Oleh: M. Muhammad Mustafa, Yaman
Islam melarang praktik riba.
Allah Swt. berfirman, “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” Allah juga berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”
Salah satu efek buruk riba adalah membuat uang tertumpuk di kalangan kreditur parasit yang memperkaya diri—dengan bergantung pada orang-orang yang membutuhkan uang—tanpa bekerja. Riba juga menciptakan jurang besar antara kalangan kreditur dan kalangan debitur. Sedangkan bagi kehidupan masyarakat, riba mengakibatkan naiknya harga-harga secara umum, yang semakin mempersulit kehidupan sosial masyarakat.
Islam memandang riba sebagai suatu kejahatan, yang pelakunya dianggap memerangi Allah Swt. dan Rasul-Nya saw. Kejahatan riba bahkan dinilai lebih berat daripada zina.
Di masa jahiliah dulu, riba dapat mengakibatkan perbudakan. Hal itu terjadi ketika debitur tidak sanggup untuk membayar utangnya. Maka solusinya, ia menjual dirinya sendiri kepada kreditur untuk melunasi utangnya. Sedangkan saat ini, terdapat institusi global efektif yang melangsungkan praktik riba, juga negara yang memaksakan praktik riba pada masyarakat yang miskin, bak memperbudak mereka dalam situasi tak berdaya. Institusi riba tadi mengisap kekayaan negara, menghentikan perkembangan suatu bangsa, dan membuat mereka berada di bawah kutukan dan perjanjian kejam negara-negara kaya. Artinya, dampak riba hari ini bahkan mampu memperbudak suatu bangsa.
Islam mengharamkan monopoli, yang mengakibatkan terpusatnya SDA di pelaku monopoli.
Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa yang menimbun makanan selama 40 hari, maka sesungguhnya ia telah berlepas diri dari Allah dan Allah pun telah berlepas diri darinya. Apabila di antara penduduk desa, terdapat seseorang yang lapar, maka perlindungan Allah terlepas dari mereka.” (Musnad Ahmad)
Rasulullah saw. juga bersabda, “Barang siapa yang menimbun harta atas kaum muslimin selama 40 hari, Allah akan menimpakan penyakit kusta dan kebangkrutan.”
Monopoli adalah menahan apa-apa yang dibutuhkan oleh masyarakat, baik itu makanan atau yang lainnya, di mana penimbunannya akan mengakibatkan bahaya bagi masyarakat dan menyempitkan kehidupan mereka. Monopoli secara mutlak meliputi segala sesuatu, baik itu kebutuhan logistik, pakaian, obat-obatan, alat pertanian, dan industri seperti alat bajak dan pupuk.
Monopoli juga mencakup berbagai keuntungan dan pengalaman kerja, para pekerja profesi, pengrajin, industrialis, teknisi, dan orang-orang yang memiliki kompetensi ilmiah. Monopoli dianggap terjadi apabila masyarakat membutuhkan barang, keuntungan, dan jasa tersebut. Sebab manath dari monopoli adalah realitas kerugian yang timbul sebab terputusnya akses pada objek yang dimonopoli, sehingga mengharuskan mereka untuk mencurahkan apa yang mereka miliki—sebagai bentuk pengurusan terhadap hak rakyat, juga untuk melindungi umat dari mara bahaya dalam kondisi seperti ini dengan harga atau imbalan yang sepadan dan adil—, sebab terhalaunya akses mendapatkan kebutuhan tersebut.
Hikmah dalam larangan monopoli adalah untuk menghindari kekacauan di masyarakat umum, membuka kesempatan bagi masyarakat untuk memperoleh SDA tanpa monopoli atau halangan, sekaligus pada saat yang bersamaan membantu mereka untuk memanfaatkannya. Hal ini menjadikan kekayaan berada dalam jangkauan individu masyarakat, sehingga masing-masing bisa mendapat bagian tertentu dari kekayaan tersebut.
Sistem waris dalam Islam membagi-bagi harta dan mendistribusikan kekayaan yang besar kepada para ahli waris.
Warisan dalam Islam adalah salah satu perantara untuk mendistribusikan kekayaan. Namun, distribusi kekayaan di sini bukanlah ilat bagi hukum warisan, melainkan penjelas bagi fakta warisan. Kekayaan (yang berasal dari harta waris) itu boleh dimiliki, yang mana kekayaan itu dimiliki oleh individu-individu selama mereka hidup, sehingga saat mereka meninggal, harta warisan mereka akan dibagikan kepada para ahli waris. Hukum waris yang telah ditetapkan oleh fikih Islam ini memainkan peran penting dalam distribusi kekayaan di antara para individu di semua kalangan (baik laki-laki maupun perempuan) yang memang berhak untuk mendapatkan harta warisan.
Dalam penerapan fikih Islam terkait harta waris, individu mendapatkan bagiannya secara adil. Harta kekayaan akan didistribusikan ke individu-individu yang membutuhkan dan para fakir secara otomatis, tanpa campur tangan penguasa. Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi di Barat—yang mana memiliki kelas borjuis—, distribusi harta sangat bergantung pada status kelas, di mana harta hanya dipegang oleh sebagian pihak kecil pemilik modal. Sedangkan pembagian harta warisan, melalui distribusinya, meniadakan terfokusnya harta pada kalangan pemilik modal saja. Itulah sebabnya dalam sejarah Islam kita belum pernah menyaksikan satu pun pergolakan sosial yang muncul dari sengketa kelas atau perbedaan yang ekstrem dalam perilaku konsumen.
Islam melarang menimbun harta, yaitu mengumpulkan harta bukan pada yang seharusnya. Harta seyogianya dipergunakan dalam proyek-proyek industri, pertanian, komersial, atau dalam bentuk lain yang disyariatkan agar kekayaan tetap beredar, bergerak, dan aktif di masyarakat. Di mana pendapatannya bermanfaat bagi pemiliknya, pekerja, orang miskin, dan golongan dari penerima zakat lainnya. Masyarakat pada umumnya akan mendapat manfaat dari proyek-proyek yang ada. Oleh karena itu, menyimpan kekayaan bukan pada yang seharusnya, yaitu menimbun tanpa menggunakannya, dilarang dalam Islam.
Allah Swt. berfirman, “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka berikanlah kabar gembira kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih.” (QS At-Taubah: 34)
Perihal orang-orang kaya ini, Islam melarang menimbun dan menabung, akan tetapi mendorong umatnya untuk melakukan investasi—yang membawa kebaikan bagi seluruh umat Islam—, yang dimaksud dengan berinvestasi dalam Islam adalah mengoperasikan uang untuk meningkatkannya. Tujuan berinvestasi dalam Islam bukan hanya untuk menghasilkan keuntungan, akan tetapi untuk mencapai pembangunan ekonomi dan sosial, serta kemajuan masyarakat Islam.
Sesungguhnya, larangan menimbun adalah untuk menyediakan likuiditas yang diperlukan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan itu sendiri, serta untuk menghindari pinjaman dengan bunga. Kewajiban zakat dianggap sebagai salah satu motif terpenting untuk investasi, karena penimbunan akan menjadikan harta terkikis disebabkan oleh zakat. Demikian juga, larangan menimbun dalam Islam mengarah pada penggunaan modal secara penuh, di mana modal harus diarahkan untuk produksi. Dalam hal ini, terdapat hubungan antara tabungan dan investasi, yakni penimbunan adalah bagian dari tabungan yang tidak ditujukan untuk investasi. Dari sini, uang anak yatim itu diperjualbelikan agar sedekah tidak memakannya.
Islam mewajibkan negara Islam untuk menjamin kebutuhan dasar rakyatnya, entah itu berupa makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Islam juga tidak membiarkan umatnya terjerumus dalam permainan harga yang dikendalikan oleh orang kaya. Islam tidak menelantarkan orang miskin tanpa memperhatikan kondisi materiel mereka—seperti yang terjadi dalam sistem kapitalisme—. Sistem Islam akan memastikan semua kebutuhan anggota masyarakatnya terpenuhi, maka negara Islam wajib menyediakan kebutuhan dasar minimal berupa makanan, tempat tinggal, dan pakaian kepada para rakyatnya.
Ustadz Abdurrahman Al-Maliki mengatakan dalam buku Politik Ekonomi Unggulan, “Islam memungkinkan terpenuhinya kebutuhan dasar (makanan, pakaian, dan perumahan) setiap individu rakyatnya. Islam juga menghadirkan empat sumber ekonomi (pertanian, industri, perdagangan, dan usaha manusia) bagi setiap individu rakyatnya dalam jumlah yang lebih besar dari yang dia bisa kuasai, agar masyarakat dapat memanfaatkannya sebanyak mungkin guna memenuhi kebutuhan primer dan sekunder. Karena itulah, bolehnya memiliki hak kepemilikan dan pekerjaan di dalam empat aspek tadi merupakan prinsip dasar.
Semua hukum ini dan lain semisalnya, berkontribusi dalam membagi-bagi dan mendistribusikan SDA di tengah segmen terbesar anggota masyarakat. Harta-harta itu tidak hanya terbendung di tengah sekelompok orang untuk melebarkan pintu-pintu anak sungainya, sedang pintu aksesnya ke seluruh anggota masyarakat miskin berkurang atau malah tidak ada. Seperti halnya dalam sistem buatan manusia yang buruk seperti sistem kapitalis yang berlaku di sebagian besar dunia saat ini.
Oleh karena itu, kami mengatakan bahwa umat manusia menderita kemiskinan, harga tinggi, dan korupsi ekonomi karena prinsip maslahat milik sistem kapitalis tentang kehidupan dan situasi. Sistem yang diadopsi oleh kolonialis politik dan kaki tangannya melalui Dana Moneter Internasional (IMF), Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan lainnya. Ditambah lagi kekayaan si kaya yang menguasai sendi-sendi negara dan tidak mempedulikan si miskin. Pun, ia mengklaim SDA yang ada tidak mencukupi, padahal ia sendiri sambil mencurinya.
Betapa munafiknya dia ketika mengadakan konferensi internasional di mana dia berbicara tentang masalah kemiskinan dan masalah pembangunan berkelanjutan, sedangkan ketamakan membanjiri dadanya. Bank-bank dipadati oleh saldo para penguasa yang merampok dari orang-orang fakir! Padahal kami, umat Islam hidup dalam pusat SDA dunia. Maka di manakah pembagian kesejahteraan yang adil seperti yang didatangkan oleh Islam? Lihat Afrika yang kaya akan SDA, tapi hampir tidak pernah makan darinya sama sekali. Dengan ini kita paham, siapa pun yang mengabaikan salah satu hukum dari hukum-hukum Islam, maka Allah akan buat ia merasa membutuhkan hukum itu.
Benar, tidak ada solusi untuk problematika ekonomi yang terjadi di dunia kecuali dengan menerapkan sistem Islam yang dimanifestasikan oleh Daulah Khilafah yang diperjuangkan Hizbut Tahrir sebagai ganti dari sistem kapitalisme yang rusak di segala aspek, dan untuk menyelamatkan umat manusia darinya sebelum binasa di tangannya.
Sebaik-baiknya penutup tulisan kami adalah memori soal Rasul sekaligus teladan umat ini sampai hari kiamat, pun para Khulafaur Rasyidin yang datang setelah Rasulullah, yang mana ia perintahkan kita untuk menggenggam erat langkah mereka sekuat genggam geraham.
Rasulullah saw. dulu mendistribusikan harta rampasan perang kepada semua kaum muslimin, tanpa mengkhususkan atau memberi pengecualian pada salah satu dari mereka kecuali ada alasan syar’i. Sedang Khulafaur Rasyidin juga mendistribusikan tanah futuhat kepada kaum Muslimin sehingga mereka dapat memanfaatkan dan memakmurkannya. Negara tidak boleh menguasai dan memonopoli untuk dirinya sendiri.
Diriwayatkan oleh Ibnu Qayyim dalam kitab Zad al-Ma’ad di bab Ghanimah Thaif, “Kemudian ia memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk menghitung harta rampasan dan jumlah masyarakat, kemudian membagikannya kepada mereka. Setiap orang diberi empat unta dan empat puluh domba. Jika dia seorang ksatria penunggang kuda, dia akan mengambil dua belas unta dan seratus dua puluh domba.”
Umar ra. membagikan harta kepada umat Islam tanpa pilih kasih—kecuali karena alasan syar’i—, bukan karena ras, warna kulit, kekeluargaan, ataupun jabatan. Sejarawan al-Baladhuri menyebutkan dalam buku Futuh al-Buldan: “Ketika Umar ra. mulai mencatat nama-nama orang, dia berkata, ‘Dari siapa kita mulai?’ Abdurrahman bin Auf berkata kepadanya, ‘Mulailah dengan dirimu sendiri.’ Dia berkata, ‘Tidak, kita mulai dengan Bani Hasyim dan Bani al-Muttalib. Yang paling utama adalah al-Abbas, lalu Ali ra., lalu yang paling dekat nasabnya dengan Rasulullah saw., lalu istri-istri Nabi—mereka semua itulah yang memiliki tunjangan tertinggi—, lalu orang Badar, kemudian setelah itu orang-orang lainnya.’
Saat Umar memutuskan gaji untuk Usamah bin Zaid lebih besar dari gaji putranya, Abdullah, Abdullah berkata, ‘Usamah tidak lebih baik dari saya.’ Umar berkata, ‘Tapi Usamah lebih dicintai Rasulullah saw. daripada kamu.’”
Umar juga memberi 100 dirham pada setiap bayi yang lahir, 200 dirham bagi bayi yang telah tumbuh besar, dan jika usianya semakin besar, maka semakin besar pula pemberiannya. Dia berkata, “Demi Allah, jika aku masih hidup, niscaya seorang penggembala akan membawa uang sebesar Gunung Sana’a sebagai kalkulasi dari pemberianku ini.” []
Diterjemahkan dari Majalah Al-Waie edisi 420, terbit pada bulan Muharam 1443 H/September 2021 M
Klik di sini untuk mengakses sumber
Visits: 9