Dindenault, maka IMF tentu jauh lebih jahat dan licik. Sebab, program ekonominya yang dipaksakan kepada negara mendatangkan bencana yang berefek pada masyarakat umum, bukan pada domba. Jika kebergantungan pengusaha pada ketamakan akan menyebabkan kehancurannya, maka kebergantungan para penguasa antek pada sistem akan menyebabkan kehancuran bagi rakyatnya.
Kebijakan IMF, Bank Dunia, Organisasi Perdagangan Dunia, dan lembaga keuangan internasional lainnya adalah bagian depan dari ekonomi bagi sistem internasional untuk mendapatkan kontrol penuh atas masyarakat dunia. Sementara negara-negara regional tetap tidak mampu menghadapi sistem internasional yang brutal ini, karena pada asalnya negara-negara tersebut diciptakan dengan peran fungsional untuk menerapkan kebijakan dan berjalan sesuai arahan sistem internasional.
Saat ini di hadapan kita hanya ada dua pilihan, dan tidak ada pilihan ketiga. Tetap tunduk pada realitas yang ada dan rela untuk menjadi santapan lezat para korporasi kapitalisme—yang akan menjadikan kita hancur sehancur-hancurnya dan tertelan oleh ketamakannya—, atau menghadapi kebijakan tersebut. Beruntunglah kaum muslimin dibandingkan bangsa tertindas lainnya, mereka memiliki sistem ekonomi yang khas dengan kebenaran solusi-solusinya, juga sistem politik yang dilakasanakan dalam sistem Khilafah yang mampu menghadapi sistem internasional ini.
Sesungguhnya Allah-lah yang akan membela kaum muslimin, sebagaimana firman-Nya, “Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang beriman.” (QS Al-Hajj:38)
Allah Swt. juga telah menjamin bahwa kemenangan akan berpihak pada kaum muslimin, “Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu.” (QS Muhammad:7)
Maka, tidak ada pilihan yang tersisa bagi kaum muslimin selain bergerak sesegera mungkin untuk menyelematkan diri mereka dengan pertolongan Islam. []
Diterjemahkan dari surat kabar Al-Rayah edisi 388, terbit pada Senin, 2 Syawal 1443 H/2 Mei 2022 M
Klik di sini untuk mengakses sumber
Visits: 28